Sukses

Harapan Tersembul dari Gunung Kidul

Para peneliti sejak 1978 membuat jaringan pengairan di Gua Bribin buat mengatasi kekeringan di Gunung Kidul. Sungai Bribin memiliki sistem sempurna dan sekiranya bisa mencukupi kebutuhan air hingga lima juta jiwa.

Liputan6.com, Yogyakarta: Air adalah keniscayaan bagi warga Gunung Kidul, Yogyakarta. Jangankan saat musim kemarau, sehari-hari mereka pun sudah akrab dengan kekeringan. Air seperti berkah bagi warga di susunan gunung kapur itu.

Kekeringan memang bukan sesuatu yang langka di Gunung Kidul. Terlebih di musim kemarau, karena warga setempat harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk mendapatkan air yang tersisa di gua-gua di bawah bukit kapur. Sudah begitu tak banyak yang bisa mereka bawa pulang. Setiap orang hanya mampu membawa air 20 liter dengan berat sekitar 16 kilogram.

Guna mengatasi situasi sulit ini, berbagai cara mulai dicari. Salah satunya seperti yang ditempuh para ahli gua (speleolog) dari Kota Gudeg. Tim beranggotakan anak-anak muda ini mulai menelusuri gua-gua yang tersebar di wilayah Gunung Kidul sejak tahun 2000. Para speleolog ingin mendapatkan pemetaan sumber air yang mengalir di dalamnya.

Diketahui selama ini, kawasan Gunung Kidul tergolong wilayah karst yakni areal batuan kapur yang menyimpan aliran air bawah tanah. Air tersebut masuk melalui celah dari permukaan tanah (akuifer). Sementara penyerapan air di permukaan karst sekitar 10 persen. Sedangkan sisanya menyusup ke bawah tanah hingga kedalaman 200 meter lebih. Ketika musim kemarau tiba, tim mendapati volume air yang masuk ke tanah mencapai sekitar 1.000 liter per detik.

Dengan demikian, dari hasil penelitian tim ini, air yang mengalir di sungai-sungai dalam gua bisa diangkat ke atas. Barulah nantinya air itu dimanfaatkan untuk mengairi wilayah-wilayah yang kering di wilayah Gunung Kidul. Lebih dari 400 gua bawah tanah di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah telah ditelusuri para speleolog tersebut.

Dari hasil penelusuran tim, aliran sungai di tiga gua di wilayah Gunung Kidul dimungkinkan dibangun jaringan pengairan untuk mengatasi kekeringan. Satu di antaranya sungai bawah tanah di Gua Bribin, Kabupaten Gunung Kidul. Sungai di gua ini sejak lama telah menjadi obyek penelitian para speleolog tua, bahkan sejak 1978 lampau. Hasil penelitian mereka memberi rekomendasi pembangunan bendungan sungai di dalam Gua Bribin.

Bagi speleolog, Sungai Bribin memiliki sistem sempurna dengan debit air mencapai 5.600 liter per detik. Dalam hitungan mereka, dengan 5600 liter per detik diperkirakan Sungai Bribin mampu mencukupi kebutuhan air hingga lima juta jiwa di Gunung Kidul. Ini juga termasuk kebutuhan air bagi warga di musim kering.

Kendati begitu, pemanfaatan air bawah tanah belum maksimal digunakan selama 24 jam. Kendala utamanya yakni tenaga diesel yang digunakan mengangkat air dan menyalurkannya ke penduduk. Salah satu faktor terkait hal ini adalah besarnya biaya operasional.

Sementara para ilmuwan dari Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Jerman pernah mencoba mengatasi keterbatasan cara mengalirkan air dari dalam gua. Pada 2004, tim ilmuwan Jerman mengebor lapisan tanah hingga kedalaman 100 meter dari permukaan tanah. Mereka berencana menerapkan sistem hydropower berbasis tenaga turbin di wilayah karst agar dapat mengaliri air selama 24 jam nonstop.

Cara kerjanya, hydropower tersebut mengandalkan tenaga dorong air yang kuat untuk menggerakkan turbin. Dengan cara ini air mengalir ke pipa-pipa penghubung yang menjangkau seluruh masyarakat di wilayah Gunung Kidul.

Selang dua tahun pembangunan berjalan, gempa keburu melanda sejumlah kawasan Yogyakarta, Bantul, dan Gunung Kidul pada Mei silam. Bencana ini mempengaruhi struktur gua bawah tanah ini. Sekitar 1.000 meter kubik endapan batu menutupi jalur air dari arah hulu ke hilir sepanjang 21 meter. Alhasil, untuk membuka endapan batu agar air kembali lancar, tim meledakkan reruntuhan batu tersebut sehingga pembangunan insatalasi bisa dilanjutkan.

Terlepas dari upaya tim selama ini, kekeringan masih saja melanda sebagian wilayah Gunung Kidul. Para peneliti khawatir, jika kondisi tak segera diatasi wilayah Gunung Kidul akan terus dibayangi kekeringan yang panjang. Diperkirakan pula debit air di kawasan itu akan menipis.

Saat ini saja, eko-karst sudah terganggu. Bukit-bukit karst di Gunung Kidul yang melindungi persediaan air bawah tanah tergerus oleh penambangan batu kapur. Satu bukit terpotong berarti sekitar 30 juta liter potensi air dalam sehari telah hilang. Penyerapan air pun semakin berkurang. Jumlah itu mampu memenuhi kebutuhan air dua juta jiwa dalam sehari.

Mengingat kondisi ini, keseimbangan alam eko-karst perlu dijaga. Sebab, emas putih di balik kegelapan bawah tanah dapat menjadi solusi penderitaan penduduk. Menikmati air secara murah dan tanpa susah payah saat musim kering tiba tak lagi sekadar mimpi. Warga pun tak perlu lagi menapaki jalan hingga berkilo-kilometer untuk memperoleh air.(AIS/Tim Potret)