Ide menunda pembahasan UU Tenaga Kerja sangat melegakan. Namun, pemerintah tetap diminta duduk bersama untuk mendialogkan materi UU Nomor 13/2003. Kalangan buruh dan pengusaha sepakat membuka kembali pembicaraan dari nol. "Kembalikan naskah kepada koridor konstitusi [Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional]," kata Ketua Dewan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanudin Rahman dalam acara Topik Minggu Ini bertajuk "Revisi UU Naker, Siapa Untung?" yang dipandu Pemimpin Redaksi SCTV Rosianna Silalahi, tadi malam. Menaker Erman Suparno, aktivis buruh Dita Indah Sari, dan sejumlah perwakilan buruh hadir pada acara itu.
Jika menengok ke belakang, kemunculan draf revisi UU soal ketenagakerjaan tanpa melewati tripartit nasional memang mencengangkan. Revisi dinilai tidak akan melindungi hak pekerja dan keluarganya karena hak-hak pekerja, seperti fasilitas kesejahteraan, akan hilang. Pekerja baru juga berpotensi hanya akan menjadi karyawan kontrak karena perusahaan diizinkan memakai tenaga kerja kontrak lewat outsourcing dengan masa perpanjangan selama lima tahun. Perusahaan juga tidak memberi kompensasi pensiun dan pesangon bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Munculnya ancaman bagi kehidupan buruh atau pekerja tersebut membuat puluhan ribu buruh turun ke jalan untuk menolak pemberlakuan UU Nomor 13/2003, seperti yang terjadi, siang kemarin [baca: Wapres Jusuf Kalla Bertemu Perwakilan Buruh]. "Perang urat syaraf" antara buruh, pengusaha, dan pemerintah makin kentara. Kalangan pengusaha dianggap mendalangi ide merevisi UU demi kepentingan kelompok. Sedangkan maksud pemerintah untuk berbagi "beban" dipandang sebagai bentuk lepas tangan.
Advertisement
Menaker Erman berulang kali membantah tuduhan itu. "Bukan lepas tangan. Tapi ada masalah, terus harus dipikirkan bersama," kata Erman. Idealnya, pemerintah ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya mengatasi masalah ledakan jumlah pengangguran. "Revisi itu masih draf. Konsepnya akan dibuat lebih komprehensif lewat triparti (tripartit)," tegas Erman.
Hasanudin juga ogah disalahkan. Hasanudin mengingatkan, pada pertemuan tripartit sebelumnya disepakati paket UU Perburuhan III, mencakup UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU Nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. "Dalam perjalanannya ada yang tidak beres, sehingga perlu dilakukan revisi," jelas Hasanudin. Di tingkat LKS Tripnas dengan dihadiri wakil pengusaha, pekerja, dan pemerintah, revisi disepakati prioritas pada UU Nomor 13/2003. "Jadi [revisi] bukan diotaki pengusaha. Kita sepaham, tapi substansinya belum pernah dibicarakan," tegas Hasanudin.
Syukur Sarto dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia meragukan jika UU Nomor 13/2003 diubah menjamin bakal meningkatkan investasi. Dita juga sangsi pemerintah sungguh-sungguh ingin mengondusifkan perekonomian. "Buruh selalu dirugikan. Buruh jadi terdakwa dan penyebab investasi tidak mau masuk," tegas Dita. Padahal pemicu investasi "mandek", lanjut Dita, bisa jadi akibat suku bunga tinggi, harga bahan bakar minyak yang selangit, pungutan liar, dan masalah korupsi.
Kecilnya cost pengusaha untuk kepentingan pekerja juga dipertanyakan. Posisi pekerja makin tidak menguntungkan jika UU direvisi terutama poin tentang pesangon. Pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja tidak berhak mendapat pesangon jika gajinya lebih dari Rp 1,1 juta [baca: Aliansi Buruh Menggugat Revisi UU Ketenagakerjaan]. Indrayana dari Asosiasi Pekerja (Aspek) menilai ini ironis. Social security di Indonesia masih sepuluh persen dan tidak ada sedikit pun kontribusi pemerintah. "Di Singapura, selain social security, masih ada juga paket pesangon," papar Indrayana.
Hasanudin kembali menegaskan, pengusaha tidak berniat menghapus pesangon. Para pekerja diminta menghilangkan pemikiran tendensius terhadap pengusaha. Hasanudin bahkan mengajak para pengusaha dan buruh bersatu menyambut niat pemerintah menunda revisi UU. Kalau perlu, kata dia, dibentuk lagi organisasi gabungan Pengusaha Buruh Bersatulah (PPB) agar lebih kokoh beradu argumen dengan pemerintah. Hasanudin juga menjamin LKS Tripnas menjadi ajang yang berlandasan hukum untuk menyatukan pemikiran itu. Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 144/1976 tentang Konsultasi Tripartit menjadi bukti kekuatan LKS Tripnas. "Artinya, setiap kebijakan dari pemerintah harus dikonsultasikan dalam pertemuan itu," tegas Hasanudin.(KEN)