Mayor Jenderal Purnawirawan Nor Aman, mantan Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat mengaku kaget dengan kejadian itu. Terlebih jumlah senjata yang ditemukan di kediaman Wakil Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Darat sangat banyak. "Di masa saya bertugas hal itu tidak pernah terjadi," kata Aman saat berdialog dengan reporter senior SCTV Rosianna Silalahi dalam acara Topik Minggu Ini, Rabu (12/7).
Aman juga heran, kenapa senjata-senjata itu ada di tangan orang (Koesmayadi-red) yang semestinya mengamankan dan mengadministrasi dengan baik, justru dia yang melakukan pelanggaran. Secara akal sehat hal itu tidak mungkin terjadi. "Tapi kalau dilihat dari kapabilitas dan otoritas dia sebagai Waaslog Kasad dengan segala macam alasan, bisa saja itu terjadi," kata Aman [baca: Ratusan Senjata Ditemukan di Kediaman Almarhum Koesmayadi].
Meski begitu Aman tidak bisa memastikan apakah penimbunan senjata itu berada di dalam sistem atau di luar jalur. Menurut Aman, senjata-senjata itu bisa saja didatangkan tidak melalui prosedur yang resmi karena adanya tuntutan dan kondisi.
Kasus penimbunan senjata ini memang tak hanya mengherankan tapi sekaligus sangat mengejutkan. Ini diakui anggota Komisi I DPR Happy Bone Zulkarnain. Koordinator Panitia Anggaran Komisi I ini heran kenapa TNI yang dianggap organisasinya sudah mapan, masih tetap kecolongan. Pasalnya, lanjut Bone, pengadaan senjata itu membutuhkan proses panjang dan harus dibicarakan dengan KSAD sebelum diputuskan oleh Departemen Pertahanan. "Jangankan itu, satu peluru saja perjalanannya panjang," kata Bone.
  Â
Dengan munculnya kejadian ini Bone menilai masih adanya kelemahan sistem dalam sebuah organisasi yang dianggap sudah well organization. Dan kelemahan itu ternyata dimanfaatkan oleh seseorang atau individu.
Secara makro, kata Bone, Komisi IÂ berpandangan peristiwa ini terjadi lantaran TNI yang sebetulnya dituntut untuk berlaku profesional, ternyata masih menghadapi kendala, yakni keterbatasan anggaran. Karena itu dalam rangka memenuhi hal itu diperlukan orang-orang yang "berkreativitas". "Kasus ini juga pernah terjadi pada 1950 silam. Namun untuk kondisi sekarang, itu sudah tak perlu terjadi lagi," kata Bone.
Pandangan Komisi I DPR dibenarkan Aman. Di satu sisi memang ada tuntutan agar TNI menunjukkan performance yang baik. Tapi disisi lain hal itu sulit dicapai karena mungkin ada embargo atau juga karena prosedur yang berbelit-belit. Â
Adanya kelemahan sistem manajemen di tubuh TNI juga ditengarai Direktur Eksekutif Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Rachlan Nasidik. Ini dibuktikan dengan tidak terdaftarnya senjata-senjata yang ditemukan di rumah Koesmayadi. "TNI AD juga sudah mengakui, ini sudah di luar kewajaran," ujar Rachlan.Â
Secara khusus Rachlan juga khawatir penemuan ratusan senjata ini merupakan puncak sebuah gunung es atau menunjukkan adanya jaring laba-laba dari perdagangan senjata. Pandangan ini didasarkan informasi yang diterima Imparsial yang menyebutkan bahwa Koesmayadi juga terlibat 29 kali distribusi dan pengadaan senjata di Nanggroe Aceh Darussalam. "Hanya kita belum tahu senjata-senjatanya digunakan oleh kesatuan mana dan untuk apa," kata Rachlan.
Minimnya informasi soal pengadaan dan pengunaan senjata-senjata seperti itu dicemaskan Rachlan akan memunculkan berbagai spekulasi. "Orang bisa berasumsi senjata itu bisa digunakan dalam kejadian kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia seperti di Poso, dan Ambon. Dan faktanya ada satu kesatuan AD yang terlibat dalam konflik itu," terang Rachlan.
Terlebih, kata Rachlan, temuan senjata itu dikait-kaitkan pula dengan keberadaan menantu almarhum Kapten CPM Ahmad Aryanto yang bertugas sebagai Komandan Kompi Pengawalan Istana Batalyon Polisi Militer Paspampres. "Apakah senjata itu ada hubungannya dengan beredarnya ancaman terhadap keselamatan Presiden? Ini yang perlu dijelaskan dan dijawab," kata Rachlan [baca: Menantu Almarhum Koesmayadi Diamankan].Â
Namun, menurut Bone, kecemasan akan adanya ancaman terhadap keselamatan Kepala Negara atau senjata-senjata itu akan digunakan kudeta dianggap prematur bahkan berlebihan. "Saya sependapat dengan pernyataan Panglima TNI (Marsekal Djoko Suyanto-red) yang mengimbau agar jangan berspekulasi terlalu jauh. Yang penting mekanisme pengadaan senjata itu harus diketahui. Itu gampang kok!," kata Bone.
Tapi menurut Aman, mengidentifikasi senjata-senjata itu memang gampang. Tapi yang sulit justru mencari orang-orang yang berada di balik senjata-senjata tersebut. Pendapat Aman ini diamini Rachlan. Menurut dia, kasus ini bisa dijadikan semacam alarm. "Kasus ini bisa saja tidak hanya terjadi pada Koesmayadi, tapi ada juga di tempat lain," kata Rachlan.
Yang penting sekarang, kata Rachlan, dibutuhkan investigasi panjang yang bersifat open ended. Mungkin saja senjata-senjata itu ada bukan hanya karena faktor bisnis, tapi ada kepentingan lain. "Kalau kasus itu bisa diungkap, ini menunjukkan itikad baik dari TNI dalam rangka mereformasi organisasinya dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Dan itu harus didukung publik," tutur Rachlan.
Keinginan pengungkapan secara tuntas kasus penyimpanan senjata ini didukung Bone. Bahkan menurut dia, dukungan dari publik juga sangat luar biasa. Termasuk dukungan dari Komisi I DPR yang memberi toleransi waktu kepada TNI menyelesaikan persoalan ini dalam tempo satu bulan. "Momentum ini bisa dijadikan Panglima untuk membangun TNI yang profesional," kata Bone.
 Â
Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto sebelumnya menegaskan, TNI tidak akan menutup-nutupi kasus ini. Sekarang kejadian itu masih masih dalam tahap penyelidikan. "Kalau sudah selesai, saya akan beberkan sejelas-jelasnya," kata Panglima.
Menurut Panglima, keterbukaan itu penting untuk membangun TNI yang kredibel. Langkah ini juga sebagai kritik atas pernyataan beberapa pihak yang menginginkan TNI tidak blak-blakan dalam kasus Koesmayadi [baca: Pembentukan Panja Kasus Koesmayadi Belum Jelas].
Pihak TNI menjanjikan akan mengungkap tuntas masalah ini dalam tempo satu bulan. Janji ini harus benar-benar ditepati TNI. Pasalnya soal senjata apapun bentuknya adalah soal sensitif. Selain itu pengungkapan masalah ini merupakan momentum bagi TNI membenahi tertib administrasi alat-alat perang mereka.
Sejauh ini TNI memang sudah berupaya menjawab tuntutan masyarakat agar segera mengusut kasus penimbunan senjata ini. Salah satunya seperti yang diungkapkan Panglima dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR bahwa Pusat Polisi Milter TNI telah memeriksa 62 orang saksi, dan 14 di antaranya adalah warga sipil. Namun hasil pemeriksaan itu tidak disebutkan sehingga motif kasus itu masih terus menjadi spekulasi [baca:Â Panglima TNI dan DPR Membahas Penemuan Senjata].
Tak lama setelah itu lagi-lagi publik kembali mendapat janji. Kali ini janji itu datang dari Danpuspom AD Mayor Jenderal Hendardji Soepandji yang menargetkan kasus ini dalam satu bulan mendatang sudah rampung. Janji Hendardji ini mudah-mudahan tidak menguap bersama datangnya persoalan baru yang lebih pelik.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)