Menurut Atmadji, isi naskah Supersemar yang fotokopinya dipegang mendiang mantan Menteri Perindustrian era pemerintahan Soekarno itu tak berbeda dengan informasi yang selama ini beredar. Disebutkan, Soekarno pada 11 Maret 1966 memberi mandat kepada Mayor Jenderal TNI Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Adapun tugas Soeharto adalah untuk mengambilalih pemerintahan dan keamanan Presiden Soekarno.
Hadir dalam peluncuran buku tersebut di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bekas Menteri Keuangan Mar`ie Muhammad dan sejarawan, Anhar Gonggong. Mengenai fotokopi isi naskah Supersemar tersebut, Anhar mengakui keasliannya. Mar`ie pun berpendapat senada. Menurut mereka, Mohammad Jusuf yang tak lain mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI itu dikenal sebagai sosok yang jujur dan tak mungkin memanipulasi sejarah.
Dalam lembaran sejarah nasional, M. Jusuf disebut seorang di antara tiga saksi kunci yang mengetahui Supersemar. Ketika itu, M. Jusuf yang masih berpangkat brigadir jenderal bersama dua perwira tinggi TNI AD, Mayjen Basuki Rahmat dan Brigjen Amir Machmud, diutus Soeharto menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor, Jawa Barat. Di sana, ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno dengan didampingi tiga wakil perdana menteri (waperdam). Yaitu, Doktor Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan selama berjam-jam itu berujung pada keluarnya Supersemar.
Advertisement
Sayang, hingga kini, keberadaan naskah asli Supersemar belum diketahui. Kendati begitu, naskah salinannya sudah disimpan di Gedung Arsip Nasional. Hanya, salinan ini pun diyakini palsu. Lantaran itulah, terbitnya buku M. Jusuf diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan untuk menjawab teka-teki yang selama ini menyelimuti penulisan sejarah nasional Indonesia [baca: Arsip Nasional Menyimpan Naskah Salinan "Palsu" Supersemar].(AIS/Nina Bahri dan Gatot Setiawan)