Di biara itu, Suster Brigitta mengawali kesehariannya sebagai hamba Tuhan. Di tempat itu pula, ia memperdalam wawasan dan tempaan rohani selama 24 tahun lebih. Jiwanya terpanggil saat konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) berkecamuk di Ambon, Maluku, enam tahun silam. Suster Brigitta terjun langsung mengupayakan perdamaian meski nyawa taruhannya. Sejak itulah kiprahnya sebagai tokoh lintas agama dimulai.
Kini, hari-hari Suster Brigitta selalu diisi berbagai kegiatan sosial seperti mendampingi perempuan korban kekerasan, anak-anak korban konflik dan bencana. Bimbingan psikologis dan pendekatan untuk saling berbagi juga dilakoninya. Sang suster juga menakhodai tiga yayasan sosial yakni Yayasan Kasih Mandiri Ambon, Yayasan Astidharma yang memperjuangkan nasib anak dan pendidikan, serta Gerakan Peduli Perempuan. Rumah sederhananya di kawasan Batumeja pun tak pernah sepi. Hingga larut malam, pintu selalu terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan uluran tangan.
Bersama beberapa aktivis pemerhati anak, ia menggelar konseling setidaknya sekali dalam sepekan. Puluhan bocah berbagai usia dan beragam latar belakang agama berkumpul bersama mempelajari arti toleransi. Ini sangat penting, apalagi mengingat kebanyakan anak-anak itu adalah saksi peristiwa konflik berdarah di ibu kota Provinsi Seribu Pulau itu.
Advertisement
Tak hanya di Ambon, Suster Brigitta mengembangkan sayap dalam berbagai misi kemanusiaan di daerah lain. Menjadi relawan Children Center di Nanggroe Aceh Darussalam untuk anak-anak korban Tsunami hingga memperjuangkan hak anak dan perempuan dalam kongres di Thailand dan Kamboja pernah dilakoninya.
Melihat sepak terjangnya itu, tak aneh bila ia tercatat sebagai nomine program 1.000 perempuan penerima Nobel Perdamaian 2005. Namun bagi Suster Brigitta, bukanlah penghargaan tapi perjuangan atas nama kemanusiaanlah yang lebih berarti.(TOZ/Widiyaningsih dan Rudi Utomo)