Sukses

Tanggul Permanen Penahan Luberan Lumpur Mulai Dibangun

Departemen PU tengah membangun tanggul permanen seluas sekitar 435 hektare untuk menghentikan luberan lumpur. PT Lapindo Brantas menanggung seluruh biaya pembuatan tanggul.

Liputan6.com, Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum saat ini tengah membangun tanggul permanen seluas sekitar 435 hektare untuk menggantikan tanggul sementara yang sudah dua kali jebol. Biaya pembuatan tanggul seluruhnya menjadi beban PT Lapindo Brantas. "Terbuat dari beton bertulang besi," ungkap Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar di Jakarta, Selasa (19/9).

Rahmat Witoelar memperkirakan pembangunan tanggul permanen selesai pada Oktober ini. Pembangunan tanggul ini dilakukan untuk mencegah keadaan yang lebih buruk akibat luberan lumpur eksplorasi PT Lapindo. Rahmat Witoelar juga menyebut daerah yang tergenang lumpur saat ini sudah berstatus siaga.

Terkait kondisi di Sidoarjo, Jawa Timur, saat ini, Komisi VII DPR menilai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) tak bekerja efektif menanggulangi luapan lumpur Lapindo. Tindakan antisipatif pemerintah yang tak tepat menunjukkan ketidakprofesionalan badan pemerintah tersebut. "Semua prediksinya salah," ujar Zaenal Arifin anggota Komisi VII DPR. Karena itu, komisi yang mengurusi energi dan perminyakan ini meminta BP Migas bertanggung jawab secara moral.

Menanggapi hal itu, BP Migas menyatakan telah bekerja maksimal untuk mengantisipasi setiap kemungkinan termasuk menyiapkan relief well atau sumur pemulihan di Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo. Walau demikian, semburan lumpur yang kini mencapai 126 ribu meter kubik per hari masih terjadi [baca: Tanah Turun Akibat Lumpur Lapindo Belum Ditangani].

Sementara itu, ratusan warga Besuki, Sidoarjo, masih bertahan di atas jembatan penyeberangan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Sekitar 300 jiwa harus hidup berdesak-desakan. Mereka menjalankan kegiatan sehari-hari macam makan dan tidur seadanya. Warga hanya dinaungi terpal dan beralaskan tikar. Kondisi ini kian memprihatinkan karena hanya tersedia satu kamar mandi umum. Itu pun hanya bisa dipergunakan di pagi hari.

Nasib tak jauh berbeda dialami pengungsi di Pasar Baru Porong. Sedikitnya 800 kepala keluarga masih berada di tempat itu. Sebagian lainnya sudah pindah setelah mendapat kompensasi untuk menyewa rumah selama dua tahun sebesar Rp 5,5 juta per kepala keluarga. Sisanya memilih bertahan karena uang kompensasi dianggap tak cukup.

Desa Jatirejo di Kecamatan Porong boleh jadi kini tinggal cerita. Hampir seluruh kawasan desa tenggelam lumpur setinggi lebih dari tiga meter. Tak ada satu pun bangunan yang bisa dihuni. Hanya terlihat atap yang menyembul di atas lautan lumpur.

Sekitar 3.000 jiwa penduduk Desa Jatirejo harus mengungsi dan tinggal di rumah kontrakan di sekitar Porong. Sejak bencana lumpur terjadi, mereka hanya mendapatkan uang Rp 5,5 juta per kepala keluarga untuk biaya kontrak dan lauk pauk. Warga umumnya kecewa karena uang tersebut tak cukup menutupi kebutuhan hidup. Mereka juga belum mendapat kejelasan mengenai uang santunan atau uang pembebasan tanah.

Jatirejo menjadi desa yang paling parah terkena banjir lumpur. Desa ini terletak di tengah-tengah antara sumber luapan lumpur yaitu sumur Banjar Panji-1 dan Jalan Raya Porong-Sidoarjo. Jika tanggul di Desa Jatirejo jebol, genangan lumpur dan banjir akan memenuhi jalan raya dan jalur rel kereta api di Sidoarjo.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)

    Video Terkini