Menurut Joko, salinan Supersemar--baik versi Soeharto maupun M. Jusuf--sama-sama tidak otentik dan banyak kejanggalan. Di antaranya kopian surat tidak dilegalisasi. Logo surat kepresidenan tidak menggunakan lambang garuda dan penulisan pengulangan kata serta penulisan nama Soekarno dan Soeharto sudah menggunakan ejaan yang disempurnakan. "Yang membedakan kedua surat itu hanyalah jumlah halaman," kata Joko.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Marwan Adam mengungkapkan, penyalahgunaan Supersemar bukan hanya keinginan Soeharto semata. Sejumlah orang, termasuk Ketua MPRS saat itu A.H. Nasution diduga juga turut mendukung pengambilalihan kekuasaan dari tangan Soekarno [baca: Supersemar: Perebutan Kekuasaan Soeharto atas Sukarno].
Akhir pekan kemarin, buku biografi M. Jusuf diluncurkan dan diharapkan bisa menguak kontroversi Supersemar. Sayang, fotokopi Supersemar yang dimuat dalam buku itu tak memiliki perbedaan dengan naskah yang dipublikasikan Orde Baru [baca: Buku M. Jusuf Memuat Fotokopi Naskah Supersemar]. Supersemar asli kemungkinan besar ada di tangan Soeharto.(ICH/Mochamad Achir dan Ari Trisna)
Advertisement