color: rgb(255, 255, 0);">
Liputan6.com, Jakarta: Malapetaka itu akhirnya datang juga, banjir besar kembali melanda Jakarta.Hujan deras yang turun sejak Jumat pekan silam membuat lebih dari sebagian Ibu Kota tergenang. Di Jakarta Utara, kawasan perumahan elit Kelapa Gading termasuk yang paling parah terendam air [baca: Banjir Menggenangi Kawasan Thamrin].
Kelapa Gading yang beberapa tahun terakhir dipenuhi gedung pertokoan, perkantoran, serta real estate baru lumpuh akibat banjir. Ketinggian air di beberapa tempat bahkan mencapai dua meter. Sebagian warga terpaksa dievakuasi, tetapi ada juga yang memilih bertahan sambil menjaga rumah mereka. Air yang membenam Boulevard Kelapa Gading membuat upaya evakuasi sulit dilakukan.
Banjir berhari-hari membuat warga Kelapa Gading mulai kehabisan stok makanan. Dengan menggunakan truk-truk besar, mereka yang masih bertahan sempat keluar rumah untuk berbelanja [baca: Jakarta Masih Terendam].
Lima tahun silam, wilayah Kelapa Gading juga termasuk yang paling parah terendam air saat banjir besar melanda Jakarta. Sama seperti sekarang, banjir kala itu juga melumpuhkan perekonomian dan aktivitas warga [baca: Kawasan Mewah Kelapa Gading Masih Terendam].
Di kawasan Sunter, tinggi air mencapai hingga dua meter. Sementara di Kompleks Perumahan TNI Angkatan Laut, sebagian pengungsi memilih bertahan di lantai dua rumah mereka. Sebagian lagi memilih mengungsi. Wilayah Sunter yang luput dari banjir pun lumpuh total karena terkepung air [baca: Sebagian Kelapa Gading Masih Tergenang].
Luapan air dari Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, juga mengakibatkan terowongan Manggarai terbenam. Sekitar 500 warga Manggarai Utara terpaksa mengungsi dengan menggunakan tenda-tenda darurat.
Di kawasan Cilincing, Jakarta Timur, lebih dari 1000 warga Kampung Kandang terpaksa mengungsi. Masjid-masjid pun disulap menjadi tempat pengungsian. Lokasi ini sempat tak tersentuh bantuan. Akibatnya para pengungsi kelaparan. Selain itu, juga tak ada dapur umum atau tempat mandi cuci kakus darurat [baca: Ribuan Warga Jakarta Masih Mengungsi].
Hari kedua, banjir juga memutuskan jalan penghubung Jakarta-Tangerang, Banten. Di Pos Pengumben, Jaksel, jalan tidak bisa dilalui karena terendam. Sepeda motor serta warga yang melintas terpaksa memanfaatkan gerobak sampah pemulung yang menawarkan jasa angkut bagi orang maupun sepeda motor yang hendak lewat. Pasar Bendungan Hilir, Jakpus juga tidak luput dari banjir. Aktivitas ekonomi lumpuh dan para pedagang sibuk membersihkan toko mereka yang terendam air [baca: Banjir Memacetkan Jakarta].
Wilayah Kalibata juga terendam air. Padahal tahun 2002, banjir besar tak menyentuh kawasan ini. Banjir juga merendam kawasan elite Kemang, Jaksel. Jakarta Barat termasuk daerah yang terparah. Sebagian kawasan ini terendam banjir. Di Tomang, ribuan warga mengungsi di Mal Roxy Square. Salah seorang pengungsi bernama Dian, bersama bayinya yang baru berusia lima hari terpaksa tinggal seadanya di tempat pengungsian. Padahal kesehatannya belum pulih total usai melahirkan.
Luapan sungai banjir kanal Tomang juga mengakibatkan jalan raya dan rumah warga terbenam. Jalan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta pun sempat terbenam. Akibatnya akses ke bandara lumpuh total.
Di Jaktim, kawasan Kampung Melayu termasuk daerah yang paling parah terendam air. Meski demikian, beberapa warga tetap nekat bertahan di rumah mereka. Tim evakuasi sempat menyelamatkan Ratna dan keluarganya yang sempat bertahan selama lima hari.
Di kawasan Cawang, air setinggi empat meter menggenangi under pass. Terowongan ini sempat tertutup total selama beberapa hari akibat banjir. Sejumlah upaya dilakukan, termasuk mengerahkan alat penyedot untuk mengurangi ketinggian air sehingga jalur penting ini dapat dilewati kendaraan
[baca: Banjir di Terowongan Cawang Bawah Terus Disedot].
Hingga kemarin, data Kepolisian Daerah Metro Jaya mencatat korban banjir yang meninggal mencapai 44 orang. Sebagian besar karena terbawa arus, tersengat aliran listrik atau sakit. Seorang kakek bernama Samsudin di Karet Tengsin akhirnya meninggal lantaran sakit setelah berusaha bertahan di dalam rumahnya yang tergenang air [baca: Sebagian Kelapa Gading Masih Tergenang].
Dua warga Cikini, Irfan Wijaya dan Henri Januardi, ditemukan tewas di Sungai Ciliwung. Keduanya sebelumnya dinyatakan hilang setelah berusaha menyelamatkan temannya yang terseret arus banjir.
Belum ada data pasti mengenai perkiraan kerugian akibat banjir. Yang jelas, air telah merusak jaringan komunikasi telepon dan listrik. Rusaknya jaringan telepon mengakibatkan ratusan ribu pelanggan telepon terganggu. Diperkirakan PT Telkom mengalami kerugian senilai Rp 1,5 miliar. Sementara kerugian PT Perusahaan Listrik Negara mencapai Rp 51 miliar [baca: Listrik dan Telepon Masih Mati].
Banjir tahun ini menjadi pelajaran yang sangat mahal harganya. Kita ingat, banjir besar juga pernah melanda Ibu Kota lima tahun silam. Kala itu, banyak orang yang mengingatkan bahaya siklus banjir lima tahunan. Tapi entah kenapa peringatan tersebut seolah diabaikan. Bahkan dalam sebuah rapat November 2006, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, tidak akan ada banjir besar tahun ini [baca: Ketika Keyakinan Sutiyoso Meleset].
Hampir sepekan banjir melanda Jakarta, para korban saat ini masih banyak tinggal di pengungsian. Warga Kelurahan Rawa Buaya, Jakbar, misalnya. Mereka meminta Gubernur Sutiyoso agar meninggikan tanggul sungai di Cengkareng, pelayanan medis 24 jam, dan fasilitas mandi, cuci, dan kakus bagi korban banjir.
Ridha warga Jakarta melalui sambungan telepon (021) 5226666 dalam Topik Minggu Ini, Rabu (7/2) malam, menilai, Pemerintah Daerah Jakarta tidak melakukan pekerjaan rumahnya. Hal ini terbukti dengan terulangnya banjir seperti lima tahun silam. Padahal bakal adanya musibah tersebut sudah diingatkan oleh beberapa ahli.
Memang 40 persen wilayah Jakarta berada di permukaan laut. Namun bukan berarti Pemda DKI Jakarta tak dapat mengantisipasi datangnya banjir. Edi, salah satu penelepon, mengatakan Belanda dan Kota Venezia, Italia adalah wilayah di bawah permukaan laut. Akan tetapi keduanya tak pernah kebanjiran.
Hal senada juga dikatakan warga Ibu Kota lainnya, Erik dan Hendra. Keduanya melihat tidak ada tindakan konkret dan kerja nyata dalam penanganan bencana banjir. Justru yang terjadi adalah saling menyalahkan di tingkat elite. Selain itu, orientasi pembangunan di Jakarta tidak ramah lingkungan.
Sutiyoso mengatakan, banjir merupakan permasalahan yang kompleks. Tak cukup hanya ditangani oleh Pemda Jakarta, akan tetapi juga pemerintah pusat. Sutiyoso menambahkan, sejauh ini pihaknya sudah menjalankan konsep Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tentang banjir kanal. Belanda sudah mendirikan banjir kanal barat pada 1923. Sayangnya, kata Sutiyoso, baik Pemda DKI Jakarta dan pemerintah pusat tak pernah meneruskan proyek banjir kanal timur.
Padahal, baik banjir kanal barat dan timur berfungsi menangkap air yang berasal dari 13 sungai yang ada di Jakarta. Untuk kemudian air akan dibuang ke laut. Mengapa proyek banjir kanal timur hingga kini belum selesai? Sutiyoso beralasan karena dananya yang besar. Untuk pembebasan lahan saja memerlukan biaya Rp 2,4 triliun. "Tidak mungkin saya gelontorkan dalam satu anggaran. Tapi harus bertahap," jelas Sutiyoso. Selain itu, waktu yang dibutuhkan juga cukup lama.
Karena itu, untuk pembangunan banjir kanal timur tak lagi ditangani oleh Pemda DKI Jakarta, melainkan diambil alih pemerintah pusat. "Di dalam undang-undang, bila sungai melewati dua provinsi atau lebih, itu harus diambil alih pemerintah pusat," kata Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso.
Terkait lambannya penanganan korban banjir, alasan Sutiyoso adalah jumlah petugas yang ada tak sebanding dengan korban banjir yang akan dievakuasi. Ditambah lagi, kualitas juga belum mumpuni.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)
Kelapa Gading yang beberapa tahun terakhir dipenuhi gedung pertokoan, perkantoran, serta real estate baru lumpuh akibat banjir. Ketinggian air di beberapa tempat bahkan mencapai dua meter. Sebagian warga terpaksa dievakuasi, tetapi ada juga yang memilih bertahan sambil menjaga rumah mereka. Air yang membenam Boulevard Kelapa Gading membuat upaya evakuasi sulit dilakukan.
Banjir berhari-hari membuat warga Kelapa Gading mulai kehabisan stok makanan. Dengan menggunakan truk-truk besar, mereka yang masih bertahan sempat keluar rumah untuk berbelanja [baca: Jakarta Masih Terendam].
Lima tahun silam, wilayah Kelapa Gading juga termasuk yang paling parah terendam air saat banjir besar melanda Jakarta. Sama seperti sekarang, banjir kala itu juga melumpuhkan perekonomian dan aktivitas warga [baca: Kawasan Mewah Kelapa Gading Masih Terendam].
Di kawasan Sunter, tinggi air mencapai hingga dua meter. Sementara di Kompleks Perumahan TNI Angkatan Laut, sebagian pengungsi memilih bertahan di lantai dua rumah mereka. Sebagian lagi memilih mengungsi. Wilayah Sunter yang luput dari banjir pun lumpuh total karena terkepung air [baca: Sebagian Kelapa Gading Masih Tergenang].
Luapan air dari Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, juga mengakibatkan terowongan Manggarai terbenam. Sekitar 500 warga Manggarai Utara terpaksa mengungsi dengan menggunakan tenda-tenda darurat.
Di kawasan Cilincing, Jakarta Timur, lebih dari 1000 warga Kampung Kandang terpaksa mengungsi. Masjid-masjid pun disulap menjadi tempat pengungsian. Lokasi ini sempat tak tersentuh bantuan. Akibatnya para pengungsi kelaparan. Selain itu, juga tak ada dapur umum atau tempat mandi cuci kakus darurat [baca: Ribuan Warga Jakarta Masih Mengungsi].
Hari kedua, banjir juga memutuskan jalan penghubung Jakarta-Tangerang, Banten. Di Pos Pengumben, Jaksel, jalan tidak bisa dilalui karena terendam. Sepeda motor serta warga yang melintas terpaksa memanfaatkan gerobak sampah pemulung yang menawarkan jasa angkut bagi orang maupun sepeda motor yang hendak lewat. Pasar Bendungan Hilir, Jakpus juga tidak luput dari banjir. Aktivitas ekonomi lumpuh dan para pedagang sibuk membersihkan toko mereka yang terendam air [baca: Banjir Memacetkan Jakarta].
Wilayah Kalibata juga terendam air. Padahal tahun 2002, banjir besar tak menyentuh kawasan ini. Banjir juga merendam kawasan elite Kemang, Jaksel. Jakarta Barat termasuk daerah yang terparah. Sebagian kawasan ini terendam banjir. Di Tomang, ribuan warga mengungsi di Mal Roxy Square. Salah seorang pengungsi bernama Dian, bersama bayinya yang baru berusia lima hari terpaksa tinggal seadanya di tempat pengungsian. Padahal kesehatannya belum pulih total usai melahirkan.
Luapan sungai banjir kanal Tomang juga mengakibatkan jalan raya dan rumah warga terbenam. Jalan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta pun sempat terbenam. Akibatnya akses ke bandara lumpuh total.
Di Jaktim, kawasan Kampung Melayu termasuk daerah yang paling parah terendam air. Meski demikian, beberapa warga tetap nekat bertahan di rumah mereka. Tim evakuasi sempat menyelamatkan Ratna dan keluarganya yang sempat bertahan selama lima hari.
Di kawasan Cawang, air setinggi empat meter menggenangi under pass. Terowongan ini sempat tertutup total selama beberapa hari akibat banjir. Sejumlah upaya dilakukan, termasuk mengerahkan alat penyedot untuk mengurangi ketinggian air sehingga jalur penting ini dapat dilewati kendaraan
[baca: Banjir di Terowongan Cawang Bawah Terus Disedot].
Hingga kemarin, data Kepolisian Daerah Metro Jaya mencatat korban banjir yang meninggal mencapai 44 orang. Sebagian besar karena terbawa arus, tersengat aliran listrik atau sakit. Seorang kakek bernama Samsudin di Karet Tengsin akhirnya meninggal lantaran sakit setelah berusaha bertahan di dalam rumahnya yang tergenang air [baca: Sebagian Kelapa Gading Masih Tergenang].
Dua warga Cikini, Irfan Wijaya dan Henri Januardi, ditemukan tewas di Sungai Ciliwung. Keduanya sebelumnya dinyatakan hilang setelah berusaha menyelamatkan temannya yang terseret arus banjir.
Belum ada data pasti mengenai perkiraan kerugian akibat banjir. Yang jelas, air telah merusak jaringan komunikasi telepon dan listrik. Rusaknya jaringan telepon mengakibatkan ratusan ribu pelanggan telepon terganggu. Diperkirakan PT Telkom mengalami kerugian senilai Rp 1,5 miliar. Sementara kerugian PT Perusahaan Listrik Negara mencapai Rp 51 miliar [baca: Listrik dan Telepon Masih Mati].
Banjir tahun ini menjadi pelajaran yang sangat mahal harganya. Kita ingat, banjir besar juga pernah melanda Ibu Kota lima tahun silam. Kala itu, banyak orang yang mengingatkan bahaya siklus banjir lima tahunan. Tapi entah kenapa peringatan tersebut seolah diabaikan. Bahkan dalam sebuah rapat November 2006, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, tidak akan ada banjir besar tahun ini [baca: Ketika Keyakinan Sutiyoso Meleset].
Ironisnya, di tengah suasana duka, rapat Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Crisis Centre Banjir justru diwarnai derai tawa. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tertawa saat Kalla menanyakan puncak hujan dan banjir di Jakarta dan sekitarnya [baca: Banjir Masih Mengurung Jakarta].
Hampir sepekan banjir melanda Jakarta, para korban saat ini masih banyak tinggal di pengungsian. Warga Kelurahan Rawa Buaya, Jakbar, misalnya. Mereka meminta Gubernur Sutiyoso agar meninggikan tanggul sungai di Cengkareng, pelayanan medis 24 jam, dan fasilitas mandi, cuci, dan kakus bagi korban banjir.
Ridha warga Jakarta melalui sambungan telepon (021) 5226666 dalam Topik Minggu Ini, Rabu (7/2) malam, menilai, Pemerintah Daerah Jakarta tidak melakukan pekerjaan rumahnya. Hal ini terbukti dengan terulangnya banjir seperti lima tahun silam. Padahal bakal adanya musibah tersebut sudah diingatkan oleh beberapa ahli.
Memang 40 persen wilayah Jakarta berada di permukaan laut. Namun bukan berarti Pemda DKI Jakarta tak dapat mengantisipasi datangnya banjir. Edi, salah satu penelepon, mengatakan Belanda dan Kota Venezia, Italia adalah wilayah di bawah permukaan laut. Akan tetapi keduanya tak pernah kebanjiran.
Hal senada juga dikatakan warga Ibu Kota lainnya, Erik dan Hendra. Keduanya melihat tidak ada tindakan konkret dan kerja nyata dalam penanganan bencana banjir. Justru yang terjadi adalah saling menyalahkan di tingkat elite. Selain itu, orientasi pembangunan di Jakarta tidak ramah lingkungan.
Sutiyoso mengatakan, banjir merupakan permasalahan yang kompleks. Tak cukup hanya ditangani oleh Pemda Jakarta, akan tetapi juga pemerintah pusat. Sutiyoso menambahkan, sejauh ini pihaknya sudah menjalankan konsep Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tentang banjir kanal. Belanda sudah mendirikan banjir kanal barat pada 1923. Sayangnya, kata Sutiyoso, baik Pemda DKI Jakarta dan pemerintah pusat tak pernah meneruskan proyek banjir kanal timur.
Padahal, baik banjir kanal barat dan timur berfungsi menangkap air yang berasal dari 13 sungai yang ada di Jakarta. Untuk kemudian air akan dibuang ke laut. Mengapa proyek banjir kanal timur hingga kini belum selesai? Sutiyoso beralasan karena dananya yang besar. Untuk pembebasan lahan saja memerlukan biaya Rp 2,4 triliun. "Tidak mungkin saya gelontorkan dalam satu anggaran. Tapi harus bertahap," jelas Sutiyoso. Selain itu, waktu yang dibutuhkan juga cukup lama.
Karena itu, untuk pembangunan banjir kanal timur tak lagi ditangani oleh Pemda DKI Jakarta, melainkan diambil alih pemerintah pusat. "Di dalam undang-undang, bila sungai melewati dua provinsi atau lebih, itu harus diambil alih pemerintah pusat," kata Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso.
Terkait lambannya penanganan korban banjir, alasan Sutiyoso adalah jumlah petugas yang ada tak sebanding dengan korban banjir yang akan dievakuasi. Ditambah lagi, kualitas juga belum mumpuni.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)