Sukses

Jejak Wali Songo dalam Budaya Jawa

Dalam pandangan Jawa kuno, terdapat lima aturan atau pakem bila ingin selamat dari bahaya. Kelima pakem ini adalah sembah cipta, raga, jiwa, rasa, dan sukma.

Liputan6.com, Karanganyar: Tradisi syiar Islam yang dilakukan Wali Songo di Tanah Jawa boleh dibilang banyak melahirkan berbagai nilai dalam prinsip spiritual kebudayaan Jawa. Soalnya kala itu para wali melakukan pendekatan budaya sebagai salah satu cara menyebarkan ajaran Islam kepada orang Jawa.

Menurut dalang kondang Ki Manteb Soedarsono, dalam ajaran Islam untuk orang Jawa kuno terdapat lima aturan atau pakem bila ingin selamat dari bahaya. Kelima pakem ini adalah sembah cipta, raga, jiwa, rasa, dan sukma. "Sembah cipto itu berkaitan dengan Syahadat Islam, sembah raga adalah salat, sembah jiwo itu sembah kolbu, dan sembah roso adalah bersedekah. Dan yang terakhir adalah sembah sukmo yang artinya berserah diri kepada Allah," kata dalang kondang tersebut.

Dalam prinsip kosmologi masyarakat Jawa ketika seseorang ingin menggapai sebuah cita-cita, biasanya harus melakukan penyucian diri. Dalam mencapai kesucian itu, orang harus bisa menahan hawa nafsu yang ada di dalam dirinya. Cara yang paling tepat adalah berpuasa.

Bagi orang Jawa, berpuasa adalah sebuah nilai perilaku yang sering dijalankan dan mudah terima di tengah masyarakat. Sebab perilaku menahan hawa nafsu ini konon telah dikenal sejak lama sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa. Mereka sebelumnya menyebutnya sebagai tirakat.

Selain dikemas dalam paugeran atau aturan tak tertulis, nilai-nilai syiar Wali Songo juga berkembang dalam tembang-tembang Jawa. Misalnya dalam syair lagu Tombo Ati yang pernah disuarakan Emha Ainun Najib dan Opick.

Dalam syair lagu ini disebutkan ada lima perkara untuk mengobati hati agar menjadi tenang dan jauh dari permasalahan sesuai ajaran Islam. Kelima perkara tersebut adalah mengaji Alquran dan maknanya, mendirikan salat sunah, berkumpul dengan orang saleh, menahan lapar atau berpuasa, dan berzikir di malam hari.

Menyimpan pesan spiritual dalam sebuah simbol juga menjadi salah satu ciri spiritual masyarakat Jawa. Contohnya simbol di kayon atau gunungan yang kerap dipakai dalam wayang kulit. "Kayon itu kayun, kayun itu karep, karep itu artinya hidup. Sementara hidup itu datangnya dari Allah dan tujuannya menuju ke atas," kata Ki Manteb.

Ada pula simbol tumpengan. Menyambut Ramadan, masyarakat lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, kerap membuat nasi tumpeng. Hal ini untuk memulai ritual membersihkan diri di sumber mata air di gunung itu. Tumpengan ini adalah simbol yang sangat dalam pada kehidupan masyarakat tersebut.

Pada ritual ini, nasi tumpeng dibawa bersama kirab warga untuk didekatkan dengan sumber mata air. Ritual kemudian diiiringi lantunan bunyi-bunyian lesung sebagai bentuk ungkapan rasa sukacita datangnya bulan puasa.

Tak hanya itu. Berbagai acara kesenian tradisional juga digelar masyarakat setempat untuk menyambut saum. Di antaranya kuda lumping. Namun acara ini digelar murni untuk hiburan dan jauh dari nuansa magis. Selanjutnya saat matahari condong ke barat, warga kemudian menceburkan diri ke dalam telaga untuk membersihkan diri. Tradisi yang dikenal dengan padusan ini adalah acara yang ditunggu-tunggu banyak warga. Secara beramai-ramai mereka menceburkan badan untuk membersihkan diri.(ZIZ/Tim Potret)

    EnamPlus