Sukses

Mengusir Bajak Laut dari Jalur Sutra

Biro Maritim Internasional menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus perompak tertinggi di dunia. Perairan yang dinilai rawan meliputi areal Pulau Jemur hingga Johor di Malaysia.

Liputan6.com, Jakarta: Bajak laut tak hanya ditemui dalam dongeng atau hikayat masa lalu. Bahkan, perompak ini sering beraksi di perairan Indonesia. Berdasarkan data Biro Maritim Internasional (IMB), sepanjang tahun ini terjadi 42 kasus perompakan di Selat Malaka, Indonesia. Tak mengherankan, bila badan yang bermarkas di London, Inggris itu, membubuhkan stempel Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus perompakan terbesar di dunia.

Selat Malaka. Meski sempit, perairan yang memanjang sejauh 900 kilometer itu memang sudah menjadi jalur perdagangan dunia sejak 15 abad silam. Selat yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra ini menjadi jalur tersibuk di dunia hingga detik ini. Seperempat perdagangan laut dunia dipastikan melewati selat ini, terutama perdagangan minyak.

Dengan reputasi seperti itu, tak heran para perompak ngiler. Selama tiga tahun terakhir, Indonesia menjadi negara peringkat pertama paling rawan perompakan. Sejauh ini, perairan yang dinilai rawan meliputi areal Pulau Jemur, Bagan Siapi-api dengan Port Klang, Malaysia. Bengkalis, Muar hingga Malaka, antara Bengkalis dengan Batu Pahat, Malaysia dan antara Karimun hingga Johor, Malaysia, tak kalah rawan.

Kasus paling menghebohkan tahun ini terjadi saat tanker milik PT Pelni dirampok akhir April silam. Sebanyak 573 ton timah batangan senilai Rp 45 miliar yang diangkut tanker dikuras habis. Awak kapal dibuang ke perairan Batam. Kapal ini ditemukan Polis Diraja Malaysia bersandar di Pelabuhan Pasir Gudang, Johor, Malaysia.

Perampokan yang masih hangat menimpa tongkang Bahar 28 dan tugboat (kapal pengiring tongkang) yang mengangkut batu bara. Tim Buru Sergap Satuan Polisi Air dan Udara Kepolisian Daerah Riau sempat mengeluarkan tembakan peringatan untuk melumpuhkan mereka. Saat ditangkap polisi, kapal sudah berganti nama menjadi Ayu.

Kini, komplotan perompak beranggota 13 orang itu mendekam di penjara Batam dan sedang proses persidangan. Tujuh perompak yang tertangkap diketahui hanya orang suruhan Akay alias Suryanto. Mereka mengaku jika sukses, akan diberi imbalan Rp 1 miliar atau setara dengan seperempat nilai kapal yang dibajak.

Seorang mantan perompak menyatakan, dalam sebuah aksi perompakan biasanya memang ada bos atau cukong pengupah yang mempunyai jaringan internasional. Mereka biasanya terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pemburu, bertugas melumpuhkan kapal sasaran. Kelompok penarik, bertugas membawa kapal ke tujuan. Terakhir, kelompok penerima yang bertugas melakukan transaksi dengan pembeli kapal atau muatan kapal yang dirompak.

Perompak yang biasa beraksi di sekitar perairan Malaka sebenarnya terbagi dalam dua kelas. Kasta pertama, perompak yang beroperasi di sekitar perairan wilayah Riau hingga Batam. Kelompok ini umumnya mengincar muatan kapal seperti minyak dan batu bara. "Mereka membawa pistol dan parang," kata Komandan Lantamal I Belawan Brigadir Jenderal Laut Halim Harmanto.

Kelompok kedua beroperasi di sekitar Nanggroe Aceh Darussalam hingga ke arah Thailand. Mereka dikenal sangat ganas. Senjata yang ditenteng biasanya laras panjang. Tuntutannya pun tak lagi sekedar menguras harta awak kapal atau melarikan isi muatan. Mereka biasa menyandera kru kapal dan meminta tebusan hingga miliaran rupiah. Ini pernah dialami tiga awak kapal berbendara Jepang, Idaten pada 16 Maret silam. "Kebanyakan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Untuk membiayai gerakan mereka," lanjut Halim.

Membekuk perompak memang bukan perkara mudah. Tak seperti di dongeng anak-anak, mereka tak mengenakan tutup mata satu atau membawa burung kakak tua di pundak. Para perompak biasa menyamar sebagai nelayan biasa yang mencari ikan. Belum lagi lautan yang luas dan terdapat lebih dari 3.000 pulau membuat mereka leluasa bergerak. Ini berbanding terbalik dengan personel yang menjaga Selat Malaka.

Kesulitan ini terlihat saat awak KRI Multatuli menggelar razia perompak dua pekan silam. Selama tiga hari beroperasi, tak ditemui kapal perompak. Padahal tim telah menyisir mulai dari Pelabuhan Batu Ampar, Batam hingga Pelabuhan Belawan, Medan. Razia mendapat hasil pada hari terakhir. Bukan perampok, tapi kapal berbendera Thailand yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa surat izin. Kapal ini pun akhirnya ditahan.

Para perompak saat ini mungkin sedang tiarap. Pasalnya, tiga negara pemilik selat seperti Indonesia-Malaysia-Singapura sepakat menggelar operasi bersama dibantu Thailand dengan sandi Eyes in The Sky awal bulan silam. Melalui kesepakatan ini diharapkan masyarakat internasional mengetahui keseriusan ketiga negara dalam menjaga keamanan perairan Selat Malaka. Patroli akan dilakukan dari gerbang utara Selat Malaka hingga gerbang selatan di dekat Singapura [baca: Patroli Bersama Selat Malaka Disepakati].

Keseriusan untuk membuktikan diri mampu menjaga wilayah sendiri juga menjadi salah satu alasan ketiga negara menolak uluran negara lain seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Gagasan membentuk satuan pengaman swasta yang dipersenjatai untuk mengamankan kapal-kapal yang melalui Selat Malaka juga ditolak karena dianggap berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.(YAN/Tim Sigi SCTV)