Liputan6.com, Jakarta: Perempuan itu tak bisa didefinisikan. Menimbulkan rasa prihatin, kaum hawa tak hanya ditindas, namun ditafsirkan semau-maunya oleh mereka yang bernama lelaki. Seniman Sujiwo Tejo juga prihatin dengan hal ini. Dia menorehkan sekapur sirih tentang makhluk bernama wanita dalam album terbarunya, Syair Dunia Maya.
Menurut penulis buku Dalang Edan ini, Tuhan mungkin bisa didefinisikan. "Namun satu-satunya yang nggak bisa didefinisikan adalah perempuan," kata pemilik nama asli Agus Hadi Sujiwo dalam dialog bersama reporter SCTV Sella Wangkar, Ahad (24/4) pagi.
Sujiwo mengaku prihatin terhadap nasib perempuan. Dalam pewayangan--sama seperti kitab suci--para tokoh perempuan juga ditindas. Pasalnya, kebanyakan dalang adalah laki-laki karena itu tafsirnya selalu menguntungkan laki-laki.
Seniman berambut gondrong ini lalu berusaha menafsirkan sendiri kaum perempuan dalam wayang. Dewi Kunti, misalnya. Menurut pelantun Anyam-anyaman ini, Dewi Kunti memiliki banyak suami. Ini lain dengan keyakinan yang menyatakan Kunti hanya mempunyai satu suami. Atau terkait cerita Dewi Sinta. Tejo menyatakan, Sinta sebenarnya ingin diculik Rahwana. Ini karena Sinta bosan pada suaminya, Rama. Di tangan sang Dalang Edan, Rahwana ditampilkan bersuara halus, romantis, dan bisa menembang.
Album baru Sujiwo, Syair Dunia Maya, berisi sebelas lagu. Satu lagu liriknya berbahasa Madura, dua lagu berbahasa Indonesia, dan selebihnya bahasa Jawa. Sujiwo menyatakan senang menyanyi dalam bahasa daerah. Bahkan, pada album berikutnya dia berencana menyanyikan lagu dalam bahasa Sunda dan Batak. Untuk itu, Sujiwo berniat belajar bahasa-bahasa daerah itu terlebih dulu.
Pemain film Telegram ini mengaku, album ketiganya disiapkan dengan matang. Ada berbagai revisi yang dilakukan saat menyiapkan album itu. Karena itu, waktu penggarapannya juga lama. Sekadar informasi, album kedua Sujiwo Pada Sebuah Ranjang diluncurkan enam tahun silam. Yang pasti, album ketiga Sujiwo berbeda dengan album-album sebelumnya. "Jadi, kalo mirip album satu dan kedua, ya mending saya nggak bikin album [Syair Dunia Maya]," kata Sujiwo.
Terkait kebiasaan mendalang, pria kelahiran Jember, Jawa Timur, ini mengaku tak bisa dilepaskan dari wayang. Mantan mahasiswa Institut Teknologi Bandung itu merasa tak punya enerji untuk berkesenian bila lama tak mendalang. Kebiasaan ini diketahui persis teman-teman dari manajemennya. Sujiwo merasa mendapat energi tambahan usai mendalang. Dia juga amat menyukai Semar yang dianggap menyatukan senyum dan sedih. Pada Semar tergambarkan harapan bahwa hidup tak selalu seperti yang dicita-citakan.
Sujiwo belajar mendalang dari ayahnya yang juga dalang. Hal yang disesali Sujiwo, ayahnya keburu meninggal tanpa sempat melihat sang anak serius menekuni dunia dalang. Dalam mendalang, Sujiwo terpengaruh gaya Solo. Namun, dia tak menampik bahwa gaya Jatim juga mempengaruhinya. Wayang Jatim dinilai lebih egaliter, ceplas-ceplos, dan tak selalu hitam putih menggambarkan tokohnya.(MAK)
Menurut penulis buku Dalang Edan ini, Tuhan mungkin bisa didefinisikan. "Namun satu-satunya yang nggak bisa didefinisikan adalah perempuan," kata pemilik nama asli Agus Hadi Sujiwo dalam dialog bersama reporter SCTV Sella Wangkar, Ahad (24/4) pagi.
Sujiwo mengaku prihatin terhadap nasib perempuan. Dalam pewayangan--sama seperti kitab suci--para tokoh perempuan juga ditindas. Pasalnya, kebanyakan dalang adalah laki-laki karena itu tafsirnya selalu menguntungkan laki-laki.
Seniman berambut gondrong ini lalu berusaha menafsirkan sendiri kaum perempuan dalam wayang. Dewi Kunti, misalnya. Menurut pelantun Anyam-anyaman ini, Dewi Kunti memiliki banyak suami. Ini lain dengan keyakinan yang menyatakan Kunti hanya mempunyai satu suami. Atau terkait cerita Dewi Sinta. Tejo menyatakan, Sinta sebenarnya ingin diculik Rahwana. Ini karena Sinta bosan pada suaminya, Rama. Di tangan sang Dalang Edan, Rahwana ditampilkan bersuara halus, romantis, dan bisa menembang.
Album baru Sujiwo, Syair Dunia Maya, berisi sebelas lagu. Satu lagu liriknya berbahasa Madura, dua lagu berbahasa Indonesia, dan selebihnya bahasa Jawa. Sujiwo menyatakan senang menyanyi dalam bahasa daerah. Bahkan, pada album berikutnya dia berencana menyanyikan lagu dalam bahasa Sunda dan Batak. Untuk itu, Sujiwo berniat belajar bahasa-bahasa daerah itu terlebih dulu.
Pemain film Telegram ini mengaku, album ketiganya disiapkan dengan matang. Ada berbagai revisi yang dilakukan saat menyiapkan album itu. Karena itu, waktu penggarapannya juga lama. Sekadar informasi, album kedua Sujiwo Pada Sebuah Ranjang diluncurkan enam tahun silam. Yang pasti, album ketiga Sujiwo berbeda dengan album-album sebelumnya. "Jadi, kalo mirip album satu dan kedua, ya mending saya nggak bikin album [Syair Dunia Maya]," kata Sujiwo.
Terkait kebiasaan mendalang, pria kelahiran Jember, Jawa Timur, ini mengaku tak bisa dilepaskan dari wayang. Mantan mahasiswa Institut Teknologi Bandung itu merasa tak punya enerji untuk berkesenian bila lama tak mendalang. Kebiasaan ini diketahui persis teman-teman dari manajemennya. Sujiwo merasa mendapat energi tambahan usai mendalang. Dia juga amat menyukai Semar yang dianggap menyatukan senyum dan sedih. Pada Semar tergambarkan harapan bahwa hidup tak selalu seperti yang dicita-citakan.
Sujiwo belajar mendalang dari ayahnya yang juga dalang. Hal yang disesali Sujiwo, ayahnya keburu meninggal tanpa sempat melihat sang anak serius menekuni dunia dalang. Dalam mendalang, Sujiwo terpengaruh gaya Solo. Namun, dia tak menampik bahwa gaya Jatim juga mempengaruhinya. Wayang Jatim dinilai lebih egaliter, ceplas-ceplos, dan tak selalu hitam putih menggambarkan tokohnya.(MAK)