Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Dengan produksi makanan yang menyumbang sekitar seperempat dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, mencari solusi dalam sektor ini menjadi sangat penting.
Kebanyakan dari kita sudah familiar dengan konsep makanan rendah karbon, yang bertujuan untuk mengurangi emisi. Namun, ada kategori makanan yang lebih ambisius dan menjanjikan: makanan yang minim jejak karbon. Makanan ini tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga menyerap karbon dari atmosfer, memberikan dampak positif pada lingkungan.
Baca Juga
Lalu apa saja makanan yang minim jejak karbon dan bisa membantu memerangi perubahan iklim? Berikut yang dirangkum Tim Lifestyle Liputan6.com dari laman BBC, pada Jumat (3/1/2024).Â
Advertisement
1. Kelp dan Makroalga Lainnya
Kelp, sejenis makroalga, dikenal karena kemampuannya menyerap CO2 saat tumbuh. Ketika bagian-bagian kelp terlepas dan tenggelam ke dasar laut, sebagian dari karbon tersebut disimpan secara permanen.
Untuk memastikan kelp menjadi makanan karbon-negatif, rantai pasokannya harus efisien, dengan minimal transportasi dan pengemasan. Kelp yang bersumber secara lokal berpotensi besar dalam hal ini. Selain itu, pembelian kelp dapat mendorong pemulihan hutan kelp yang rusak, memberikan manfaat lingkungan yang lebih luas.
2. Produk Bakteri
Bakteri pengoksidasi metana menawarkan solusi unik. Dengan mengonsumsi metana, gas rumah kaca yang sangat kuat, bakteri ini mengubahnya menjadi CO2, gas yang jauh lebih lemah.
Makanan yang mengandung bakteri ini, seperti bubuk protein atau pengganti daging, dapat menjadi karbon-negatif. Meskipun belum banyak tersedia di pasaran, inovasi seperti es krim berbasis protein bakteri di Singapura menunjukkan potensi besar ke depan.Â
3. Blueberry dan Seledri di Lahan Gambut
Lahan gambut yang basah dapat menyimpan karbon organik lebih cepat daripada yang terurai. Blueberry, cranberry, dan seledri yang ditanam di lahan seperti ini memiliki potensi menjadi karbon-negatif, asalkan rantai pasokannya efisien. Namun, saat ini, blueberry segar sering kali memiliki jejak karbon tinggi karena pengemasan plastik dan transportasi jarak jauh.
4. Kacang, Zaitun, dan Jeruk
Penanaman pohon di lahan pertanian, seperti pohon kacang, zaitun, dan jeruk, membantu menyimpan karbon. Selama 20 tahun terakhir, luas lahan kacang pohon global telah meningkat dua kali lipat, berkontribusi pada penghilangan karbon sebesar 1,3 kg CO2 per kg produk. Jika pohon ini digunakan untuk produk kayu tahan lama di akhir masa pakainya, karbon dapat disimpan lebih lama.
5. Makanan yang Dibudidayakan Secara Regeneratif
Praktik pertanian regeneratif, seperti tidak mengolah tanah dan menanam pagar tanaman, dapat meningkatkan penyimpanan karbon di tanah dan vegetasi. Misalnya, Wildfarmed dari Inggris melaporkan bahwa setiap kg gandum yang diproduksi menghilangkan 1,5 kg CO2. Beberapa perusahaan, seperti Gipsy Hill Brewery di London, mengklaim telah memproduksi produk karbon-negatif, seperti bir, melalui penilaian siklus hidup yang ketat. Â
Advertisement
Masa Depan Makanan Minim Jejak Karbon
Meskipun makanan rendah karbon saat ini masih jarang dan sulit ditemukan di toko-toko, potensi mereka untuk membantu memerangi perubahan iklim tidak dapat diabaikan. Dengan inovasi berkelanjutan dan peningkatan kesadaran konsumen, makanan ini dapat menjadi bagian penting dari solusi iklim global.
Mengadopsi makanan rendah karbon tidak hanya membantu mengurangi jejak karbon individu tetapi juga mendukung pemulihan ekosistem dan kesehatan planet kita secara keseluruhan. Namun, untuk makanan dengan emisi tinggi, seperti daging sapi, penelitian telah menemukan bahwa praktik regeneratif tidak mungkin mencapai karbon negatif.
Lebih jauh, beberapa praktik regeneratif dapat meningkatkan emisi di tempat lain dalam sistem pangan. Misalnya, sebuah peternakan di Argentina, tempat ternak merumput dengan intensitas rendah di antara semak belukar, mensertifikasi daging sapinya sebagai penghilang 0,3 kg CO2 per kg.
Untuk mencapai ini, diperlukan padang rumput dan lahan pertanian seluas 500 m2 per kg daging sapi. Jika setiap peternakan sapi menggunakan lahan sebanyak itu, kita perlu mengubah tiga miliar hektare lahan lagi – wilayah seluas Afrika – menjadi lahan pertanian untuk memenuhi permintaan daging sapi saat ini.
Kebutuhan Akan Label Karbon
Secara keseluruhan, sangat sulit untuk mengidentifikasi makanan yang tidak menghasilkan karbon saat ini. Namun, hal ini sedang diatasi. Skema pemantauan dan pelabelan karbon yang kuat, yang memperhitungkan siklus hidup penuh produk, sedang diluncurkan di seluruh dunia.
Misalnya, di Selandia Baru, pertanian kini perlu mengukur emisi gas rumah kaca mereka, dan di Prancis, pemerintah merencanakan peluncuran nasional pelabelan karbon. Setelah skema ini sepenuhnya diterapkan dan didukung oleh peraturan, akan jauh lebih mudah bagi semua orang untuk mengidentifikasi makanan yang tidak menghasilkan karbon.
Meskipun makanan yang tidak menghasilkan karbon berpotensi, makanan tersebut mungkin hanya menjadi bagian kecil dari pola makan kita; tidak cukup banyak produk yang berpotensi tidak menghasilkan karbon, dan praktik regeneratif mungkin tidak dapat mengimbangi makanan yang menghasilkan emisi tinggi. Jadi, kita juga memerlukan strategi lain untuk tidak menghasilkan karbon.
Disebutkan apabila kita menghentikan pertanian, lahan tersebut kemungkinan akan kembali menjadi hutan atau padang rumput alami. Jadi, jika Anda dapat menghasilkan jumlah makanan yang sama dengan lahan yang lebih sedikit, lahan yang dibebaskan kemungkinan akan menyerap karbon.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement