Liputan6.com, Jakarta - Sebuah mobil menabrak kerumunan orang di pasar Natal di kota Magdebburg, Jerman Timur pada Jumat, 20 Desember 2024. Kejadian yang disebut serangan teror membuat puluhan orang terluka dan sedikitnya dua orang, termasuk seorang anak kecil, tewas.
Mengutip dari laman The Guardian, Sabtu (21/12/2024), setidaknya 68 orang lainnya terluka, termasuk 15 orang yang berada dalam kondisi kritis, menurut pemerintah kota. Dalam serangan itu, sebuah BMW hitam melaju lurus ke kerumunan di pasar Natal, melaju dengan kecepatan sejauh 400 meter ke arah balai kota, menurut saksi mata yang dikutip oleh penyiar.
Video yang diunggah di media sosial menunjukkan sebuah mobil berwarna gelap melaju ke kerumunan dengan kecepatan tinggi. Beberapa media menayangkan video tersebut dalam liputan mereka, tetapi keaslian rekaman tersebut belum dikonfirmasi secara resmi.
Advertisement
Di momen dekat Natal, kejadian ini tentu sangat disayangkan, terlebih pasar Natal memiliki rentetan sejarah. Mengutip dari laman National geographic, setiap musim liburan, pasar Natal mengubah alun-alun utama kota-kota di seluruh Eropa menjadi negeri ajaib musim dingin.
Lampu-lampu yang berkelap-kelip menghiasi gubuk-gubuk kayu dan dahan-dahan pohon holly tergantung di lampu jalan. Para pedagang menjual ornamen ukiran tangan dan patung-patung adegan Kelahiran Yesus, di samping cangkir-cangkir glühwein (anggur yang dihangatkan), sementara lagu-lagu Natal memenuhi suasana.
Di Jerman saja—tempat tradisi ini bermula—biasanya ada 2.500 hingga 3.000 pasar liburan dalam setahun. Sekarang, pasar-pasar tersebut kembali dibuka setelah dua tahun ditutup karena Covid-19.
Pasar Natal Tradisi yang Terus Dilestarikan
Para sejarawan mengatakan bahwa melestarikan praktik budaya ini di pusat-pusat kota tua sama pentingnya dengan menopang katedral abad pertengahan atau melindungi reruntuhan Romawi kuno. Mereka berpendapat bahwa pasar-pasar Jerman harus dimasukkan dalam daftar warisan budaya takbenda UNESCO, bersama dengan pembuatan baguette Prancis dan festival perahu naga di Tiongkok.
"Yang membuat [pasar] begitu penting bukan hanya membeli hiasan," kata Dirk Spennemann, profesor madya dalam manajemen warisan budaya di Universitas Charles Sturt Australia, yang telah ikut menulis studi tentang warisan budaya pasar Natal.
"Ini adalah seluruh pengalaman suara, bau, visual, tetapi juga fisik orang-orang di sekitar Anda.” Lebih jauh, Spennemann berpendapat bahwa “warisan budaya takbenda” mencakup tradisi yang dimaksudkan untuk dapat berubah, dibentuk kembali dengan setiap generasi baru."
Pasar Natal tentu saja sesuai dengan definisi itu. Selama berabad-abad sejarahnya, mereka telah beradaptasi dengan perubahan politik dan adat istiadat sosial di setiap era baru—dari revolusi industri hingga kebangkitan partai Nazi.
Advertisement
Pasar Natal di Era Nazi
Pada tahun 1930-an, pasar Natal kembali ke pusat kota di seluruh Jerman—dengan bantuan Partai Nazi. Natal adalah ajang politik pada saat itu, dengan para politisi berusaha mengubah tradisinya agar sesuai dengan kecenderungan anti-kapitalis atau ateis mereka.
Ketika Adolf Hitler menjadi kanselir pada 1933, partai politiknya yang baru berkuasa tidak membuang waktu untuk mengubah Natal dari hari raya keagamaan yang ditujukan untuk perdamaian di Bumi menjadi hari raya nasionalis yang mengagungkan warisan Jerman. Seperti yang ditulis Erin Blakemore untuk majalah History, pejabat partai memasukkan citra Nazi ke dalam adegan Kelahiran Yesus, mengisi kalender Advent dengan propaganda partai, dan menulis ulang lagu-lagu Natal seperti "Malam Kudus" untuk mengurangi penekanan konotasi Kristennya.
Upaya-upaya ini bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perry menunjukkan bahwa gagasan tentang Natal yang khas Jerman memiliki “akar yang sangat dalam.” Banyak tradisi, mulai dari kalender Advent hingga pohon Natal, diperkirakan berasal dari Jerman. Reformis Protestan Martin
Menandai Konsumerisme di Era 1960 dan 1970an
Pasar Natal Jerman kembali bergairah setelah perang berakhir—dan baru tumbuh dalam beberapa dekade berikutnya, seiring dengan ledakan ekonomi pada tahun 1960-an dan 1970-an. Di masa itu sedang meningkatnya konsumerisme yang memicu pertumbuhan belanja Natal.
Pergeseran ekonomi ini mengubah pasar Natal menjadi acara budaya massal, hingga seribu bus wisata penuh pembeli dapat turun ke pasar Natal di suatu kota selama akhir pekan. Peran Nazi dalam mengubah pasar Natal sebagian besar ditutup-tutupi, meskipun banyak tradisi yang mereka tetapkan tetap ada.
Ketika pasar Nuremberg kembali pada tahun 1948, demikian pula dengan perayaan Natal, meskipun dengan prolog baru, atau pidato sambutan. Namun, peran tersebut akan terus diberikan kepada aktris kulit putih hingga 2019, ketika pemilihan seorang remaja birasial memicu kemarahan rasis dari politisi sayap kanan. Partai politik Jerman lainnya selama bertahun-tahun telah berusaha memengaruhi tradisi tersebut.
Pada awal abad ke-20, kaum Marxis mencoba membingkai ulang Natal sebagai hari raya pagan daripada hari raya keagamaan. Kemudian, Partai Komunis di Berlin Timur juga akan mencoba menyelaraskan Natal dengan nilai-nilainya.
Advertisement