Dalam rapat itu, Panglima TNI mengungkapkan hasil sementara penyelidikan terhadap sejumlah orang, termasuk soal asal-muasal senjata yang disimpan di rumah Koesmayadi. Djoko menyatakan, pihaknya telah memeriksa 62 orang, 14 di antaranya orang sipil. Adapun dari data-data yang dikumpulkan, Panglima TNI menjelaskan ada sebanyak 29 kali pengiriman. Yakni, enam kali dari Singapura mulai Mei tahun 2003 sampai Maret 2006 berupa senjata nonstandar militer. Saat itu, surat permintaan senjata tersebut ditandatangani oleh Koesmayadi.
Selain itu, tercatat sebanyak 23 kali pemasukan senjata standar militer dari berbagai negara di luar Singapura mulai Maret 2001 hingga Oktober 2004. Surat permintaan impor senjata ini berasal dari Markas Besar TNI melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten dan Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Djoko menjelaskan, senjata itu untuk penjagaan departemen tindak tempur sebanyak 661 pucuk. Terdiri dari senjata laras panjang, pendek, dan amunisi.
Namun anggota Komisi I DPR, Permadi, mempertanyakan kepada Panglima TNI dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengapa kasus kepemilikan senjata ini baru dibongkar setelah Brigjen Koesmayadi meninggal. Padahal menurut Permadi, proses pengiriman senjata sudah berlangsung sejak tahun 2001. Adapun Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Danpuspomad) Mayor Jenderal Hendardji Soepandji menargetkan kasus ini dalam satu bulan mendatang sudah rampung.
Advertisement
Sementara itu, terkait jati diri ke-14 orang sipil, Djoko Suyanto tak mau menjelaskan. Ini membuat sejumlah anggota Dewan mempertanyakan hal itu. "Kalau memang ada orang sipil yang namanya Tomy Winata, panggil, jelaskan di sini. Kita panggil orang sipil yang namanya Tomy Winata. Kita tidak suka percukongan di tentara lagi, selesai sudah," pinta salah satu wakil rakyat bernama Ade Nasution.
Tak terbukanya TNI dalam kasus ini juga disesalkan oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Dedi Djamaludin Malik. Menurut Dedi, saat ini rumor dan informasi yang berkembang di masyarakat sudah terlalu cepat dan berbahaya. Dengan demikian, lanjut Dedi, hal ini justru sangat berbahaya jika kabar itu tidak ditanggapi.
Dedi berharap, waktu satu bulan yang diminta Puspom TNI untuk menyelidikan kasus ini bisa mengungkap semuanya. Tetapi, dia dan rekan-rekan di Komisi I meminta Panglima TNI dan Menhan terbuka kepada tim dari DPR yang terus memantau kasus ini. Dedi menambahkan, jika waktu satu bulan yang diberikan tidak ada kemajuan atau sedikit kemajuan, akan dibentuk kelompok kerja.
Terkait pendekatan politik untuk menyelesaikan kasus ini, Dedi menyatakan hal itu memang diperlukan. Sebab, tambah dia, jika hanya pendekatan hukum akan memakan waktu yang lama. Selain itu, hukum bukan persoalan objektif, bahkan dapat direkayasa. "Untuk itu pendekatan politik untuk menyempurnakan pendekatan hukum," ucap Dedi.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)