Sukses

Pemerintah Harus Melabelisasi Produk Transgenik

Produk pangan rekayasa genetik sebetulnya dapat saja dikonsumsi asal dinyatakan aman oleh penelitian ilmiah. Pemerintah juga perlu melakukan labelisasi produk transgenik agar masyarakat tidak bingung.

Liputan6.com, Jakarta: Isu beredarnya produk pangan transgenik atau hasil rekayasa genetika sebenarnya bukan barang baru. Persoalan ini sudah muncul sejak 1996. Khusus di Tanah Air masalah ini mengemuka setelah Indonesia mengimpor kedelai dan jagung dari Amerika Serikat. Dan hampir 60 persen di antaranya adalah produk transgenik. Demikian dikemukakan Doktor Dwi Andreas, ahli rekayasa genetika Institut Pertanian Bogor saat berdialog dengan reporter SCTV Alfito Deannova dalam Liputan 6 Siang, Selasa (25/7).

Sebetulnya pula, menurut Dwi, setiap produk pangan transgenik tidak mudah begitu saja dilempar ke pasaran. Sebab, produk-produk itu harus melewati uji laboratorium atau uji keamanan pangan. Analisanya juga bisa kompleks dan panjang sebelum benar-benar dinyatakan aman bagi manusia.

"Oleh karena itu, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjelaskan soal isu labelisasi produk transgenik. Dengan begitu masyarakat tahu produk-produk mana saja yang aman dikonsumsi setelah melihat labelnya," ujar Dwi.

Dwi juga menjelaskan, sejauh ini dampak penggunaan produk transgenik sebetulnya belum sampai pada tingkat yang terlalu membahayakan, seperti kematian. Dikatakan Dwi, kasus yang pernah membahayakan tingkat kesehatan manusia memang pernah terjadi di AS. Ini menimpa produk jagung starling. Produk pangan yang sebenarnya untuk pakan ternak, diketahui mengandung protein yang bisa menimbulkan alergi. Saat itu juga badan yang berwenang di AS menarik seluruh produk starling. "Dengan contoh itu memang kekhawatiran akan dampak kesehatan memang ada tapi tidak terlalu jauh," kata Dwi.

Menurut Dwi, para produsen pangan biasanya memasukkan gen-gen yang berguna bagi tanaman atau pangan tersebut. Saat ini ada dua tanaman utama yang melewati proses transgenik. Pertama yang mengandung zat herbisida yang berfungsi untuk membunuh gulma atau hama. Kedua adalah produk tanaman yang mengandung bakteri atau racun pembunuh hama. Tapi berdasarkan pengujian, penyisipan zat-zat itu sampai ambang batas tertentu belum membahayakan manusia.

Dari persoalan yang muncul, Dwi menyarankan perlu adanya ketegasan pemerintah dalam soal labelisasi. Pasalnya pernyataan yang dimunculkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ada benarnya. Artinya, dari sudut pandang para ilmuwan memang belum ada yang berani menyatakan produk transgenik itu sepenuhnya aman. "Setiap teknologi baru pasti ada risikonya," kata Dwi.

Terkait dengan itu, pemerintah dalam hal ini badan-badan yang berwenang seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Departemen Pertanian perlu melakukan penelitian lebih lanjut.

Sementara itu, kasus produk pangan transgenik hingga kini masih mengundang silang pendapat. YLKI mensinyalir produk transgenik dengan kadar yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Tapi menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono produk itu aman bagi kesehatan. "Mana buktinya kalau produk transgenik berbahaya," kata Anton [baca: Mentan Yakin Produk Transgenik Aman].

Anton menjelaskan, hasil penyelidikan dan pengujian YLKI tidak memiliki alasan kuat. Meski demikian, tambah Anton, dalam waktu dekat, pemerintah akan melakukan labelisasi semua produk transgenik.

Produk pangan rekayasa genetik sebetulnya dapat saja dikonsumsi. Asalkan dinyatakan aman oleh penelitian ilmiah. Pasalnya proses rekayasa genetik dilakukan dengan menyisipkan bakteri yang membahayakan. Jika kadarnya berlebihan bisa berpengaruh buruk bagi kesehatan bahkan kematian.

Berdasarkan pengujian pada 2002 dan 2005, YLKI menemukan sejumlah produk transgenik yang mungkin berbahaya. Di antaranya terdapat pada produk jenis tahu, tahu jepang, tempe, susu kedelai, susu kedelai formula, sereal, keripik kentang dan tepung jagung [baca: YLKI Meminta Pemerintah Tegas Soal Produk Transgenik].

BPOM, lembaga yang wajib menguji dan meneliti produk transgenik sebelum beredar di pasar justru meragukan penelitian yang dilakukan YLKI. Namun banyak pihak tetap meminta agar BPOM tetap melakukan penelitian lanjutan. Menteri Perdagangan Mari Pangestu bahkan meminta lembaga ini menarik setiap produk transgenik dari pasar jika dinilai sudah membahayakan.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)