Sang pemilik pasti bangga dengan hewan peliharaannya itu. Sebab, selain memiliki daya tarik, satwa langka menjadi barang bergengsi di antara para penggemar hewan. Hanya saja aktivitas ini adalah sesuatu yang dilarang untuk dilakukan atau melanggar hukum. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam UU itu menegaskan bahwa burung cendrawasih, kakatua kecil jambul kuning, dan nuri kepala hitam adalah sebagian satwa yang harus dilindungi dari ancaman kepunahan dan melarang orang yang menangkapnya, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut, dan memperdagangkannya dalam keadaan hidup atau mati.
Alam Indonesia memang memiliki berbagai satwa langka yang dilindungi. Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Departemen Kehutanan ada 221 jenis satwa langka yang masuk dalam daftar satwa yang dilindungi, termasuk burung cendrawasih, kakatua kecil jambul kuning, dan nuri kepala hitam itu. Begitu juga dengan kura-kura jenis moncong babi asal Papua, harimau, dan buaya muara.
Advertisement
Satwa itu juga masuk dalam Apendiks 1 perjanjian CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), sebuah perjanjian mengenai pencegahan perdagangan satwa dan tumbuhan yang terancam punah secara internasional.
Sejatinya satwa langka itu memang harus dilindungi dan dapat hidup di alam bebas di habitat aslinya. Akan tetapi, di hutan Papua, burung nuri kepala hitam kerap diburu oleh para pemburu satwa. Setelah ditangkap, nuri itu dicabuti bulu-bulu sayapnya agar tidak lagi dapat terbang dan lolos, sehingga dapat menjadi komoditas yang langsung layak jual.
Burung itu mempunyai nilai jual yang cukup mahal. Harganya berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 600 ribu. Kini, nuri kepala hitam jumlah burung tersebut jumlahnya sudah jauh berkurang. Sebab, hukum pasar berlaku. Permintaan tinggi harga pun ikut melambung.
Dalam bisnis ini, memang tidak hanya nuri kepala hitam yang menjadi target para pemburu, satwa langka lain pun menjadi objek komoditas ini yang tak lain motifnya hanya untuk uang. Selain itu para pedagang satwa juga menjadi lingkaran bisnis mereka ini.
Koordinator Profauna Jakarta Eni Nurhayati, mengatakan bahwa masalah bisnis satwa langka ini melibatkan banyak orang. Sebab, bukan hanya masyarakat saja yang menjadi konsumen satwa langka selain para pemburu dan pedagang satwa. Tetapi juga para petugas dari pihak instansi pemerintah yang terlibat. Seperti petugas pelindung satwa dan karantina.
Satwa yang dilindungi ini telah menjadi komoditas unggulan karena harganya mahal. Bagi para pedagang satwa, bisnis satwa langka ini diakui adalah bisnis yang menjanjikan dan telah memberikan keuntungan yang besar. Sementara bagi pecinta satwa di Jakarta, untuk mencari hewan-hewan ini tidaklah terlalu sulit. Sebab, satwa langka ini mudah ditemukan di pasar hewan tradisional seperti di Pasar Pramuka dan Pasar Barito.
Memang cara menjualnya tidak terang-terangan, tapi kalau kosumen serius ingin membeli hewan-hewan tersebut para pedagang akan melayaninya asal harganya pas dan uangnya tersedia. Saat Tim Sigi bertandang ke Pasar Pramuka yang kebanyakan pedagangnya menjual burung, menemukan sepasang anak macan akar asal Papua berusia satu tahun enam bulan yang siap jual.
Hewan tersebut dinamakan Mimi dan Boby. Menurut pedagang satwa tersebut, anak macan itu telah menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke tangannya atau menjadi barang daganganya. "Orang angkatan darat (TNI) yang membawanya dengan memakai tas ransel," kata pedagang itu. Sementara itu, hewan yang diperdagangkan mereka tak semuanya dipajang di kandang-kandang hewan yang dijualnya.
Tim Sigi sempat diajak seorang pedagang ke rumah salah seorang penjual yang tak jauh dari Pasar Pramuka. Di rumah itu, terdapat monyet, beruk, lutung, kukang, tarsius, hingga elang yang tersimpan dalam kandang seadanya. Para pedagang hewan ini memang layaknya pengrajin mebel yang sanggup menerima order atau pesanan hewan langka sesuai konsumen inginkan.
Para pedagang itu sepertinya memang tidak peduli dengan pelestarian lingkungan dan kepunahan satwa langka yang jumlahnya sudah berkurang atau hampir punah. Kendati demikian, beberapa waktu lalu, sejumlah petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta dari Departemen Kehutanan menggerebek toko hewan Widya di Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Operasi tersebut dilengkapi dengan surat penggerebegan dan penyitaan resmi dari BKSDA Jakarta.Toko hewan itu digerebek karena menjual kura-kura langka dari Madagaskar dan sebanyak tujuh kura-kura berhasil disita petugas. Sementara harga hewan itu biasa dijual Rp 45 juta per ekor oleh pemilik toko.
Berdalih sebagai operasi perlindungan satwa langka yang dipimpin Kepala Seksi Konservasi Wilayah Satu DKI Jakarta yang beinisial MH dan Kepala Seksi Konservasi II ES, operasi itu ternyata akal-akalan petugas yang sebelumnya sudah dirancang untuk motif uang dan bisnis. Mereka melakukan memeras pemilik toko hingga Rp 100 juta dengan mengancam toko hewan tersebut akan ditutup apabila tidak mampu memenuhi permintaan tersebut.
Setelah operasi itu, petugas memang membawa barang sitaan ke Kantor BKSDA. Akan tetapi hewan itu ternyata dijual kembali kepada seorang pembeli dengan harga Rp 5 juta. Sebab, sebelum operasi itu berlangsung calon pembeli sudah menyediakan uang Rp 15 juta sebagai biaya operasi.
Dari tujuh kura-kura yang disita dua ekor dijual. Sementara untuk melancarkan transaksi tersebut, kekurangan dua ekor barang sitaan itu dibuatkan surat resmi dari pihak berwenang bahwa kura-kura itu mati dalam perawatan BKSDA.
"Penggerebekan" satwa langka itu bermula dari kesepakatan antara pembeli yang menyamar dengan Kepala BKSDA dengan inisial PM. Sesuai waktu yang telah ditentukan transaksi penyerahan hewan itupun dilakukan oleh MH dan ES. Lebih gilanya lagi penyerahan itu dilakukan di dalam mobil operasional BKSDA dan dilakukan di parkiran Kantor tersebut di kawasan Salemba. Sementara saat transaksi pembeli yang menyamar itu juga memesan tujuh ekor kukang dan sembilan ekor hewan langka lainnya.
Aktivitas para pelindung satwa ini seperti maling teriak maling. Saat Tim Sigi mencoba menghubungi para pejabat BKSDA yang terlibat dalam permainan itu, hanya MH yang masih dapat dihubungi. Namun, dia tidak bersedia berbicara secara terbuka. Melalui pembicaaan telepon, MH menyatakan mereka hanya ingin menjebak sindikat perdagangan satwa langka.
Di tempat berbeda, ternyata para saudagar barang sitaan juga ada di pintu pintu masuk bandar bandar udara. Di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, untuk urusan satwa langka ada pada bagian karantina hewan atau Balai Besar Karantina Hewan Bandara Soekarno-Hatta.
Sesuai prosedur yang berlaku bila dokumen pengiriman sudah lengkap, maka satwa-satwa yang masuk atau keluar melalui bandar udara tetap harus masuk ruang karantina. Menurut Hadi Wardoko, Kepala Balai Besar Karantina Hewan Bandara Soekarno-Hatta, masa karantina itu memerlukan waktu selama dua minggu. "Pengawasan itu untuk mendeteksi kesehatan hewan dan keabsahan dokumen," kata dia.
Selama jangka waktu itu, satwa satwa ini akan diberikan perlakuan dan perawatan standar. Saat perawatan akan sang pemilik tentunya dikenakan biaya tergantung jenis hewan dan makanan dari satwa yang dirawat. Untuk satu ekor kucing misalnya dikenakan biaya sewa kandang, makan, dan perawatan sekitar Rp 50 ribu per hari atau sekitar Rp 700 ribu selama masa karantina.
Kendati demikian, hal itu terjadi untuk hewan biasa dengan dokumen resmi. Lantas, bagaimana dengan satwa langka? Dalam kesempatan inilah permainan lain yang menggiurkan dalam bisnis satwa langka itu. Seperti mendapatkan izin pengiriman satwa langka dengan cara belakang atau mencari petugas karantina yang bisa membantu. Dengan cara itu satwa langka itu dapat dikirim ke luar negeri tanpa masuk karantina.
Modus bantuan orang dalam ini bisa dilakukan beragam dan hanya memerlukan biaya sebesar Rp 500 ribu. Yakni, seperti dengan cara mulai menitipkan barang itu kepada pelayanan udara atau penerbang maskapai tertentu dan mengelabui pemeriksaan barang kemasan atau pemakaian kandang berlapis.
Bisnis satwa langka ini memang membuat banyak orang tergoda. Sebab, keuntungannya berlipat ganda dan caranya mungkin mudah ditempuh. Anak orang utan misalnya paling mahal dapat diperoleh dengan harga Rp 3 juta, namun untuk pasaran internasional nilainya menjadi sangat fantastis yaitu bisa menembus angka US$ 50 ribu. Belum lagi satwa langka seperti kura-kura jenis moncong babi dan harimau yang banyak dicari pembeli dari luar negeri.
Dengan menggilanya harga satwa langka di pasaran internasional ini membuat sungguh besar potensi kerugian negara akibat perdagangan satwa yang dilindungi ini. Menurut data dari Profauna, nilai transaksi jual beli hewan ini tak main-main. Jutaan ekor satwa langka yang diperjualbelikan di Tanah Air, ditaksir mencapai Rp 9 triliun per tahun. Satwa yang diperdagangkan pun beragam. Mulai dari orang utan, macan, burung cenderawasih hingga kakaktua. Sementara uang haram sebesar itu mengalir ke kantong-kantong pedagang satwa liar, penyelundup dan oknum pemerintah [baca: Serdadu Nakal di Bisnis Satwa Langka].(ZIZ/Tim Sigi)