Liputan6.com, Solo: Konflik di antara keluarga Keraton Solo kembali memanas. Ketegangan terjadi saat Gusti Kanjeng Ratu Alit, anak tertua Paku Buwono VII bersama saudara-saudaranya berusaha memasuki Keraton Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, Jumat (19/8). Namun, rombongan dihalangi salah seorang abdi dalem yang mengaku mendapat tugas dari Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi yang saat ini menguasai istana.
Tujuan kedatangan Ratu Alit adalah untuk masuk kembali ke dalam rumahnya di lingkungan keraton yang sejak beberapa bulan lalu ia tinggalkan. Ratu Alit diusir dari lingkungan Keraton Solo karena dianggap berpihak kepada KGPH Tedjowulan.
Setelah gagal bernegosiasi untuk masuk ke dalam Keraton Solo, Ratu Alit bersama para pendukungnya akhirnya memilih duduk di lantai Kori Kamandungan alias pintu masuk utama ke dalam keraton. Mereka akan tetap menduduki halaman kediaman Raja Solo ini hingga terjadi kesepakatan dengan pihak Hangabehi.
Konflik di Keraton Solo terus terjadi semenjak kerajaan ini memiliki pemimpin kembar. Keduanya, Hangabehi dan Tedjowulan sama-sama bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII. Masing-masing pihak mengklaim sebagai Raja Surakarta yang sah. Kondisi ini yang membuat keluarga kerajaan terbagi dua antara yang mendukung KGPH Hangabehi dan KGPH Tedjowulan [baca: Bila Dua Raja Surakarta Berebut Singgasana].(TOZ/Ferry Aditri)
Tujuan kedatangan Ratu Alit adalah untuk masuk kembali ke dalam rumahnya di lingkungan keraton yang sejak beberapa bulan lalu ia tinggalkan. Ratu Alit diusir dari lingkungan Keraton Solo karena dianggap berpihak kepada KGPH Tedjowulan.
Setelah gagal bernegosiasi untuk masuk ke dalam Keraton Solo, Ratu Alit bersama para pendukungnya akhirnya memilih duduk di lantai Kori Kamandungan alias pintu masuk utama ke dalam keraton. Mereka akan tetap menduduki halaman kediaman Raja Solo ini hingga terjadi kesepakatan dengan pihak Hangabehi.
Konflik di Keraton Solo terus terjadi semenjak kerajaan ini memiliki pemimpin kembar. Keduanya, Hangabehi dan Tedjowulan sama-sama bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII. Masing-masing pihak mengklaim sebagai Raja Surakarta yang sah. Kondisi ini yang membuat keluarga kerajaan terbagi dua antara yang mendukung KGPH Hangabehi dan KGPH Tedjowulan [baca: Bila Dua Raja Surakarta Berebut Singgasana].(TOZ/Ferry Aditri)