Liputan6.com, Jakarta: Rakyat miskin di Jakarta jumlahnya terhitung masih cukup besar. Data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, hingga akhir 2004, penduduk miskin di Ibu Kota berjumlah 370.898 jiwa. Angka itu menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin Jakarta sebesar 17 persen dari tahun sebelumnya. Adapun penduduk Jakarta berjumlah lebih dari 12 juta jiwa.
Dari ratusan ribu penduduk miskin itu, sebesar 27 persen di antaranya masuk golongan kaum papa. Di Kampung Nias di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya. Tempat ini adalah salah satu kantong kemiskinan yang ada di Ibu Kota. Setelah digusur dari pinggiran Kali Adem, Penjaringan, dua tahun silam, kehidupan 500 keluarga di sana makin menderita [baca: Warga Kali Adem Tetap Digusur].
Salah satu penghasilan warga Kali Adem sebagai nelayan masih belum cukup meningkatkan kesejahteraan mereka. Satu-satunya program pengentasan yang pernah dinikmati hanyalah pembagian beras miskin (raskin). Itu pun sudah tak bisa lagi dinikmati sejak setahun silam. "Dari dulu dapet, [Rp] 2.000. Sekarang nggak," kata Nariti, warga Kampung Nias, baru-baru ini.
Satu contoh lagi adalah permukiman padat di Kelurahan Kartini, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Di sana menumpuk ribuan warga miskin. Sebagian besar orang usia produktif menganggur karena dipecat. Adapun anak-anak, tak bisa melanjutkan sekolah. Tukang pungut sampah bernama Muhana misalnya. Dengan penghasilan Rp 2.000 per bulan, pengeluarannya masih dialokasikan untuk sewa rumah dan biaya hidup sehari-hari. Namun harapan tetap dirajut. Ia ingin anak tunggalnya bisa sekolah dan meraih cita-cita menjadi polisi.
Sekitar 200 keluarga miskin di Kelurahan Kartini sebenarnya telah melengkapi syarat untuk mendapat kartu miskin pada tahun ini. Meski demikian dari jumlah itu cuma seperempatnya saja yang diberi kartu miskin. &quotKita juga bingung. Jadi mengatasi warga juga susah,&quot jelas Bambang, ketua rukun tetangga Kelurahan Kartini.(AIS/Dewi Puspita dan Yon Helfi)
Dari ratusan ribu penduduk miskin itu, sebesar 27 persen di antaranya masuk golongan kaum papa. Di Kampung Nias di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya. Tempat ini adalah salah satu kantong kemiskinan yang ada di Ibu Kota. Setelah digusur dari pinggiran Kali Adem, Penjaringan, dua tahun silam, kehidupan 500 keluarga di sana makin menderita [baca: Warga Kali Adem Tetap Digusur].
Salah satu penghasilan warga Kali Adem sebagai nelayan masih belum cukup meningkatkan kesejahteraan mereka. Satu-satunya program pengentasan yang pernah dinikmati hanyalah pembagian beras miskin (raskin). Itu pun sudah tak bisa lagi dinikmati sejak setahun silam. "Dari dulu dapet, [Rp] 2.000. Sekarang nggak," kata Nariti, warga Kampung Nias, baru-baru ini.
Satu contoh lagi adalah permukiman padat di Kelurahan Kartini, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Di sana menumpuk ribuan warga miskin. Sebagian besar orang usia produktif menganggur karena dipecat. Adapun anak-anak, tak bisa melanjutkan sekolah. Tukang pungut sampah bernama Muhana misalnya. Dengan penghasilan Rp 2.000 per bulan, pengeluarannya masih dialokasikan untuk sewa rumah dan biaya hidup sehari-hari. Namun harapan tetap dirajut. Ia ingin anak tunggalnya bisa sekolah dan meraih cita-cita menjadi polisi.
Sekitar 200 keluarga miskin di Kelurahan Kartini sebenarnya telah melengkapi syarat untuk mendapat kartu miskin pada tahun ini. Meski demikian dari jumlah itu cuma seperempatnya saja yang diberi kartu miskin. &quotKita juga bingung. Jadi mengatasi warga juga susah,&quot jelas Bambang, ketua rukun tetangga Kelurahan Kartini.(AIS/Dewi Puspita dan Yon Helfi)