Sukses

Praja IPDN Mendukung Kebijakan Presiden

Sejumlah praja mengecam aksi kekerasan dalam Kampus dan berharap hubungan antara senior dan junior sebagai kakak dengan adik asuh. Sejumlah kepala daerah akan memboikot pengiriman calon praja jika kekerasan masih terjadi.

Liputan6.com, Sumedang: Sejumlah praja mengecam aksi kekerasan dalam Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Mereka mendukung enam langkah kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap IPDN. Di antaranya pembenahan secara fundamental serta perubahan sistem pembinaan tanpa kekerasan [baca: Presiden: Kasus Cliff Muntu Harus Dituntaskan].

Dalam pernyataan yang dikeluarkan di Kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (10/4) petang, wakil praja juga meminta kepada keluarga madya praja Cliff Muntu yang diduga tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh beberapa praja senior. Mereka berharap hubungan antara senior dan junior harusnya sebagai kakak asuh dengan adik asuh.

Sementara itu sejumlah kepala daerah akan memboikot pengiriman calon praja jika kekerasan di kampus belum dapat dihilangkan. Menurut Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi harus bertanggung jawab atas terus terjadinya kekerasan selama ini. "Kalo begini terus kita akan stop pengiriman," kata Fadel Muhammad.

Sedangkan Pemerintah Provinsi Papua akan mengirim surat ke Departemen Dalam Negeri agar diizinkan mendirikan sekolah praja. Dengan demikian tidak perlu lagi mengirim calon praja ke Jatinangor, Sumedang. "Kita juga bisa merekrut mahasiswa untuk menjadi bermoral dan beretika bukan kriminal," kata Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem.

Aksi kekerasan di IPDN yang berujung kematian Cliff menuai reaksi dari berbagai kalangan. Di Bogor, Jabar, sejumlah pendekar yang tergabung dalam Paguyon Jalak Banten mengelar teatrikal menuntut pembubaran IPDN. Aksi selama dua jam ini mengakibatkan kendaraan di jalan sekitar Tugu Kujang, Bogor menjadi tersendat.

Di Cirebon, Jabar, alumni purna praja IPDN di daerah itu meminta pembenahan sistem pengajaran di kampus untuk menghindari kekerasan terulang. Mohamad Taufan Bharata, purna praja angkatan I tahun 1992 mengatakan, sejak angkatan pertama tindakan kontak fisik tidak diperbolehkan termasuk dalam penyaringan anggota drum band.

Sementara itu sejumlah anggota Gerakan Pemuda Anshor Sulawesi Utara berunjuk rasa di kantor gubernur. Mereka meminta pemerintah memeriksa kembali tim pembaharuan STPDN menjadi IPDN tahun 2003 menyusul tewasnya Wahyu Hidayat. Gubernur Sulawesi Sinyo Hari Sarundayang dinilai turut bertanggung jawab atas masih munculnya kekerasan di IPDN.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini