Liputan6.com, Ambon: Iring-iringan mobil Detasemen 88 Polri membawa 16 orang yang diduga terkait sejumlah aksi teror bom dan tindak kekerasan di Maluku. Mobil Detasemen 88 Polri yang baru tiba di Ambon itu menuju Markas Kepala Daerah Maluku, Jumat (25/11).
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Ajun Komisaris Besar Polisi Irsanto yang dihubungi melalui telepon menjelaskan, belasan pria itu ditangkap di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram. Informasi lain menyebutkan, komplotan ini pernah berhubungan dengan Dr. Azahari dan Noordin M. Top.
Polri menemukan indikasi bahwa kelompok teroris yang beraksi di Indonesia mengubah taktik peledakan. Berdasarkan dokumen temuan polisi, kini, kelompok teroris lebih senang menggunakan bom ransel ketimbang bom mobil. Sebab, lebih mudah, murah, dan tidak mudah dicurigai. "Dengan tas ransel ini lepas dari kewaspadaan petugas," kata Kepala Polri Jenderal Polisi Sutanto di Jakarta, tadi siang.
Dalam penyergapan di sarang persembunyian Azahari di Batu, Malang, Jawa Timur, beberapa waktu silam, polisi menemukan berbagai dokumen dan 47 buah bom ransel. Dalam dokumen itu terungkap bahwa pembuatan bom mobil memerlukan biaya besar dan memakan waktu lama yaitu sekitar tiga pekan. Selain itu bom mobil juga dinilai mudah diidentifikasi.
Sutanto membenarkan, dalam mengantisipasi pengeboman, selama ini, polisi memang terfokus pada pemeriksaan mobil-mobil. Para teroris mengamati hal itu dengan cermat. Karena itu mereka menggunakan bom ransel untuk meledakkan kawasan Jimbaran, Bali, awal Oktober silam [baca: Bali Diguncang Tiga Ledakan].(TNA/Liputan 6 SCTV)
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Ajun Komisaris Besar Polisi Irsanto yang dihubungi melalui telepon menjelaskan, belasan pria itu ditangkap di Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram. Informasi lain menyebutkan, komplotan ini pernah berhubungan dengan Dr. Azahari dan Noordin M. Top.
Polri menemukan indikasi bahwa kelompok teroris yang beraksi di Indonesia mengubah taktik peledakan. Berdasarkan dokumen temuan polisi, kini, kelompok teroris lebih senang menggunakan bom ransel ketimbang bom mobil. Sebab, lebih mudah, murah, dan tidak mudah dicurigai. "Dengan tas ransel ini lepas dari kewaspadaan petugas," kata Kepala Polri Jenderal Polisi Sutanto di Jakarta, tadi siang.
Dalam penyergapan di sarang persembunyian Azahari di Batu, Malang, Jawa Timur, beberapa waktu silam, polisi menemukan berbagai dokumen dan 47 buah bom ransel. Dalam dokumen itu terungkap bahwa pembuatan bom mobil memerlukan biaya besar dan memakan waktu lama yaitu sekitar tiga pekan. Selain itu bom mobil juga dinilai mudah diidentifikasi.
Sutanto membenarkan, dalam mengantisipasi pengeboman, selama ini, polisi memang terfokus pada pemeriksaan mobil-mobil. Para teroris mengamati hal itu dengan cermat. Karena itu mereka menggunakan bom ransel untuk meledakkan kawasan Jimbaran, Bali, awal Oktober silam [baca: Bali Diguncang Tiga Ledakan].(TNA/Liputan 6 SCTV)