Sukses

Ditolak Naik Ojol, Putra Dewi Yull Surya Sahetapy Dikatai Orang Cacat oleh Sopir

Surya Sahetapy memberitahukan kepada sopir ojol bahwa dia menggunakan bahasa isyarat. Di luar dugaan, reaksi driver tersebut membuat Surya merasa miris.

Liputan6.com, Jakarta - Putra dari artis senior Dewi Yull dan Ray Sahetapy, Surya Sahetapy, mendapat pengalaman kurang mengenakkan ketika kembali ke Indonesia. Pria tuli atau tunarungu yang lama tinggal di luar negeri ini mengaku ditolak saat akan memesan ojek online.

Surya menceritakan pengalamannya itu melalui akun X miliknya @SuryaSahetapy. "Seandainya kamu jadi saya. Terus orderan kamu dibatalkan oleh driver karena driver bilang bahwa dia tidak biasa bawa orang “cacat”. Kira-kira apa reaksi kalian?" tulisnya pada Senin, 30 Desember 2024.

"Saya kan bisa baca, tulis dan pakai bahasa isyarat kok. Beda bahasa. Itu masuknya saya “cacat”?" tambahnya. 

Pria disabilitas ini memberitahukan kepada sopir tersebut bahwa dia menggunakan bahasa isyarat. Di luar dugaan, reaksi sopir ojol membuat Surya merasa miris. "Maaf saya cancel, saya nggak biasa bawa orang cacat,” tulis sopir ojol dalam tangkapan layar percakapan yang dibagikan Surya.

Surya yang baru saja kembali ke Indonesia setelah tiga tahun di Amerika Serikat (AS) itu tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan diskriminasi saat memutuskan berlibur di Tanah Air. "Makasih sudah cancel karena saya tidak jadi diantar oleh orang yang attitude nya tidak mencerminkan masyarakat dunia pada umumnya, jadi mental saya pun terjaga,” ujarnya.

Pria 31 tahun itu juga memberikan masukan kepada aplikasi penyedia ojek online agar bisa lebih memperhatikan hak-hak kaum tuli. "Usulan untuk @gojekindonesia dan apllikasi transportasi lainnya. Mohon untuk non-aktifkan telepon untuk pengguna bahasa Isyarat dan tuli, dan infokan driver kalau akun ini pakai bahasa isyarat," terangnya.

2 dari 4 halaman

Usulan Surya Sahetapy untuk Ojol

"Juga sekalian edukasi driver kalau pengguna bahasa isyarat itu bukan “cacat” tetapi mereka “normal” cuma beda bahasa, budaya, dan mode komunikasi saja, kalau bisa trainingnya ada simulator ketemu penumpang tuli dan bahasa isyarat, jadi terbiasa ke depannya," tambahnya.

Unggahan aktivis tuli dan juru bahasa isyarat itu mendapatkan respons beragam dari warganet. Sampai berita ini ditulis, cuitan itu sudah dilihat lebih dari 1,9 juta kali, disukai lebih dari 16 ribu kali dan mendapatkan lebih dari 410 komentar.

"Dear mas Surya, mohon bersabar dan jangan dibandingkan dengan US. Akses pendidikan Indonesia yg berkualitas masih belum baik," komentar seorang warganet.

"Banyak yang invalidasi perasaannya mas Surya. Padahal ngerti sekali, apapun latar belakang drivernya, disebut dengan istilah itu menyakiti hati," sebut yang lain.

"Gila, jahat banget ketikannya. Mohon maaf mas Surya harus mengalami hal seperti ini, semoga ada respon dari pihak gojek," kata yang lain.

"Paham maksud anda. Apa perasaan kamu jika saya tidak bisa antar kamu karena saya tidak biasa bawa orang Indonesia (karena saya tidak bisa bahasa Indonesia)? Kan ada google map dan dukungan teknologi lainnya.," ujar warganet yang lain.

3 dari 4 halaman

Tindakan Surya Disebut Berlebihan

"Cuma mau berbaik sangka saja, bisa jadi tingkat pendidikan driver tsb tdk sampai utk menemukan kata lain selain "cacat". Saya biasa menemukan percakapan orang2 yg menyebut orang disabilitas/kekurangan dg cacat dan memang bukan dr kalangan yg bisa paham/tahu kata selainnya," timpal warganet lainnya.

Di sisi lain, ada beberapa warganet yang beranggapan bahwa tindakan Surya terlalu berlebihan dan berusaha membela perilaku sopir yang menggunakan istilah "cacat". Surya kemudian menanggapi dengan nada bercanda, "enak dong kalau Anda belum pernah merasakan apa rasanya disebut cacat. Boleh tukaran gak?"

Perdebatan ini sepertinya menunjukkan betapa sensitifnya isu penggunaan bahasa yang bisa menyakiti perasaan orang lain. Sampai saat ini, belum ada tanggapan dari pihak aplikasi ojol mengenai cerita Surya Sahetapy.

Surya merupakan menyandang gelar Associate of Science usai lulus dari National Technical Institute for the Deaf pada 2019. Saat itu, ia berhasil meraih IPK 3,6 dan meraih predikat Cum Laude.

Surya kemudian menyelesaikan pendidikannya di Rochester Institute of Technology pada 2021 dan menyandang Bachelor of Science. Predikat Magna Cum Laude pun dikantonginya setelah meraih IPK 3,65. Founder Handai Tuli tersebut lulus S2 atau Master of Science dari Rochester Institute of Technology/National Technical Institute for the Deaf pada Mei 2023. 

 

4 dari 4 halaman

Surya Jadi Dosen di New York

Perjuangan Surya belajar di Negeri Paman Sam bukanlah hal yang mudah. Ia pun berbagi sepenggal kisah melalui unggahan di akun Instagram pribadinya. "Tahun 2018, saya membawa bendera 🇮🇩 guna mengingatkan saya selalu agar jangan lupa pulang setelah selesai studi," tulisnya di unggahan yang dibagikan pada 24 September 2023.

Surya kini diterima menjadi dosen di almamaternya, Rochester Institute of Technology yang berlokasi di New York, AS. "Tahun 2023 ini, saya bangga dengan sangat bersyukur untuk menerima tawaran dari RIT/NTID sebagai dosen pendidikan Tuli-HoH," lanjutnya.

"Hampir menyerah untuk menyelesaikan studi karena kebijakan di Indonesia yang mencegah mimpi saya jadi pengajar pada tahun lalu sehingga mendapatkan pertolongan dari pusat kesehatan mental Tuli di Rochester (trauma kecil, grief dll), dan berkat support system disini — membuat saya untuk buka mata bahwa tidak salah untuk berkarir di luar," cerita Surya.

Surya turut menyinggung soal Egalitarian dan merujuk untuk mempelajari Hierarchy of Attitudes dari artikel Jerome D. Schein, dengan judul "Advocacy: A Dual Perspective," (1985). "atau tidak salah juga mencari arti melalui "google"," tambahnya.

 

Video Terkini