Liputan6.com, Palangkaraya: Kabut asap tebal mulai menyelimuti Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Ahad (27/8). Di pagi hari, jarak pandang tidak lebih dari 50 meter. Wilayah yang paling pekat diselimuti asap adalah daerah pinggiran Sungai Kahayan. Sebagian kapal motor memilih tidak berlayar dan menambatkannya di sekitar jembatan Kahayan. Bahkan saat malam hari, kapal sama sekali tidak berani turun berlayar.
Kabut asap dirasakan mulai mengganggu kesehatan warga. Indeks standar pencemaran udara menunjukkan kategori sedang atau udara tidak sehat bila dihirup manusia dan binatang. Demi meminimalkan dampak buruk kabut asap, puluhan anggota Pramuka setempat mulai membagikan masker kepada pengguna jalan.
Baca Juga
Terbatasnya jarak pandang juga membuat aktivitas sebagian warga terhambat. "Pagi-pagi berangkat. Kabut tebal, jalan juga sering tidak terlihat di depan," kata Devi, mahasiswi Universitas Palangkaraya. Kabut asap yang menyelimuti Palangkaraya dan sekitarnya diduga berasal dari pembakaran lahan kosong yang berada di ruas jalan Trans Kalimantan.
Advertisement
Di Palembang, Sumatra Selatan, kabut asap kembali menyergap warga. Terutama di daerah Jakabaring, wilayah perbatasan Palembang dengan Kabupaten Banyuasin dan Ogan Ilir. Maklumat pejabat kepolisian setempat yang melarang warga membakar lahan juga tidak diindahkan. Penduduk mulai mengeluh sesak napas, batuk-batuk, dan mata perih. Masyarakat berharap polisi segera menindak tegas pelaku pembakaran lahan sehingga kabut asap tidak muncul kembali.
Sementara di Riau, meski kobaran api di Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan, hari ini mulai berkurang, pemadaman terus berlanjut. Pasalnya di beberapa lokasi masih terdapat titik api meski provinsi ini diguyur hujan kemarin. Selain lewat darat, pemadaman juga dilaksanakan melalui udara dengan menggunakan bom air yang diangkut helikopter. Di Pekanbaru, walau kabut asap sudah nyaris hilang, kondisi udara masih dalam status tidak sehat.
Pemadaman lewat udara dianggap sebagai metode paling efektif mengingat kondisi hutan lindung Tesso Nilo tidak mungkin dijangkau lewat darat. Sebagian besar kawasan yang terbakar adalah lahan bekas hak pengusahaan hutan (HPH) milik sejumlah perusahaan kayu. Lahan yang ditinggalkan dibakar untuk dibuka dan dijadikan kebun kelapa sawit.
Sebenarnya kebakaran di Tanah Air bukanlah hal yang baru. Peristiwa ini sudah berlangsung lama dan terjadi dari tahun ke tahun. Tahun ini api bahkan melahap kawasan taman-taman nasional. Di Tesso Nilo bahkan ada ratusan titik api. Tebalnya asap membuat Riau termasuk salah satu daerah "pengekspor" asap sampai Negeri Jiran. Petugas pemadam juga harus berjuang keras memadamkannya.
Bencana ini terjadi akibat para perambah hutan membuka lahan dengan cara membakar dan kemudian menanaminya dengan pohon kelapa sawit. Padahal mereka yang tertangkap akan dikenai tuntutan lima tahun penjara.
Reporter SCTV Rommy Fibri yang berkunjung ke Tesso Nilo sempat menyaksikan hutan yang terbakar. Sekitar 100 meter dari titik api, ditemukan pula sebuah rumah papan. Diduga para perambah sempat menempati rumah tersebut. Apalagi sempat ditemukan dua galon bensin di sini.
Kini hampir seribu pendatang ilegal hidup di kawasan ini. Mereka yang datang dari luar Riau bekerja sebagai perambah. Bahkan mereka juga sudah menyiapkan diri dengan bibit kelapa sawit di rumahnya. Seorang perambah mengaku mendapat imbalan atas kerjanya. "Sekali bekerja dapat Rp 500 ribu," kata Paul, seorang perambah.
Sayangnya, polisi belum bisa menangkap dalangnya. Memang sudah ada pelaku yang tertangkap tangan. Namun ini tidak seberapa dibanding jumlah pendatang yang bekerja sebagai pembakar hutan. Selain itu, perusahaan pemilik HPH juga terlihat kurang serius menggarap lahan. Karena itu jangan heran bila lahan mereka justru dihuni para pendatang tersebut.
Kondisi inilah yang disesalkan oleh Dudi Rufendi, Program Manager World Wildlife Fund Riau. "Kalo si HPH tak bisa mengelola lagi, seharusnya secara suka rela mengembalikan konsesi pada pemerintah sehingga pemerintah bisa melakukan action yang jelas," ucap Dudi.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)