Alhasil, berapa pun tangki minyak goreng dalam operasi pasar yang digelar pemerintah tersedot habis. Di Serang, Banten, misalnya. Minyak goreng curah ini bahkan habis sebelum semua ibu yang antre mendapatkan minyak goreng murah harga pemerintah sebesar Rp 6.500 per kilogram. Mudah ditebak, protes pun muncul [baca: Kehabisan Minyak Goreng, Warga Serang Protes].
Di Semarang, Jawa Tengah, krisis minyak goreng juga tak jauh berbeda. Operasi pasar yang sudah digelar hingga bulan ini, ternyata belum membawa hasil turunnya harga komoditas vital rumah tangga dan industri makanan tersebut. Terutama minyak goreng curah yang menjadi kebutuhan mayoritas ibu-ibu rumah tangga.
Bahkan, di sejumlah pasar di Jawa Tengah, harga minyak goreng curah sudah menembus angka Rp 10 ribu setiap satu kilogram. Angka ini hampir mendekati dua kali harga minyak goreng yang dipatok pemerintah, yakni di kisaran Rp 6.500 hingga Rp 7.000 [baca: Harga Minyak Goreng di Semarang Menembus Rp 10.000/Kg].
Advertisement
Boleh dikatakan, krisis minyak goreng nyaris merata di hampir seluruh kota di negara yang menjadi salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia ini. Kelangkaan minyak goreng ini terjadi di Jakarta, Bandung, Makassar, Ambon, Aceh, Padang, Palu, Kendari, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Di banyak daerah, harga minyak curah kualitas rendah rata-rata sudah menembus angka Rp 9.500 lebih. Target pemerintah untuk mematok harga minyak goreng curah di kisaran Rp 6.500 hingga Rp 7.000 per kilogram pada bulan ini terbukti gagal. Operasi pasar yang digelar serentak di berbagai kota seakan hanya menggarami air laut. Nyaris tanpa hasil karena harga minyak terus melambung tinggi, hampir tak terbeli [baca: Pemerintah Gagal Menurunkan Harga Minyak Goreng].
Kondisi seperti itu sudah berlangsung selama dua bulan. Dan hingga saat ini belum ada tanda-tanda harga minyak bisa dinormalkan. Keadaan ini jelas memprihatinkan. Ini mengingat Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, setelah Malaysia. Produksi minyak sawit mentah Indonesia mencapai 13 juta ton lebih per tahun. Padahal kebutuhan minyak goreng sawit di republik ini cuma sekitar tiga juta ton.
Merujuk data tersebut, mestinya tak perlu terjadi krisis minyak goreng seperti sekarang. Namun lantaran terjadi kepanikan di pasar internasional, maka harga minyak sawit dunia melonjak naik hingga 50 persen. Lantas, hukum dagang pun bicara. Para pabrikan minyak sawit lebih memilih menjual minyaknya ke pasar internasional.
Walhasil, komitmen para pengusaha minyak sawit memasok 97 ribu ton lebih minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri tak dipenuhi mereka. Ditambah janji pada Juni ini, maka para pengusaha itu mempunyai utang 130 ribu ton lebih minyak mentah untuk pasokan kebutuhan dalam negeri. Janji yang sepertinya sulit untuk dipenuhi [baca: Harga Minyak Goreng Masih Membubung].
Melihat ulah para pengusaha minyak sawit itu, pemerintah mengancam akan menambah pajak ekspor sebesar lima persen jika para pengusaha tetap membandel. Dengan kata lain, menomorduakan pasar dalam negeri [baca: Pemerintah [Kembali] Mengancam Industri CPO].
Ironisnya, mahalnya minyak goreng hingga menembus batas psikologis pasar memicu munculnya berbagai kecurangan. Di sejumlah kota di Jawa Timur yang banyak industri kecil, seperti Kediri, Mojokerto dan Situbondo ditengarai beredar minyak goreng curah oplosan. Minyak goreng yang dicampur dengan minyak jelantah yang dijernihkan kembali [baca: Stok Menipis, Harga Minyak Goreng Terus Naik].
Belum lama ini petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Mojokerto mengambil sampel di sejumlah pasar. Namun sampai saat ini belum diketahui hasilnya karena masih dalam proses uji laboratorium. Bahkan di Situbondo, pernah ditemukan agen yang menjual minyak goreng curah yang diduga kuat hasil oplosan. Polisi kemudian merazia agen minyak goreng besar itu yang dilaporkan warga menjual minyak goreng oplosan.
Penelusuran tim Sigi SCTV di Jakarta, belum lama berselang pun mendapati fakta minyak goreng jelantah bekas restoran memang banyak diperjualbelikan. Jelantah yang sangat kotor untuk bahan biodiesel yang tak terlalu rusak dijual kepada para pengusaha rumahan berbagai jenis makanan.
Seperti penuturan Jaya, salah satu pedagang minyak jelantah besar di bilangan Jakarta Utara. Menurut Jaya, dulu ada pelanggannya yang membeli minyak jelantahnya untuk diproses kembali menjadi minyak curah daur ulang. Karena ketahuan aparat, pedagang minyak jelantah daur ulang yang bernama Apin lantas ditangkap. Sang juragan minyak jelantah daur ulang itu pun bangkrut.
Kini, Jaya hanya menjual jelantah untuk bahan biodiesel dan sebagian kecil jelantah-jelantah yang masih bagus untuk dilepas kepada para pengusaha tahu asal Tegal, Jawa Tengah. Satu jeriken isi 16 liter minyak jelantah diperdagangkan antara Rp 70 ribu hingga Rp 75 ribu.
Adapun penelusuran tim Sigi ke sejumlah industri rumah tangga di Jakarta, Bogor dan Tangerang mendapati kenyataan lain. Penggunaan minyak goreng hingga berulang-ulang sampai berkali-kali, sepertinya sudah menjadi kebiasaan. Maklum, harga minyak goreng sangat mahal membuat usaha mereka kian terjepit. Agar tak berbau tengik, sejumlah pengusaha menambah bahan kimia ke dalam minyak yang sudah berulang kali dipakainya.
Menelusuri lika-liku perdagangan minyak jelantah daur ulang memang susah-susah gampang. Mereka umumnya mau bercerita dan mengetahui penggunaan bahan kimia penjernih seperti H2O2 atau hidrogen peroksida yang sekarang ditengarai banyak disalahgunakan. Kendati demikian, mendapatkan gambar saat mereka mengoplos minyak jelantah sangat sulit diperoleh.
Tim Sigi akhirnya dapat merekam sebuah Bajaj yang dipakai untuk mengambil belasan jeriken minyak goreng jelantah di sebuah restoran besar di Jakarta. Fakta ini menunjukkan bahwa dari restoran-restoran besar seperti itulah limbah minyak goreng bocor. Dan sebagian di antaranya didaur ulang menjadi minyak goreng untuk dijual kembali.
Selanjutnya, penelusuran tim Sigi menemukan sebuah gudang kecil yang menjadi tempat pemurnian minyak jelantah. Walau kecil, jangan menyepelekan omzetnya. Sebab, di sinilah, sebut saja pasangan suami istri Ajang dan Darni dapat mengolah 100 hingga 150 jeriken minyak jelantah setiap pekan. Pak Ajang kemudian menjual kembali ke pabrikan kerupuk dan pengusaha-pengusaha gorengan langganannya seharga Rp 65 ribu. Jadi, omzet Ajang per minggu mencapai Rp 6,5 juta.
Itu jumlah duit yang terbilang besar untuk ukuran masyarakat lapisan bawah. Padahal, modalnya hanya drum, kompor minyak, jeriken dan bahan penjernih. Akhirnya, tim Sigi yang menyamar menjadi pembeli minyak jelantah dapat bertemu beberapa kali dengan Ajang.
Pada pertemuan pertama, istri Ajang, Darni mengakui bahwa untuk menjernihkan minyak-minyak jelantah ini mereka biasa memakai bahan kimia hidrogen peroksida. Hasilnya seperti sulap. Minyak jelantah yang awalnya hitam kotor menjadi jernih. Namun pada kunjungan penyamaran tim Sigi untuk kedua kalinya, Pak Ajang menyangkal telah memakai bahan kimia tersebut.
Bagaimana sebenarnya proses pemurnian minyak jelantah dengan memakai bahan kimia hidrogen peroksida dilakukan? Untuk itu, secara visual SCTV mencoba menunjukkan proses tersebut berdasarkan pengakuan sejumlah sumber pedagang minyak yang identitasnya dirahasiakan. Menjernihkan minyak jelantah sangatlah mudah. Hanya diperlukan alat-alat memasak, seperti kompor yang apinya besar. Juga wajan yang besar atau setidaknya dapat menampung 20 liter minyak jelantah. Adapun pemutihnya adalah hidrogen peroksida yang bisa dibeli di toko kimia.
Contoh berbeda adalah Haji Mulyono. Pria ini sudah lebih dari 10 tahun menjadi pedagang minyak jelantah daur ulang alias minyak goreng bekas yang dimurnikan. Tak banyak memang, paling dalam seminggu ia hanya menjual lebih 50 jeriken. Namun dari minyak jelantah itulah, Pak Mul--demikian lelaki itu kerap disapa--menafkahi keluarganya.
Minyak-minyak itu biasanya ia dapatkan dari restoran atau rumah-rumah makan besar yang ada di Jakarta dengan harga yang cukup murah. Sekitar Rp 10 ribu per jeriken ukuran 16 liter. Setelah diproses, minyak jelantah daur ulang buatan Pak Mul bisa laku hingga Rp 75 ribu per jeriken. Dan dijual hanya ke pabrik-parbik makanan rumahan di Jakarta Utara.
Pak Mul memilih cara tersendiri dan tidak memakai bahan kimia apa pun sehingga diyakini aman. Ia juga tak pernah menjualnya sebagai minyak oplosan, tapi murni minyak jelantah ke warung-warung atau pabrik jajanan gorengan langganannya. "Menjernihkannya...mempergunakan nasi kering," kata Mulyono, mengungkapkan. Langkah berikutnya, dua hingga tiga liter dimasukkan ke kuali di atas kompor yang menyala. Minyak jelantah kemudian dicampur ke kuali. Setelah 24 jam, imbuh Mulyono, minyak jelantah yang telah jernih itu disaring pelan-pelan ke jeriken yang bersih.
Memang, seiring mahalnya harga minyak goreng, minyak jelantah kian laris di pasaran. Banyak pedagang mengaku berapa pun jumlahnya selalu habis dibeli para pedagang jajanan gorengan. Tim Sigi mendapati sejumlah orang yang berprofesi seperti Pak Mul maupun Pak Jaya. Mereka menampung segala macam minyak jelantah, baik untuk biodiesel maupun dikonsumsi lagi.
Ada di antaranya pedagang jelantah yang memurnikan minyak jelantah kembali sebelum dijual dengan bahan kimia berbahaya, yakni hidrogen peroksida. Padahal hidrogen peroksida adalah bahan kimia yang bersifat oksidator yang sangat kuat. Adapun harga seliter hidrogen peroksida hanya berkisar antara Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu. Bahan kimia ini diperjualbelikan secara bebas di toko-toko kimia. Bahan ini biasa dipakai dalam industri tekstil, pembersih rotan, kertas dan kayu atau untuk mensterilkan kemasan makanan. Namun, patut diingat, hidrogen peroksida sama sekali bukan untuk makanan.
Di sejumlah kota di Jawa Timur sudah digelar razia atau inspeksi mendadak ke sejumlah pasar dan agen minyak goreng. Terutama pelaku yang diduga memasarkan minyak oplosan yang dimurnikan dengan hidrogen peroksida oleh sejumlah instansi. Sayang, hasilnya belum jelas hingga saat ini.
Sementara di Magelang, perdagangan minyak jelantah juga tercium Ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah Agna Susila. Bentuknya jernih mendekati minyak goreng curah yang baru. Adapun menurut peneliti pangan dari Sea Fast Center Doktor Nuri Andarwulan, untuk mengatasi maraknya penjualan minyak jelantah harus dirunut pada sumbernya. Seperti para pengelola restoran besar yang seenaknya saja membuang limbah minyak goreng.
Pertanyaan pun timbul. Layakkah minyak-minyak jelantah daur ulang yang menjadi bahan minyak oplosan itu dikonsumsi? Secara teoritis, minyak-minyak bekas apalagi yang sudah dipakai berulang-ulang lebih dari empat kali menggoreng jelas tak layak pakai. Terlebih, bila minyak-minyak itu dijernihkan atau dimurnikan dengan memakai bahan kimia hidrogen peroksida.
Namun untuk mendapat kepastian itu, tim Sigi mencoba menjawabnya melalui uji laboratorium. Laboratorium Sea Fast Center di Institut Pertanian Bogor pun dipilih. Hasil uji menunjukkan minyak jelantah daur ulang itu memang sudah tak layak dikonsumsi. Antara lain diperlihatkan dengan kandungan hidrogen peroksida yang tinggi dan kadar asam lemak tak jenuhnya yang berkurang jauh. Ini jelas berbeda dengan standar minyak goreng yang sehat untuk dikonsumsi. Bahkan, upaya menjernihkan minyak goreng itu bersifat racun terhadap tubuh meski hanya untuk bahan oplosan.
Menurut Doktor Nuri Andarwulan, pemurnian minyak goreng memang dibolehkan, tapi harus menggunakan pemutih yang tidak bereaksi dengan minyak. Bahan yang lazim digunakan adalah bleaching earth. Itu pun kadarnya tak boleh melebihi satu persen. Namun, proses pemurnian seperti itu tidak lazim ditempuh oleh orang awam atau industri rumahan. Ini mengingat prosesnya sulit dan membutuhkan alat yang rumit.
Sementara hidrogen peroksida, sekalipun sangat ampuh sama sekali tidak diperbolehkan karena bersifat racun, Bahkan, sangat berpotensi menimbulkan radikal bebas yang justru harus dihindari. Kini, konsumen haruslah lebih waspada. Dan perlu diingat, minyak goreng daur ulang lazimnya berbau lebih menyengat, memiliki warna lebih keruh dan cenderung cepat mengeluarkan busa jika dipakai untuk mengggoreng. Jadi, telitilah sebelum membeli minyak goreng maupun gorengan yang dibutuhkan atau hendak dikonsumsi.(ANS/Tim Sigi)