Bencana gempa berkekuatan 6,2 skala Richter dan tsunami di perairan pesisir selatan Pulau Jawa menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) akibat pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Dampak gempa paling parah terpantau di kawasan Pantai Pangandaran sampai Cilacap, Jawa Tengah. Ketakutan menyergap. Selain harta benda hilang, dalam tempo sekejap 440 jiwa juga melayang [baca: Korban Tewas Tsunami Mencapai 440 Orang].
Rabu pagi, hati warga Pangandaran yang berada paling dekat dari episentrum kembali ciut. Gempa menggetarkan lagi kawasan itu dengan kekuatan 4,8 skala Richter. Isu tsunami menyebar. Warga pontang-panting mencari tempat berlindung. Walau isu tidak terbukti, masyarakat akhirnya memilih berlindung di masjid atau dataran tinggi. Entah sampai kapan? [baca: Air Laut Pasang Lagi, Warga Pangandaran Panik].
Melihat kondisi mental masyarakat, sayang sekali Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak sigap mengendalikan situasi. Pengungsi di sana-sini masih kekurangan tenda, makanan, selimut, pakaian, dan obat-obatan. Dari pantauan reporter SCTV Romi Fibri di kawasan Pangandaran, listrik masih belum berfungsi optimal. "Keadaan ini menyulitkan pengungsi," ulas Romi kepada reporter senior SCTV Rosianna Silalahi di Studio Liputan 6 Jakarta dalam acara Topik Minggu Ini, Rabu malam.
Advertisement
Setelah bencana terjadi, beberapa staf Pemkab Ciamis memang intensif melakukan koordinasi bahkan hingga larut malam. Sayang hasil rapat tersebut tidak nyata di lapangan. Terbukti dari lambannya upaya pembersihan bangunan yang rusak. "Proses pendataan korban saja baru dilakukan besok," kata Romi. Situasi ini menggambarkan pengambil kebijakan seolah kehilangan orientasi untuk menentukan prioritas. Buntutnya korban makin menderita.
Persoalan birokrasi juga membelit pengungsi. Dower, petugas cagar alam di Pangandaran mengaku tidak mendapat bantuan karena petugas meminta kartu tanda penduduk (KTP). Asisten Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Sutedjo Yuwono yang diundang pada acara Topik Minggu Ini, menilai petugas tidak boleh pandang bulu. "Kalau ada bencana berarti ada Tanggap Darurat. Yang pertama diselamatkan adalah manusia, yang sakit segera dibawa ke rumah sakit, yang sehat diamankan di tempat penampungan. Mereka harus dijamin keselamatan dan makanan," tegas Sutedjo.
Sutedjo menjelaskan, masa berlaku Tanggap Darurat sesuai kondisi bencana. Belajar dari pengalaman gempa di Yogyakarta, dalam masa-masa Tanggap Darurat pelayanan harus maksimal diberikan. Ketika tahap itu sudah dilalui, pemerintah daerah harus mulai tertib administrasi dalam pemberian bantuan. "Tapi tidak terlalu keras, seperti harus menunjukkan kartu identitas," kata Sutedjo.
Untuk bencana di Pangandaran, pemerintah pusat siap mengeluarkan dana Rp 500 miliar. Adapun model pemberian bantuan untuk tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, menunggu usulan yang rapi dan data akurat dari pemerintah daerah. "Rumah model dan tipe berbeda-beda sehingga perlu mendengar usulan dari pemerintah daerah," ujar Sutedjo. Ia optimistis proses rehabilitasi sampai rekonstruksi di kawasan Pangandaran bisa selesai dalam tempo tiga bulan.
Masyarakat memang wajib belajar dari pengalaman terutama menghadapi alam. Pasalnya, BMG sebagai "mata pertama" pengawas bencana alam masih punya banyak kelemahan. Kepala Bidang Seismologi Teknik dan Tsunami BMG Fauzi menjelaskan gempa di kawasan Pangandaran sudah diketahui sepuluh menit sebelum kejadian. "Namun, kita perlu waktu sepuluh menit lagi untuk mengecek lagi sebelum menentukan akan terjadi tsunami atau tidak," lanjut Fauzi. Kesulitan BMG adalah menyebarluaskan berita tersebut karena jalur komunikasi padat. "Kami tidak punya jalur komunikasi eksklusif," kata dia.
Di tengah ketiadaan peralatan memadai, Fauzi menjamin BMG akan terus memantau perkembangan gempa. Pada tahap pertama BMG tengah menyelesaikan system early warning dan ditargetkan tuntas 2009. Sebelum Indonesia mempunyai sistem tersebut, mau tidak mau, publik harus waspada meski hanya mengandalkan insting. Pengalaman Bahrum, warga Binuangen, Kabupaten Lebak yang baru mengalami gempa, boleh jadi pelajaran. Bahrum memutuskan mencari perlindungan karena melihat gejala-gejala aneh dari alam. Beberapa jam sebelum terjadi gempa, nelayan mendapat ikan dalam jumlah besar. Belakangan, air laut surut. "Karang yang terletak di tengah laut jadi terlihat," tutur Bahrum. Jika laut sudah begitu, bersiaplah, boleh jadi tsunami bakal menggulung.(KEN)