Liputan6.com, Sidoarjo: Hari ini, Senin (28/5), tepat satu tahun peristiwa semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi. Namun sampai saat ini, luberan lumpur belum juga berhenti. Bahkan pagi tadi, tanggul di sektor 25 di Desa Jatirejo jebol kembali. Hal ini mengakibatkan permukaan lumpur naik.
Sementara itu, satu tahun peristiwa semburan lumpur Lapindo diwarnai aksi unjuk rasa sekitar 50 kepala keluarga dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas I) di Kantor PT Lapindo Brantas di daerah Buduran, Sidoarjo. Warga menuntut jatah hidup sebesar Rp 300 ribu per jiwa per bulan. Walaupun mereka sudah mendapat Rp 2,5 juta sebagai uang kontrak, uang jatah hidup sampai saat ini belum juga dibayarkan. Padahal, warga sudah mendapatkan kartu sosial banjir lumpur yang dikeluarkan Dinas Sosial setempat.
Bencana lumpur Lapindo yang sudah setahun terjadi diperkirakan adalah peristiwa keluarnya lumpur dari perut bumi yang terbesar di dunia. Pada Agustus 2006, luas wilayah yang terendam lumbur 3,58 kilometer per segi. Satu bulan berselang, luasnya bertambah menjadi 4,59 kilometer per segi. Pada April 2007, angkanya naik menjadi 6,71 kilometer per segi. Dan 11 Mei 2007, luas wilayah terendam lumpur Lapindo sebesar 6,92 kilometer per segi.
Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo guna menghentikan semburan lumpur. Di antaranya dengan relief well. Namun metode yang awalnya diyakini mampu menghentikan semburan lumpur yang mencapai 160 ribu meter kubik per hari ini ternyata gagal total. Dana miliar rupiah pun melayang.
Timnas juga pernah mencoba mengurangi volume semburan dengan menggunakan bola-bola beton. Metode ini dalam kenyataannya memang sempat membuat pusat semburan berhenti 30 menit. Tetapi tidak lama kemudian, semburan kembali muncul dengan asap yang semakin tebal.
Pertengahan Mei silam, sebuah perusahaan Jepang akan menerapkan pemasangan cerobong baja atau counter weight double coffer dam. Namun metode tersebut tampaknya harus dikaji terlebih dahulu, terutama melihat kondisi bawah permukaan lumpur. Di samping itu, ada kekhawatiran jika semburan dihentikan secara mendadak akan memicu terjadinya semburan baru yang justru membahayakan daerah sekitar [baca: Ratusan Warga Porong Mogok Makan].
Setelah Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo dibubarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Saat ini, BPLS hanya berupaya memperkuat tanggul agar tidak seringkali jebol dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong. Ini agar area yang terdampak lumpur tidak semakin meluas.
Prediksi ahli Geologi menyatakan, jika semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, adalah mud volcano. Maka peristiwa ini masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini setidaknya menyadarkan semua pihak, jika persoalan lumpur butuh penanganan yang serius sehingga penderitaan warga yang menjadi korban lumpur tidak semakin bertambah [baca: Sepuluh Bulan Terkubur Lumpur].
Selain merendam ribuan rumah, sumberan lumpur Lapindo juga meresahkan warga yang tidak terkena dampak langsung. Budi, misalnya, rumahnya retak-retak sejak tiga bulan silam akibat penurunan tanah. Kondisi ini menyebabkan Budi mengungsikan keluarga besarnya ke Sidoarjo [baca: Puluhan Rumah Warga Siring Barat Retak].
Budi berharap, pemerintah bisa secepatnya menyelesaikan peristiwa semburan lumpur Lapindo. Salah satunya dengan segera membayarkan ganti rugi kepada warga yang terkena dampak luberan lumpur.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)
Sementara itu, satu tahun peristiwa semburan lumpur Lapindo diwarnai aksi unjuk rasa sekitar 50 kepala keluarga dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas I) di Kantor PT Lapindo Brantas di daerah Buduran, Sidoarjo. Warga menuntut jatah hidup sebesar Rp 300 ribu per jiwa per bulan. Walaupun mereka sudah mendapat Rp 2,5 juta sebagai uang kontrak, uang jatah hidup sampai saat ini belum juga dibayarkan. Padahal, warga sudah mendapatkan kartu sosial banjir lumpur yang dikeluarkan Dinas Sosial setempat.
Bencana lumpur Lapindo yang sudah setahun terjadi diperkirakan adalah peristiwa keluarnya lumpur dari perut bumi yang terbesar di dunia. Pada Agustus 2006, luas wilayah yang terendam lumbur 3,58 kilometer per segi. Satu bulan berselang, luasnya bertambah menjadi 4,59 kilometer per segi. Pada April 2007, angkanya naik menjadi 6,71 kilometer per segi. Dan 11 Mei 2007, luas wilayah terendam lumpur Lapindo sebesar 6,92 kilometer per segi.
Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo guna menghentikan semburan lumpur. Di antaranya dengan relief well. Namun metode yang awalnya diyakini mampu menghentikan semburan lumpur yang mencapai 160 ribu meter kubik per hari ini ternyata gagal total. Dana miliar rupiah pun melayang.
Timnas juga pernah mencoba mengurangi volume semburan dengan menggunakan bola-bola beton. Metode ini dalam kenyataannya memang sempat membuat pusat semburan berhenti 30 menit. Tetapi tidak lama kemudian, semburan kembali muncul dengan asap yang semakin tebal.
Pertengahan Mei silam, sebuah perusahaan Jepang akan menerapkan pemasangan cerobong baja atau counter weight double coffer dam. Namun metode tersebut tampaknya harus dikaji terlebih dahulu, terutama melihat kondisi bawah permukaan lumpur. Di samping itu, ada kekhawatiran jika semburan dihentikan secara mendadak akan memicu terjadinya semburan baru yang justru membahayakan daerah sekitar [baca: Ratusan Warga Porong Mogok Makan].
Setelah Timnas Penanggulangan Lumpur Lapindo dibubarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Saat ini, BPLS hanya berupaya memperkuat tanggul agar tidak seringkali jebol dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong. Ini agar area yang terdampak lumpur tidak semakin meluas.
Prediksi ahli Geologi menyatakan, jika semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, adalah mud volcano. Maka peristiwa ini masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini setidaknya menyadarkan semua pihak, jika persoalan lumpur butuh penanganan yang serius sehingga penderitaan warga yang menjadi korban lumpur tidak semakin bertambah [baca: Sepuluh Bulan Terkubur Lumpur].
Selain merendam ribuan rumah, sumberan lumpur Lapindo juga meresahkan warga yang tidak terkena dampak langsung. Budi, misalnya, rumahnya retak-retak sejak tiga bulan silam akibat penurunan tanah. Kondisi ini menyebabkan Budi mengungsikan keluarga besarnya ke Sidoarjo [baca: Puluhan Rumah Warga Siring Barat Retak].
Budi berharap, pemerintah bisa secepatnya menyelesaikan peristiwa semburan lumpur Lapindo. Salah satunya dengan segera membayarkan ganti rugi kepada warga yang terkena dampak luberan lumpur.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)