Sukses

Pengawet Mayat di Tubuh Kita

Tahu, mi basah, kwetiau, ayam potong, baso, dan ikan asin adalah beberapa jenis makanan yang mengandung formalin berkadar tinggi. Makanan ini marak beredar di pasar tradisional dan supermarket di Tanah Air.

Liputan6.com, Jakarta: Perlahan tapi pasti, formalin semakin merasuk ke tubuh kita. Bagaimana tidak? Bahan kimia yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat itu, kini hampir ada di setiap jenis makanan yang biasa kita santap sehari-hari. Tahu, mi basah, kwetiau, ayam potong, baso, ikan asin, cumi, dan ikan jenis lainnya adalah sebagian jenis makanan dengan kandungan formalin berkadar tinggi yang kini tengah beredar di masyarakat.

Makanan berformalin itu dijual bebas di pasar tradisional dan supermarket di Tanah Air. Di Jakarta saja, makanan dengan kadar formalin tinggi itu di temukan di 50 pasar tradisional. Hal ini didasari dari temuan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) DKI Jakarta belum lama ini. Sementara dari hasil uji laboratorium Badan POM tersebut memastikan ada 56 jenis makanan yang mengandung formalin berkadar tinggi yang kerap dimakan masyarakat Ibu Kota.

Sementara itu, makanan yang mengadung formalin dapat dibedakan secara kasat mata. Sebab, secara umum makanan tersebut mempunyai ciri tidak mudah busuk dan selalu segar. Misalnya, di dalam tahu  yang mengadung formalin di antaranya mempunyai ciri-ciri lebih kenyal dan mempunyai tekstur yang lebih halus. Ciri lainnya adalah tahu berformalin lebih tahan lama dan air bekas merendamnya mengeluarkan bau menyengat [baca: Cara Mudah Menduga Ikan Berformalin].

Untuk mi basah yang mengandung formalin mengeluarkan zat yang bisa membuat mata pedih dan tidak mudah basi serta mengeluarkan bau menyengat. Sementara pada ayam potong yang mengandung zat berbahaya, cirinya adalah mempunyai warna daging yang lebih putih dan tidak mudah busuk. Sedangkan pada ikan, cairan formalin membuat hewan laut tersebut mempunyai insang yang lebih merah, daging yang lebih kenyal dan tentunya lebih awet.

Formalin adalah zat berbahaya bagi tubuh manusia. Maka, apabila penggunaannya untuk mengawetkan makanan yang akan dikonsumsi konsumen atau masyarakat dipastikan akan membahayakan tubuh konsumen. Dalam jangka pendek, obat pengawet mayat ini bisa membuat tubuh manusia mengalami iritasi saluran pernafasan, muntah-muntah, pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, dan gatal di dada. Sementara dalam jangka panjangnya, juga bisa memicu kerusakan hati, jantung, otak, limfa, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal.

Selain di Jakarta, makanan yang mengandung formalin ini juga ditemukan di Yogyakarta, Lampung, Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Para pedagang kecil yang menjual bahan makanan mengandung formalin, boleh jadi tidak tahu menahu soal ini. Mereka menjual makanan berformalin hanya untuk motif ekonomi dan keberatan bila harus menghentikan usahanya yang menjadi sumber penghasilannya sehari-hari [baca: Formalin Menyergap di Mana-Mana].

Sedangkan bagi para produsen makanan berformalin yang tak lain adalah pengusaha kecil dan menengah, menggunakan bahan pengawet makanan ini karena dapat menolong untuk menekan biaya produksi. Soalnya harga beli formalin sangat murah dan dapat dijual bebas di pasaran.

Bagi para pembeli adanya kandungan formalin dalam makanan tersebut memang tak bisa dipungkiri. Sebab, meski berbahaya bagi kesehatan, makanan itu adalah makanan pokok yang sudah biasa dimakan dan harga belinya terjangkau dengan isi kantong.

Merebaknya penggunaan formalin untuk bahan makanan sangat terkait dengan peran pemerintah dalam pengendalian bahan kimia tersebut. Dalam hal ini, Departemen Perindustrian melalui Menteri Perindustrian Fahmi Idris telah meminta Badan POM untuk segera bertindak agar kasus formalin ini tidak semakin membuat resah masyarakat. Sebaliknya, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengakui bahwa jenis bahan kimia yang digunakan untuk berbagai keperluan pangan sangat banyak.

Lantas, bagaimana formalin ini bisa digunakan sebagai pengawet makanan dan ditemukan makanan yang beredar di masyarakat? Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM Prof Dedi Ferdiaz, mengakui bahwa adanya formalin dimakanan yang beredar itu adalah sebuah  masalah yang kini ada disekitar masyarakat.

Maka, dengan diumumkannya sejumlah jenis makanan berformalin oleh Badan POM DKI itu tujuannya agar masyarakat melindungi diri dan menghindari makanan-makanan tersebut. "Publik agar jangan membeli makanan seperti itu (berformalin)," ungkap Dedi saat berdialog dalam acara program Topik Minggu Ini edisi Rabu (28/12) di studio SCTV, Jakarta.

Menanggapi alasan Badan POM pusat itu. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih yang juga menjadi pembicara dalam Topik Minggu Ini, mengungkapkan bahwa maraknya barang berformalin yang menjadi makanan yang dikomsumsi masyarakat dikarenakan kelalaian birokrasi. "Sementara konsumennya tidak mengetahui apa-apa tentang formalin dalam makanan," tegas Indah.

"Tidak hanya Badan POM, Pemda, PD Pasar Jaya, Menteri Perindustrian dan instansi yang mengatur tata niaga itulah yang menjadi kelompok yang harus bertanggung jawab atas beredarnya formalin di masyarakat," lanjut Indah tegas. Selain itu, dia juga mengungkapkan banyaknya masyarakat yang mengonsumsi makanan berformalin juga disebabkan karena kenaikan harga bahan bakar minyak.

Sebaliknya, Dedi menuturkan hal ini bukan sebuah kelalaian, tapi dikarenakan aplikasi peraturan pemerintah soal gizi dan pangan belum berjalan dengan baik. "Sebab, peraturan pemerintahnya baru ditetapkan setahun yang lalu," kata Dedi.

Lembaga yang berwenang untuk mengontrol peredaran formalin diketahui adalah Badan POM. Menanggapi hal ini, Dedi mengatakan bahwa pihaknya sudah menindak tegas kepada para produsen makanan yang menggunakan formalin dan telah memberikan peringatan kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah dilakukan kepada produsen mi basah di Medan yang dipidanakan di pengadilan setempat dan menjalani proses hukum. Begitu juga memberikan pengumuman makanan yang mengandung formalin kepada masyarakat belum lama ini.

Kendati demikian, Dedi mengaku pihaknya tidak bisa mengontrol bagaimana formalin bisa masuk ke industri. "Sehingga peredaran formalin di industri tidak bisa dikendalikan," kata dia. Selanjutnya, Indah menambahkan bahwa hal ini adalah peran Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. "Tapi hal ini tak bisa saling lempar tanggung jawab,"ujar Indah.

Indah mengatakan bahwa YLKI sudah 15 tahun yang lalu memberikan masukan kepada pemerintah tentang peredaran formalin, tapi entah kenapa baru sekarang Badan Pom baru bertindak. Menurut Dedi, hal ini dikarenakan keberadaan regulasi soal formalin yang belum lama dikeluarkan.

Badan POM sepertinya kecolongan dengan peredaran formalin ini. Sebab, baru melakukan uji laboratorium setelah formalin jauh merasuk ke berbagai makanan yang kini tersebar di sejumlah kota besar di Tanah Air. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan bukan hal yang baru karena sudah sejak lama diketahui.

Sementara itu, pada awalnya formalin adalah barang impor yang harus didatangkan dari luar negeri. Namun kini formalin telah bisa dibuat di dalam negeri. Hal inilah yang menyebabkan formalin mudah didapat di Tanah Air. Apalagi harganya relatif murah yakni berkisar antara Rp 3. 000 hingga Rp 8.000 per liter.

Data dari Asosiasi Pedagang dan Pemakai Bahan Berbahaya (Aspembaya) mengungkapkan bahwa kapasitas produksi 23 perusahaan pembuat formalin dalam negeri mencapai 866 ribu ton lebih. Dalam kesempatan dialog ini, SCTV juga menghadirkan Ketua Aspembaya Philipus P. Soekirno.

Menurut Philipus, formalin itu memang sudah lama digunakan masyarakat dan dikenal untuk kebutuhan apa saja. Karena formalin dijual bebas di berbagai tempat atau toko kimia, maka masyarakat atau produsen mudah mendapatkannya dan menggunakan. 

Philipus menambahkan bahwa hal ini karena tidak ada pengawasan yang baik oleh pemerintah meski sudah mengeluarkan kebijakan sehingga formalin banyak digunakan oleh masyarakat dalam makanan. "Formalin itu sudah berubah dari fungsinya sebagai bahan baku industri lem, playwood, resin, " kata dia.
 
Saat ini racun bernama formalin kini sudah menyeruak ke dapur dan berbagai makanan disantap masyarakat tanpa was-was setiap hari. Bukan kali ini saja penggunaan formalin pada produk makanan terbongkar. Pada 1977 atau lebih dari seperempat abad yang lalu, sebuah lembaga konsumen juga menemukan penggunaan formalin pada produk tahu dan mi. Tapi, konsumsi formalin atau bahan pewarna ke makanan kembali muncul. Kasus ini membuktikan lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya ini dalam keseharian masyarakat.

Investigasi SCTV pada Oktober silam membuktikan, bukan hanya formalin satu-satunya racun yang ditaburkan ke berbagai jenis makanan. Ada juga penggunaan rodamin atau bahan pewarna tekstil yang kerap dipakai pada makanan kerang [baca: Di Balik Kenikmatan Ikan Asin].

Sementara pemerintah telah mengeluarkan dua peraturan untuk bahan kimia ini. Yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 Tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254 Tahun 2000 Tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu. Formalin maupun rodamin termasuk dalam kategori bahan berbahaya tersebut yang penggunaannya harus diawasi secara ketat.(ZIZ/Tim Liputan 6 SCTV).

    Video Terkini