Sukses

Soal Lapindo, Kewibawaan Pemerintah Dipertanyakan

Benny Susetyo mewakili 50 tokoh intelektual mempertanyakan kewibawaan pemerintah yang belum menyeret tersangka dalam kasus lumpur Lapindo. Benny menilai kasus ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.

Liputan6.com, Jakarta: Sudah hampir tiga bulan sumur eksplorasi PT Lapindo Brantas memuntahkan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kondisi ini mengundang keprihatinan 50 tokoh intelektual dari berbagai agama. Mereka menuntut PT Lapindo bertanggung jawab dan pemerintah membawa kasus ini ke pengadilan. "Pertanyan kita, kewibawaan pemerintah itu di mana?" kata Benny Susetyo mewakili kaum intelektual dalam dialog di Liputan 6 Petang, Sabtu (26/8).

Sejak lumpur Lapindo meluap, belasan pabrik serta ribuan rumah penduduk di Desa Kedungbendo, Renokenongo, Jatirejo, dan Siring rusak. Kerugian ini belum ditambah dengan berubahnya 200 hektare lahan pertanian menjadi waduk lumpur. Kerugian total akibat kejadian ini disinyalir lebih dari Rp 33 triliun [baca: "Kuala Lumpur Lapindo" dan Sederet Masalah].

Tak heran rasanya jika 50 tokoh intelektual dari berbagai agama angkat bicara. Benny yang mewakili puluhan tokoh ini meminta PT Lapindo mengambil langkah nyata seperti memberikan ganti rugi yang selayaknya. Bukan hanya retorika apalagi memasang iklan di sejumlah media massa di Jawa Timur. "Sehingga tak ada kesan pengelola itu lepas dari tanggung jawab," tutur Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kemanusiaan Konferensi Waligereja Indonesia ini.

Selain pihak Lapindo, pemerintah juga dituntut lebih berperan. Karena ini bukan masalah politik dan yang menjadi korban adalah ribuan warga yang kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal, dan bahkan pendidikan.

Benny menambahkan, pemerintah sebenarnya dapat menyeret pihak pengelola ke meja hijau. Sebab, kejadian yang telah merugikan ribuan penduduk ini bisa dikategorikan sebagai corporate crime atau kejahatan korporasi. "Persoalannya, pemerintah berani enggak?" tambah budayawan yang tinggal di Malang, Jatim ini.

Kedua langkah yang ditawarkan Benny itu sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan memicu konflik antarwarga. Karena itu para tokoh intelektual menunggu respons PT Lapindo hingga dua pekan untuk selanjutnya mengadakan dialog mencari cara terbaik mengatasi persoalan ini.

Persoalan lumpur Lapindo memang pelik. Rencana pihak Lapindo membuang lumpur yang sudah diolah ke laut pun ditentang warga. Padahal Lapindo telah menyiapkan pipa-pipa saluran. Rencananya, lumpur yang saat ini ada di kolam penampungan akan diolah sehingga hanya air yang dibuang ke laut.

Penolakan itu dilakukan nelayan di Kecamatan Kwanyar, Bangkalan, Madura. Ratusan nelayan berkumpul di bibir pantai menolak rencana Lapindo karena khawatir air lumpur itu akan mencemari laut dan mengurangi hasil tangkapan mereka. Para nelayan juga mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur turun tangan mencegah air lumpur Lapindo dilarung.

Di sisi lain, dua warga yang menjadi korban dari semburan asap lumpur Lapindo masih dirawat di rumah sakit. Personel Batalyon Zeni Tempur Komando Daerah Militer V Brawijaya Prajurit Dua TNI Erfan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo. Sementara seorang petugas ekskavator dirawat di RSU dokter Soetomo, Surabaya.

Menanggapi kasus ini, pihak Lapindo mengatakan, semburan lumpur tak berbahaya. Para korban dibawa ke rumah sakit akibat lubang semburan tertutup material di atasnya. "Sumur sempet tersumbat jadi tekanannya semakin besar, langsung batuk," ujar General Manager East Java Operation Lapindo Brantas Indonesia, Rawindra.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.