Sukses

Hari Ini Rektor IPDN Dipanggil Presiden Yudhoyono

Rencananya Nyoman Sumaryadi, Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor akan dipanggil Presiden Yudhoyono terkait kasus kematian Cliff Muntu. Tim investigasi sudah menyelesaikan tugasnya.

Liputan6.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencananya Senin (9/4) akan memanggil Nyoman Sumaryadi, Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, seputar kasus kematian Cliff Muntu dan juga sejumlah kasus kekerasan lainnya. Presiden Yudhoyono berjanji akan mengambil tindakan terhadap IPDN karena kekerasan di kampus itu sudah terjadi berulang kali [baca: Hasil Investigasi Kematian Cliff Akan Dilaporkan].

Di tempat terpisah, Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang menyatakan tim investigasi kasus kematian Cliff Muntu sudah menyelesaikan tugasnya. Semalam rencananya tim investigasi akan melaporkan hasil kerja mereka kepada Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo A.S.

Sementara itu, upaya untuk menutupi kematian Cliff Muntu dengan menyuntikkan formalin terus terkuak. Ayah seorang praja lewat telewicara dengan SCTV menduga penyuntikan formalin dilakukan di sebuah klinik di lingkungan IPDN [baca: Kuat Dugaan Jenazah Cliff Disuntik Formalin]. Pria ini lalu mengimbau agar praja tingkat satu dan dua dipulangkan untuk diperiksa kesehatannya. Ia yakin paru-paru mereka banyak yang rusak akibat tindak penganiayaan.

SCTV juga bertelewicara dengan Drs. Abbas Adam, alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), nama lama kampus ini sebelum berganti nama menjadi IPDN. Abbas yang kini berada di Tidore, Maluku Utara, menilai kekerasan di kampus itu bersifat struktural dan kultural. Secara struktural indikasinya terlihat saat praja masuk STPDN, mereka disambut sebuah tulisan yang terpampang di depan kampus. "Sudah Siapkah Mental dan Fisik Anda, Ragu-ragu Kembali," kenang Abbas yang masuk STPDN pada 1991.

Abbas mengakui tindak kekerasan ini sudah berlangsung lama. Kekerasan ini diwariskan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Bandung kepada STPDN angkatan pertama. Menurutnya, hubungan emosional ini tak bisa dihilangkan sebab para senior juga sudah pernah mengalami hal yang sama. Untuk menghilangkannya, ia mengusulkan agar IPDN membekukan sementara penerimaan mahasiswa baru selama tiga tahun. Diharapkan setelah tiga tahun, mahasiswa baru yang notabene tak menerima tindak kekerasan dapat menghapus tradisi buruk ini.

Sejauh ini kesaksian mengenai tindak kekerasan di tubuh IPDN terus terkuak. Kali ini Adi Aryo Fanggidae, mantan muda praja asal Nusatenggara Timur yang mengungkapkan kesaksiannya. Adi mengaku trauma terhadap kekerasan seniornya sehingga menewaskan seorang rekannya Wahyu Hidayat, empat tahun silam. Untuk menyelamatkan dirinya, pemuda ini akhirnya memilih keluar dari kampus pada 2003.

Aryo mengatakan sebelumnya ia sempat kabur dan membuat laporan polisi tentang tindakan penganiayaan yang dialaminya. Setelah melalui perundingan damai, ia bersedia menarik laporan polisi dengan perjanjian tidak lagi dianiaya. Namun penganiayaan itu ternyata tak pernah berhenti. Ia lalu berharap agar Menteri Dalam Negeri memulihkan status para muda praja STPDN yang kabur. Sebab mereka memilih kabur dan mengundurkan diri karena penganiayaan yang dilakukan para senior tadi.

Di Pontianak, Kalimantan Barat, Gatot Satria, alumni STPDN angkatan kedua tahun 1993 menyayangkan kekerasan yang terjadi di bekas almamaternya ini. Kepala Subbagian di Biro Keuangan Kantor Gubernur Kalbar ini bercerita, awal STPDN dibentuk tidak pernah ada senior yang memukul yunior hingga diluar batas kewajaran, apalagi meninggal dunia. Dahulu jika ada praja yang bersalah, hukuman yang diberikan diklaim mendidik seperti push up ataupun lari. Paling tinggi hukumannya adalah dengan menggunduli rambut yang bersangkutan.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.