Sukses

STPDN=IPDN, Mendidik atau Menyiksa?

Ryaas Rasyid, mantan Rektor IIP, menegaskan semua praja di IPDN termasuk rektor pasti mengetahui seluruh kekerasan yang terjadi di dalam kampus. Penganiayaan para praja madya itu merupakan kekerasan yang dilembagakan.

Liputan6.com, Jakarta: Boleh jadi kematian Cliff Muntu akibat dianiaya praja seniornya adalah puncak gunung es dari kekerasan yang terjadi di Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Soalnya sebelum praja asal Sulawesi Utara itu meninggal, Wahyu Hidayat juga tewas akibat dianiaya oleh para praja senior pada tahun 2003. Bahkan praja lainnya, Erry Rahmat, juga diketahui meregang nyawa usai dianiaya di kampus yang dulu dinamakan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

Seperti kejadian sebelumnya, kematian para siswa IPDN itu awalnya dinyatakan karena sakit. Sebab, selang beberapa saat Cliff tewas, I Nyoman Sumaryadi, rektor IPDN yang kini dinoaktifkan, mengatakan Cliff meninggal karena menderita lever. Namun setelah ada serangkaian pemeriksaan dari pihak kepolisian dan rumah sakit, Cliff ternyata tewas bukan karena sakit melainkan penganiayaan. Sang Rektor itu kemudian meralat pernyataannya tersebut. Pernyataan seperti ini juga pihak STPDN pada kasus kematian Wahyu [baca: Kekerasan Praja, Tradisi Puluhan Tahun di IPDN].

Kematian Cliff di Kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, pekan silam ini memang menjadi tanda tanya besar bagi sejumlah kalangan baik masyarakat maupun lembaga eksekutif dan legislatif. Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo A.S kemudian memanggil I Nyoman untuk memberikan laporan kasus tersebut. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan IPDN tak diperbolehkan menerima praja baru untuk penerimaan siswa tahun ajaran 2007.

Menurut Ryaas Rasyid, mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan, penganiayaan para praja di IPDN itu merupakan kekerasan yang dilembagakan. Karena semua orang di sana termasuk rektor pasti mengetahui kekerasan demi kekerasan yang terjadi pada praja IPDN. "Tak hanya peristiwa malam itu, seluruh peristiwa sebelumnya pasti mereka tahu. Ini merupakan kekerasan yang terlembagakan dan dilakukan secara terbuka di mata orang banyak," tegas Ryaas saat berdialog dengan presenter SCTV Rosianna Silalahi dalam acara Topik Minggu Ini, Rabu (11/4) malam.

Ryaas mengaku sistem pengawasan atau pengasuhan yang berlaku di IPDN itu berjalan selama 24 jam. Maka, bila ada kegiatan pembinaan yang dilakukan praja senior kepada junior, para pengawas pasti mengetahuinya. Gerakan tutup mulut yang dilakukan para praja terkait kasus kematian Cliff saat Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke IPDN merupakan doktrin yang luar biasa yang diterapkan di sana. "Bayangkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla mereka disuruh berbohong," ungkap Ryaas.

Kampus pencetak calon birokrat Tanah Air itu sebelumnya bernama STPDN dan diubah pemerintah menjadi IPDN lantaran kematian Wahyu menjadi sorotan publik luas. Namun kasus kekerasan atas nama pembinaan itu berulang kembali kepada Cliff saat menjalani latihan pengibar bendera IPDN atau pataka. Menurut Ryaas, perubahan nama IPDN itu tak mempengaruhi apa pun meski sebagian praja sempat dipindahkan ke Kampus IIP, Jakarta Selatan. "IPDN cuma mengubah nama, bukan sistemnya yang keliru. Sistem pengasuhan itu adalah sumber kekerasan. Mereka yang menjadi para pengasuhnya itu lulusan STPDN yang akrab dengan kekerasan," kata mantan rektor IIP.

Ryaas juga mengatakan kekerasan yang kembali terjadi ini merupakan kegagalan dari pemimpin IPDN yakni I Nyoman Sumaryadi. Sebab, sejak dia terpilih menjadi rektor pada awalnya untuk membenahi kekerasan yang terjadi IPDN. Tapi, malah kembali terjadi dan menewaskan praja asal Sulawesi Utara. "Seharusnya tak menunggu orang mati dulu," tegas Ryass. Selain itu, Ryaas juga mengatakan sistem pengasuhan di IPDN itu harus dihilangkan. "Seorang narapidana yang mati di penjara saja sudah ada tanda tanya besar. Apalagi kalau seorang mahasiswa yang mati di lembaga pendidikan,"

Para siswa IPDN rata-rata dikenal anak yang baik di lingkungan keluarga dan rumahnya. Namun setelah mereka masuk kampus calon birokrat itu kerap menjadi penganiaya akibat sistem pengasuhan praja tersebut. "Lingkungan dan sistem pengasuhan IPDN itu membuat mereka menjadi buruk. Ini sudah kesalahan besar dan harus dibuang sistemnya," kata dia.

Terkait keberadaan tim investigasi Departemen Dalam Negeri dalam kasus kekerasan ini, Ryaas menilai tim investigasi tersebut tak bisa mengungkap kematian Cliff. Karena mereka bukan tim investigasi kriminal. "Mereka hanya menakuti para saksi agar tak berbicara ke publik dan mencari kelemahan dosen agar tak membuka wacana kekerasan tersebut," ungkap pembicara tunggal acara ini.

Gusti Kresna Putra, mantan praja yang mengundurkan diri dari IPDN, mengatakan dirinya selalu mengalami penganiayaan sejak kali pertama masuk kampus tersebut hingga akhirnya keluar pada Desember 2006. "Kita selalu dipukul, ditendang, dan digebuki dari malam sampai subuh atau sampai ada yang pingsan," kata Gusti dalam sambungan telepon kepada Rosianna.

Menurut Kresna, seluruh praja IPDN selalu didoktrin oleh para praja senior untuk tak melapor seluruh kejadian yang menimpa mereka. "Saya kerap bersama teman-teman kemudian mereka menyiksa kami," tukas praja angkatan 17 yang juga rekan almarhum Cliff .

Inu Kencana, dosen IPDN yang kerap bersuara keras terkait kasus ini tetap bertekad untuk berjuang sampai akhir dalam pengungkapan kasus kematian Cliff. Kejujuran Inu yang sempat diistirahatkan sementara setelah mengabdi selama 30 tahun di IPDN juga membuat Komisi II DPR ingin mengetahui lebih dalam kebobrokan di IPDN. Usai pertemuan tersebut Inu mengatakan, Komisi II sangat mendukung langkahnya. Anggota Dewan, tambah Inu, akan mendesak pemerintah mereformasi tuntas IPDN. Salah satunya dengan mendesentralisasi IPDN dan mendirikan institut serupa di daerah-daerah.

Sementara itu, penonaktifan I Nyoman sebagai Rektor IPDN telah dilakukan menyusul reaksi sejumlah pemerintah daerah yang menolak mengirimkan calon praja ke sekolah tersebut. Mereka tidak akan mengirimkan calon praja ke IPDN sebelum sistem pendidikan IPDN diperbaiki dan diubah total.

Johanis Kaloh kemudian ditunjuk menjadi pelaksana Rektor IPDN untuk menggantikan posisi I Nyoman. Staf ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, itu diharapkan mampu mengembalikan citra IPDN. "Kita tanggalkan semua atribut yang ada. Ke depan saya akan memeriksa kondisi praja yang ada. Jangan-jangan mereka sakit semua!" kata Johanes [baca: Johanis Kaloh Ditunjuk Menjadi Pelaksana Rektor IPDN].

Terkait pemboikotan pengiriman praja ke IPDN itu di antaranya akan dilakukan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, Gorontalo, dan Kalimantan Tengah. Menurut Gubernur Kalbar Usman Jafar, pihaknya akan menunda pengiriman praja ke IPDN sampai ada laporan perubahan. "Sampai kita mendapat laporan perubahan dari para siswa Kalbar yang belajar di sana," kata Usman.

Pernyataan hampir serupa diungkapkan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad dan Gubernur Kalteng Teras Narang. "Kalau kekerasan di IPDN belum dihentikan kita tak akan mengirim praja ke sana" tegas," tegas dia.

Penyelidikan kasus kematian Cliff memang terus dilakukan Kepolisian Resor Sumedang, Jawa Barat. Sebelas praja, tiga pengasuh, dan dua pegawai Rumah Sakit Al-Islam Bandung serta seorang dari klinik IPDN kini tengah diperiksa sebagai saksi untuk mengetahui siapa menyuntikkan formalin ke tubuh korban [baca: Rektor IPDN dinonaktifkan].

Aksi kekerasan di IPDN memang jangan terjadi lagi. Disiplin dan pendidikan militer yang diadopsi calon pamong praja itu di masa mendatang seharusnya sudah tak dipakai lagi. Soalnya sistem pengasuhan atau pembinaan praja adalah sumber kekerasan yang harus dihilangkan.(ZIZ)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini