Penyiksaan yang dialami Hendra terjadi di Akademi Kepolisian RI di Semarang, Jawa Tengah, pada 28 Maret silam. Dia disiksa enam seniornya karena dianggap bersalah tak melapor libur studi ke pos piket di Kompleks Mes Taruna asal Sumatra Selatan di Jalan Karang Bendo, Jatingaleh, Semarang. Empat jam siswa Akademi Kepolisian ini disiksa layaknya binatang.
Kasus ini diketahui Mularis dari salah seorang taruna. Hendra tak mau terbuka mengenai penyiksaan ini kepada kedua orang tuanya. Mengetahui anaknya diperlakukan seperti itu, Mularis tak tinggal diam. Dia melapor kepada Komandan Detasemen Taruna Akpol. Namun kekecewaan yang diterimanya. Selama dua bulan, kasus ini tak ada penyelesaian.
Tak puas dengan penyelesaian yang dilakukan pihak Akpol, dia pun mengadu kepada Gubernur Akpol Inspektur Jenderal Polisi M.D. Primanto. Tetapi lagi-lagi penyelesaian kandas di tengah jalan. Perintah dari Primanto ke bawahannya tak jalan. Begitu pula jawaban dari Markas Besar Polri. Bahkan menurut Mularis, Polri membantah peristiwa ini. Mularis menduga, ini terjadi karena keluarga tersangka berasal dari kalangan pejabat tinggi di Akpol. "Dinyatakan, kejadian itu enggak ada," ungkap warga Poligon, Palembang, Sumsel ini.
Advertisement
Upaya Mularis akhirnya membuahkan hasil. Keenam tersangka berpangkat sersan mayor taruna itu dijatuhi hukuman diturunkan pangkat satu tingkat dalam sidang Dewan Akademik Akpol. Mereka adalah Afrito Marboro, Satria Dwi Dharma, Septa Firmansyah, Muhammad Soleh, Herly Purnama, dan Aditya Oktorio Putra. Nilai sikap dan perilaku keenam taruna itu juga dikurangi sebanyak 12 angka [baca: Enam Taruna Akpol Turun Pangkat].
Sanksi yang diterima keenam taruna itu mungkin tak hanya sebatas hukuman administratif. Kepolisian sedang menyiapkan berita acara pemeriksaan untuk kasus penganiayaan dan pengeroyokan yang menyebabkan seseorang luka berat. Dalam pengadilan umum, mereka tak hanya terancam disuruh menanggalkan seragam taruna. Melalui Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mereka terancam hukuman sembilan tahun penjara.
Mularis tak terlalu ambil pusing dengan hukuman yang diterima keenam senior anaknya itu. Yang terpenting bagi dirinya adalah, gegar otak yang diderita anak sulungnya bisa sembuh. Saat ini Hendra masih dirawat di Ruang Angelia kamar nomor 71 di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. "Dia mengalami masalah psikis yang berat... agak susah untuk sembuh," kata Mularis tanpa kuasa menyembunyikan kesedihannya.
Belajar dari kasus ini, Mularis dan pihak keluarga mengambil langkah tegas. Hendra harus mengubur impiannya menjadi polisi. Namun keputusan ini sungguh sulit diambil. Hendra ingin menuntaskan pendidikan sampai lulus menjadi polisi. "Buat apa dia terus jadi polisi kalau setelah dia keluar dari polisi (Akpol), sakitnya juga tidak sembuh," kata Mularis sedikit putus asa.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)