Liputan6.com, Jakarta: Usulan agar syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden minimal sarjana mengundang perbincangan hangat berbagai kalangan. Silang pendapat pun bermunculan. Ada yang menyebutkan tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan pemimpin. Namun dilain pihak, syarat ini dianggap menutup hak warga negara Indonesia yang berpendidikan dibawah sarjana untuk mencalonkan dirinya sebagai capres dan cawapres.
Menurut Agun Gunandjar, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar, kepada SCTV, Sabtu (17/3), apalah artinya calon itu berpendidikan sarjana jika kemampuannya menimbang dan menyerap aspirasi masyarakat sangat rendah dan tidak memiliki keberanian. "Saya yakin pemerintahan tidak akan baik," kata Agus.
Pendapat senada juga diutarakan anggota dewan lainnya, I Wayan Sudirta. Menurut dia, persyaratan itu sangat tidak masuk akal. Sedangkan menurut pengamat politik J. Kristiadi, persyaratan ini hanya baru semacam konsultasi publik dan belum final. "Tapi reaksi yang bermunculan terlalu keras, seperti ketakutan," kata Kristiadi.
Mencuatnya syarat sarjana ini, seolah ditujukan kepada mantan Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarnoputri. Tapi Megawati tak mau ambil pusing dengan wacana itu. Dia tetap optimis bisa terus maju dalam bursa capres [baca: Ke Depan, Bisa Jadi Presiden Harus Sarjana].
Tak mau dianggap berusaha menjegal lawan politik lewat draft yang masih ditangani menterinya, Presiden Yudhoyono melalui Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, merasa perlu meluruskan keadaan. "Tidak pernah terlintas pemikiran dari Presiden untuk mengubah persyaratan," kata Sudi.
Pada 2004, Undang-undang Pemilihan Presiden mensyaratkan pendidikan para calon sebatas lulusan Sekolah Menengah Atas. Tapi, kini dalam pasal 7 huruf R draft Rancangan Undang-undang Pilpres dan wapres disebutkan pendidikan minimal S1 atau sederajat.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)
Menurut Agun Gunandjar, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar, kepada SCTV, Sabtu (17/3), apalah artinya calon itu berpendidikan sarjana jika kemampuannya menimbang dan menyerap aspirasi masyarakat sangat rendah dan tidak memiliki keberanian. "Saya yakin pemerintahan tidak akan baik," kata Agus.
Pendapat senada juga diutarakan anggota dewan lainnya, I Wayan Sudirta. Menurut dia, persyaratan itu sangat tidak masuk akal. Sedangkan menurut pengamat politik J. Kristiadi, persyaratan ini hanya baru semacam konsultasi publik dan belum final. "Tapi reaksi yang bermunculan terlalu keras, seperti ketakutan," kata Kristiadi.
Mencuatnya syarat sarjana ini, seolah ditujukan kepada mantan Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarnoputri. Tapi Megawati tak mau ambil pusing dengan wacana itu. Dia tetap optimis bisa terus maju dalam bursa capres [baca: Ke Depan, Bisa Jadi Presiden Harus Sarjana].
Tak mau dianggap berusaha menjegal lawan politik lewat draft yang masih ditangani menterinya, Presiden Yudhoyono melalui Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, merasa perlu meluruskan keadaan. "Tidak pernah terlintas pemikiran dari Presiden untuk mengubah persyaratan," kata Sudi.
Pada 2004, Undang-undang Pemilihan Presiden mensyaratkan pendidikan para calon sebatas lulusan Sekolah Menengah Atas. Tapi, kini dalam pasal 7 huruf R draft Rancangan Undang-undang Pilpres dan wapres disebutkan pendidikan minimal S1 atau sederajat.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)