Apik dan Dodot datang ke kantor polisi dengan didampingi pengacara masing-masing. Keduanya ditahan setelah diperiksa polisi kurang lebih 10 jam. Diduga, keduanya mengoperasikan CV Dona Kembara Jaya secara ilegal.
Sehari sebelumnya, Apik sempat membantah bertindak illegal. Apik menyatakan, pembuatan smelter dilakukan atas permintaan pemerintah setempat. Apik juga menyangkal sebagai provokator dalam aksi perusakan Kantor Gubernur dan Markas Polda Bangka Belitung, 5 Oktober silam [baca: Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia Bantah Memprovokasi].
Sementara itu, seorang tersangka lain tidak memenuhi panggilan Polda Bangka Belitung. Sedianya tersangka ini diperiksa terkait demonstrasi di Kantor Gubernur Bangka Belitung yang berakhir rusuh.
Advertisement
Boleh dibilang, tambang timah di Bangka Belitung tergolong inkonvensional. Sebab, pengelolaannya masih manual atau mengandalkan tenaga manusia. Tingkat keselamatan pekerja juga rendah dan kurang memperhatikan lingkungan hidup. Kendati demikian, warga penambang lebih suka disebut tambang rakyat.
Ada ratusan tambang timah di Pulau Bangka Belitung. Tulang punggung industri timah tersebut menghasilkan puluhan ribuan ton timah tiap tahun. Tapi, mereka menggarap tambang tanpa izin sehingga sering dirazia pemerintah setempat. Bahkan, usaha mereka terancam ditutup.
Penambang timah rakyat yang bernama Somar dan Nani tidak setuju tambang ditutup karena tak punya pilihan pekerjaan lain. Apalagi penghasilan dari menambang cukup lumayan, yakni Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta tiap bulan.
Ketua Kelompok Tambang Rakyat di Jembatan 12 Bangka Belitung Achmad Fadli mengatakan, soal perizinan yang bermasalah selama tiga tahun itu bukan kesalahan masyarakat penambang. Menurut Achmad Fadli masalah tidak terselesaikan karena pemerintah setempat, PT Timah TBK, dan pengusaha lokal tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan baik. "Saya rasa kalau semua komponen di Bangka Belitung mau bekerja sama, semua persoalan selesai," kata Achmad Fadli.(DNP/Erik Nopriaddin dan Leanika Tanjung)