Liputan6.com, Jakarta: Sistem pasokan minyak tanah berdasarkan rayonisasi tak jalan. Akibatnya, terjadi kelangkaan minyak tanah di Jakarta Selatan. Padahal, Pertamina telah membentuk satuan tugas di tiap rayon untuk mengawasi penyimpangan distribusi bahan bakar minyak bagi industri dan rumah tangga. Tindakan itu diambil menyusul kenaikan tarif BBM untuk industri dan pelayaran internasional dinaikkan 50 persen per 1 April.
Tapi, pembentukan rayon tertunda hingga bulan depan. Sebab, diprotes para sopir armada. Kondisi itu justru melemahkan pengawasan di lapangan. Buntutnya, pasokan minyak tanah ke kawasan Jaksel dari agen di Depok, Jawa Barat, macet. Biasanya, rata-rata pasokan minyak tanah dari Depok mencapai 10 tangki atau 50 ribu liter per minggu. Gara-gara pengiriman dari Depok mandek, distribusi minyak tanah hanya mengandalkan satu agen di Jakarta sebanyak enam tangki per minggu.
Sebaliknya, Pertamina menyatakan jumlah distribusi minyak tanah, Rabu (4/3), masih normal yakni sekitar 13.000 kiloliter. Persediaan itu masih cukup untuk 27 hari mendatang. Karena itu, ada dugaan, penyaluran ke pangkalan terseok-seok gara-gara agen menimbun minyak tanah.
Sementara itu, sejumlah pemilik stasiun penyalur bahan bakar umum (SPBU) mengeluhkan pembatasan solar oleh Depo Plumpang. Padahal, mereka tak menerima aturan resmi dari Pertamina tentang pembatasan itu. Secara normal, solar yang dipasok berdasarkan permintaan atau kebutuhan tiap SPBU. Tentu saja, sepanjang permintaan tersebut dinilai wajar oleh Pertamina.
Tapi, hari ini, ada pembatasan pasokan solar pada sejumlah SPBU di Ibu Kota. Tengok saja, SPBU di daerah Jakarta Pusat hanya dijatah satu tangki solar berkapasitas 16 kiloliter per hari. Padahal, omzet penjualan per hari rata-rata mencapai 20 hingga 22 kiloliter. Hal tersebut mereka ketahui dari supir armada yang mengantar suplai solar ke SPBU.
Pegawai Humas menegaskan, Pertamina tak mengeluarkan aturan tentang pembatasan pasokan solar ke SPBU. Tapi, Pertamina terus mengawasi agar tak solar untuk masyarakat tak dipakai kalangan industri. Pertamina berjanji akan terus mengevaluasi kebutuhan tiap SPBU. Perusahaan minyak negara itu tak akan memenuhi permintaan SPBU yang dinilai melebihi batas kewajaran.(TNA/Olivia Rosalia dan Julianus)
Tapi, pembentukan rayon tertunda hingga bulan depan. Sebab, diprotes para sopir armada. Kondisi itu justru melemahkan pengawasan di lapangan. Buntutnya, pasokan minyak tanah ke kawasan Jaksel dari agen di Depok, Jawa Barat, macet. Biasanya, rata-rata pasokan minyak tanah dari Depok mencapai 10 tangki atau 50 ribu liter per minggu. Gara-gara pengiriman dari Depok mandek, distribusi minyak tanah hanya mengandalkan satu agen di Jakarta sebanyak enam tangki per minggu.
Sebaliknya, Pertamina menyatakan jumlah distribusi minyak tanah, Rabu (4/3), masih normal yakni sekitar 13.000 kiloliter. Persediaan itu masih cukup untuk 27 hari mendatang. Karena itu, ada dugaan, penyaluran ke pangkalan terseok-seok gara-gara agen menimbun minyak tanah.
Sementara itu, sejumlah pemilik stasiun penyalur bahan bakar umum (SPBU) mengeluhkan pembatasan solar oleh Depo Plumpang. Padahal, mereka tak menerima aturan resmi dari Pertamina tentang pembatasan itu. Secara normal, solar yang dipasok berdasarkan permintaan atau kebutuhan tiap SPBU. Tentu saja, sepanjang permintaan tersebut dinilai wajar oleh Pertamina.
Tapi, hari ini, ada pembatasan pasokan solar pada sejumlah SPBU di Ibu Kota. Tengok saja, SPBU di daerah Jakarta Pusat hanya dijatah satu tangki solar berkapasitas 16 kiloliter per hari. Padahal, omzet penjualan per hari rata-rata mencapai 20 hingga 22 kiloliter. Hal tersebut mereka ketahui dari supir armada yang mengantar suplai solar ke SPBU.
Pegawai Humas menegaskan, Pertamina tak mengeluarkan aturan tentang pembatasan pasokan solar ke SPBU. Tapi, Pertamina terus mengawasi agar tak solar untuk masyarakat tak dipakai kalangan industri. Pertamina berjanji akan terus mengevaluasi kebutuhan tiap SPBU. Perusahaan minyak negara itu tak akan memenuhi permintaan SPBU yang dinilai melebihi batas kewajaran.(TNA/Olivia Rosalia dan Julianus)