Liputan6.com, Pulau Bangka: Sejarah Pulau Bangka sepertinya tak bisa dipisahkan dari keberadaan timah hitam. Setiap jengkal tanah di pulau ini seolah hanya pasir timah belaka. Karena itu tak heran masyarakatnya pun beramai-ramai menjadi penambang, legal maupun liar. Gubuk apung para penambang terhampar di mana-mana. Mesin penyedot menderu sepanjang hari, mengeruk setiap butir pasir timah di bumi Bangka.
Pesona timah Bangka telah lama dikenal dunia. Bahkan, sejak Belanda mulai melirik pulau ini pada abad ke 18. Setelah Indonesia merdeka, penggalian timah sempat dikuasai negara. Namun, pada masa reformasi rakyat diizinkan untuk ikut mengeksploitasi.
Di Pulau Bangka terdapat ratusan bahkan ribuan penambang timah apung. Mereka tersebar di sepanjang garis pantai Pulau Serumpun Sebalai ini. Apabila setiap gubuk beroleh 50 kilogram pasir timah, maka kekayaan alam yang sudah tersedot mencapai puluhan ton.
Harga satu kilogram pasir timah di kalangan penambang saat ini mencapai Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu. Hitungan kasarnya, omzet para penambang apung bisa mencapai miliaran rupiah per hari. Alhasil, tak hanya warga Bangka yang kemudian berbondong-bondong menjadi penambang, pendatang dari berbagai daerah, seperti Makassar, Palembang, Medan, bahkan dari sejumlah kota di Pulau Jawa ikut mengeduk timah.
Tak sedikit dari mereka yang menjalankan usahanya secara turun-temurun. Ironisnya, para penambang ini tidak berizin alias ilegal. "Tapi kita tidak pernah ditangkap paling ditertibkan. Paling bayar uang untuk desa," kata Andi Datuk, pemilik penambang apung.
Gairah para penambang pasir timah ternyata tak hanya di pantai. Saat mengunjungi daerah Parit Enam di Pangkalpinang, belum lama ini, tim Sigi dengan mudah menemukan titik-titik penambang dengan mesin yang masih menderu.
Berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Bangka dan Belitung, jumlah tambang pasir timah di daerah ini mencapai 8.000 titik. Itu berarti ada sekitar 32 ribu orang yang terlibat dalam bisnis pasir timah ini. Dari ribuan perusahaan tambang rakyat atau tambang inkonvensional ini, hanya 300 yang memiliki izin resmi. Selebihnya dipastikan beroperasi secara ilegal, bahkan sebagian dari mereka menyerobot konsesi milik PT Timah
Kapolda Bangka Belitung Brigadir Jenderal Polisi Imam Sudjarwo mengaku, jumlah penambang kian hari terus bertambah. Untuk itu, polisi bersama instansi terkait terus berupaya menertibkannya agar mereka meminta izin kepada pemerintah daerah.
Bagi yang tak punya modal masih bisa berebut pasir timah. Caranya menjadi pelimbang, yakni mengais sisa pasir di bekas galian yang ditinggalkan begitu saja. Berbekal piring bekas, seorang pelimbang bisa mendapat pasir timah antara tiga hingga lima kilogram sehari.
Apabila diuangkan harganya sekitar Rp 90 ribu hingga Rp 150 ribu, jauh melebihi pendapatan buruh atau karyawan kantoran di kota. "Hampir seluruh hidup orang Bangka sangat tergantung kepada penambangan timah," kata Joko Santoso, yang mengaku sudah tinggal di pulau ini selama 13 tahun.
Biasanya penambang tak berizin menjual pasir hitam kepada para pengumpul yang banyak terserak di Pangkalpinang. Bahkan, menurut kesaksian, para pengumpul ini adalah mitra binaan atau perpanjangan tangan PT Timah, perusahaan peleburan timah pelat merah. Ada juga yang bermitra dengan PT Kobatin, perusahaan pasir timah yang sebagian sahamnya juga dimiliki PT Timah.
Para pengumpul inilah yang kemudian memberi pinjaman modal kepada para penambang rakyat. Hasil penambang tak berizin ini akhirnya masuk juga ke dapur peleburan milik negara. Tapi, kenyataan ini dibantah Abrun Abubakar, Kepala Humas PT Timah. "Kita akan tegur kalau ada mitra kita yang memasukkan barang ilegal," kata Abrun.
Sejak 2001 di Bangka memang bermunculan perusahaan peleburan timah swasta atau smelter. Sejak itu pula, para pengumpul banyak yang memilih menjual pasir timahnya ke smelter. Ini lantaran para pabrikan peleburan timah swasta ini berani membayar Rp 10 ribu lebih mahal dari harga timah yang dipatok perusahaan milik negara.
Apik Rasjidi, Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) mengaku, dengan cara itu perusahaan memang bisa mengeduk keuntungan, meski tipis. "Tapi secara menyeluruh ini menguntungkan rakyat karena kita mengambilnya dari warga," kata Apik.
Namun, kehadiran penambang rakyat dan smelter mulai ditertibkan karena hanya mengantongi izin dari bupati. Mereka tidak memiliki kuasa penambangan dan bukan eksportir terdaftar. Tindakan ini sempat memicu demonstrasi besar-besaran yang berujung anarki [baca: Demonstrasi Penambang Timah di Bangka Ricuh].
Pasca-Bangka kelabu, jumlah smelter tinggal 13 buah. Umumnya mereka yang tergabung dalam AITI dan sudah berizin. Namun, muncul masalah baru. Pasir timah asal Pulau Bangka banyak diselundupkan akibat produksi yang berlimpah. Produksi timah nasional saat ini mencapai 100 ribu metrik ton per tahun. Mayoritas berasal dari Pulau Bangka dan Belitung.
Terlebih, harga di pasar internasional jauh lebih tinggi, yakni Rp 127 ribu per kilogram. Sedangkan harga lokal hanya setengahnya. Karena itu, hampir setiap bulan ada saja kapal atau truk yang tertangkap aparat saat berusaha menyelundupkan timah dalam bentuk batangan atau pasir biji timah.
Berdasarkan data Dinas Hukum Pangkalan Utama TNI AL III, dalam tiga bulan terakhir aparat berhasil mengamankan 145 ton timah batangan dan 69 ton pasir timah. Apabila diuangkan mencapai Rp 18,6 miliar lebih. Kebanyakan timah diselundupkan melalui kapal penumpang, seperti Kapal Motor Tri Star II, KM Sentosa, KM Mekar Mandiri, dan KM Levina II. "Diperkirakan enam bulan ke depan kasus ini akan terulang," kata Laksamana Pertama M. Jurianto, Komandan Lantamal.
Belum lagi hasil operasi Polda Bangka Belitung yang selama bulan ini berhasil menggagalkan penyelundupan delapan balok timah dan 37 ton pasir timah. Kasus terbaru terjadi pada 12 Juni, saat sebuah kapal nelayan tertangkap ketika berusaha menyelundupkan lima ton pasir timah di Perairan Sadai, Bangka Selatan [baca: Lima Ton Pasir Timah Disita].
Pendek kata, di Pulau Bangka seakan tiada hari tanpa penyelundupan. Bahkan, sekelas PT Timah pun pernah tergelincir dalam kasus ini. Penyelundupan pasir timah umumnya dilakukan melalui laut dengan tiga tujuan utama. Pertama, pasir timah langsung dibawa ke Singapura atau Malaysia menggunakan kapal nelayan.
Kedua, diselundupkan dari Pelabuhan Muntok menyeberang ke Palembang lalu dibawa ke Jakarta dengan truk melalui jalur darat. Ketiga, barang selundupan dibawa keluar dari Pelabuhan Pangkal Balam di Bangka dengan truk menumpang kapal roro menuju Jakarta.
Dari pengamatan tim Sigi, truk pembawa timah atau biji timah lebih leluasa melalui jalur ini karena pemeriksaan terlihat sangat longgar. Menurut Letnan Kolonel Laut M. Zainuddin, Danlanal Bangka Belitung, pasir selundupan biasanya disamarkan dengan berbagai barang bekas, tong ikan, besi rongsokan, dan suku cadang kendaraan. "Modus terbaru dimasukkan ke dalam drum yang sudah dicampur dengan residu, sehingga petugas sulit mengendusnya," kata Zainuddin.
Tim Sigi juga berhasil menemui seorang penyelundup yang masih aktif menyelundupkan pasir ke Singapura dan Malaysia. Menurut dia, meski risikonya besar penyelundupan tetap akan terjadi sepanjang harga timah di luar negeri mencapai dua kali lipat harga dalam negeri.
Setiap kali pengiriman, minimal dia bisa membawa 50 ton pasir timah senilai enam miliar rupiah. Saat menjalankan aksi, dia mengaku selalu berkongsi dengan aparat nakal termasuk mengatur kapal yang harus dikorbankan untuk ditangkap petugas.
Apabila pengakuannya benar, keuntungan yang diterima aparat nakal berlipat-lipat. Soalnya, selain menerima upeti dari penyelundup, mereka juga memperoleh uang jasa dari PT Timah kalau berhasil menggagalkan penyelundupan. Komandan Lantamal Bangka Belitung tak membantah kemungkinan adanya aparat yang bermain mata dengan penyelundup. Namun, bukan dari jajarannya.
Industri tambah timah di Bangka memang menjadikan perekonomian warga menggeliat. Namun, sepanjang mata memandang bumi Bangka nyaris tinggal sisanya saja. Di sana-sini dijumpai lubang menganga bekas penambang.
Seperti, gundukan pasir bekas tambang PT Timah. Jaraknya hanya 200 meter dari pinggir Jalan Raya Parai Sungai Liat. Di lokasi lain, tim Sigi juga mendapati kerusakan yang tak jauh berbeda. Lokasinya tidak jauh dari kota Pangkalpinang.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Bangka Belitung, luas lahan yang rusak akibat pertambangan timah mencapai 400 ribu hektare, 100 ribu hektare di antaranya rusak parah.
Untuk mereklamasi lahan bekas tambang dibutuhkan dana hingga delapan triliun rupiah. Sementara PT Timah hanya mengalokasikan tak lebih dari separuhnya saja. Karenanya, seperti yang dikatakan Tunggul Pakpahan, Kepala Bapedalda Provinsi Bangka Belitung, dana yang dimiliki pihaknya sangat minim.
Melihat kerusakan lingkungan yang demikian parah, banyak pihak menilai sangat tidak sebanding dengan pendapatan atau royalti yang diterima pemerintah setempat. Tahun kemarin, warga Bangka Belitung hanya menerima royalti sekitar Rp 18 miliar atau 16 persen dari pendapatan pemerintah pusat yang mencapai Rp 1,1 triliun lebih. "Paling parah terjadi di Bangka Tengah. Di situ ada bekas penambangan PT Kobatin," kata Hendra Apollo, aktivis lingkungan hidup.
Melihat tren yang ada, tak ada tanda-tanda eksploitasi timah akan berhenti. Maklum, komoditi timah sedang naik daun seiring dengan harga di pasar dunia yang terus naik. Bahkan, pemerintah berusaha menggenjot pendapatan lebih dari komoditi strategis ini.
Salah satu buktinya adalah akan dicabutnya larangan memperdagangkan pasir timah antarpulau. Tim Sigi mendapati sebuah draf keputusan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2007 yang akan memperbolehkan kembali perdagangan pasir timah. Keputusan ini sempat menimbulkan kekhawatiran anggota DPRD Bangka Belitung dan para pengusaha karena akan melapangkan jalan penyelundupan biji timah.(IAN/Tim Sigi)
Pesona timah Bangka telah lama dikenal dunia. Bahkan, sejak Belanda mulai melirik pulau ini pada abad ke 18. Setelah Indonesia merdeka, penggalian timah sempat dikuasai negara. Namun, pada masa reformasi rakyat diizinkan untuk ikut mengeksploitasi.
Di Pulau Bangka terdapat ratusan bahkan ribuan penambang timah apung. Mereka tersebar di sepanjang garis pantai Pulau Serumpun Sebalai ini. Apabila setiap gubuk beroleh 50 kilogram pasir timah, maka kekayaan alam yang sudah tersedot mencapai puluhan ton.
Harga satu kilogram pasir timah di kalangan penambang saat ini mencapai Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu. Hitungan kasarnya, omzet para penambang apung bisa mencapai miliaran rupiah per hari. Alhasil, tak hanya warga Bangka yang kemudian berbondong-bondong menjadi penambang, pendatang dari berbagai daerah, seperti Makassar, Palembang, Medan, bahkan dari sejumlah kota di Pulau Jawa ikut mengeduk timah.
Tak sedikit dari mereka yang menjalankan usahanya secara turun-temurun. Ironisnya, para penambang ini tidak berizin alias ilegal. "Tapi kita tidak pernah ditangkap paling ditertibkan. Paling bayar uang untuk desa," kata Andi Datuk, pemilik penambang apung.
Gairah para penambang pasir timah ternyata tak hanya di pantai. Saat mengunjungi daerah Parit Enam di Pangkalpinang, belum lama ini, tim Sigi dengan mudah menemukan titik-titik penambang dengan mesin yang masih menderu.
Berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Bangka dan Belitung, jumlah tambang pasir timah di daerah ini mencapai 8.000 titik. Itu berarti ada sekitar 32 ribu orang yang terlibat dalam bisnis pasir timah ini. Dari ribuan perusahaan tambang rakyat atau tambang inkonvensional ini, hanya 300 yang memiliki izin resmi. Selebihnya dipastikan beroperasi secara ilegal, bahkan sebagian dari mereka menyerobot konsesi milik PT Timah
Kapolda Bangka Belitung Brigadir Jenderal Polisi Imam Sudjarwo mengaku, jumlah penambang kian hari terus bertambah. Untuk itu, polisi bersama instansi terkait terus berupaya menertibkannya agar mereka meminta izin kepada pemerintah daerah.
Bagi yang tak punya modal masih bisa berebut pasir timah. Caranya menjadi pelimbang, yakni mengais sisa pasir di bekas galian yang ditinggalkan begitu saja. Berbekal piring bekas, seorang pelimbang bisa mendapat pasir timah antara tiga hingga lima kilogram sehari.
Apabila diuangkan harganya sekitar Rp 90 ribu hingga Rp 150 ribu, jauh melebihi pendapatan buruh atau karyawan kantoran di kota. "Hampir seluruh hidup orang Bangka sangat tergantung kepada penambangan timah," kata Joko Santoso, yang mengaku sudah tinggal di pulau ini selama 13 tahun.
Biasanya penambang tak berizin menjual pasir hitam kepada para pengumpul yang banyak terserak di Pangkalpinang. Bahkan, menurut kesaksian, para pengumpul ini adalah mitra binaan atau perpanjangan tangan PT Timah, perusahaan peleburan timah pelat merah. Ada juga yang bermitra dengan PT Kobatin, perusahaan pasir timah yang sebagian sahamnya juga dimiliki PT Timah.
Para pengumpul inilah yang kemudian memberi pinjaman modal kepada para penambang rakyat. Hasil penambang tak berizin ini akhirnya masuk juga ke dapur peleburan milik negara. Tapi, kenyataan ini dibantah Abrun Abubakar, Kepala Humas PT Timah. "Kita akan tegur kalau ada mitra kita yang memasukkan barang ilegal," kata Abrun.
Sejak 2001 di Bangka memang bermunculan perusahaan peleburan timah swasta atau smelter. Sejak itu pula, para pengumpul banyak yang memilih menjual pasir timahnya ke smelter. Ini lantaran para pabrikan peleburan timah swasta ini berani membayar Rp 10 ribu lebih mahal dari harga timah yang dipatok perusahaan milik negara.
Apik Rasjidi, Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) mengaku, dengan cara itu perusahaan memang bisa mengeduk keuntungan, meski tipis. "Tapi secara menyeluruh ini menguntungkan rakyat karena kita mengambilnya dari warga," kata Apik.
Namun, kehadiran penambang rakyat dan smelter mulai ditertibkan karena hanya mengantongi izin dari bupati. Mereka tidak memiliki kuasa penambangan dan bukan eksportir terdaftar. Tindakan ini sempat memicu demonstrasi besar-besaran yang berujung anarki [baca: Demonstrasi Penambang Timah di Bangka Ricuh].
Pasca-Bangka kelabu, jumlah smelter tinggal 13 buah. Umumnya mereka yang tergabung dalam AITI dan sudah berizin. Namun, muncul masalah baru. Pasir timah asal Pulau Bangka banyak diselundupkan akibat produksi yang berlimpah. Produksi timah nasional saat ini mencapai 100 ribu metrik ton per tahun. Mayoritas berasal dari Pulau Bangka dan Belitung.
Terlebih, harga di pasar internasional jauh lebih tinggi, yakni Rp 127 ribu per kilogram. Sedangkan harga lokal hanya setengahnya. Karena itu, hampir setiap bulan ada saja kapal atau truk yang tertangkap aparat saat berusaha menyelundupkan timah dalam bentuk batangan atau pasir biji timah.
Berdasarkan data Dinas Hukum Pangkalan Utama TNI AL III, dalam tiga bulan terakhir aparat berhasil mengamankan 145 ton timah batangan dan 69 ton pasir timah. Apabila diuangkan mencapai Rp 18,6 miliar lebih. Kebanyakan timah diselundupkan melalui kapal penumpang, seperti Kapal Motor Tri Star II, KM Sentosa, KM Mekar Mandiri, dan KM Levina II. "Diperkirakan enam bulan ke depan kasus ini akan terulang," kata Laksamana Pertama M. Jurianto, Komandan Lantamal.
Belum lagi hasil operasi Polda Bangka Belitung yang selama bulan ini berhasil menggagalkan penyelundupan delapan balok timah dan 37 ton pasir timah. Kasus terbaru terjadi pada 12 Juni, saat sebuah kapal nelayan tertangkap ketika berusaha menyelundupkan lima ton pasir timah di Perairan Sadai, Bangka Selatan [baca: Lima Ton Pasir Timah Disita].
Pendek kata, di Pulau Bangka seakan tiada hari tanpa penyelundupan. Bahkan, sekelas PT Timah pun pernah tergelincir dalam kasus ini. Penyelundupan pasir timah umumnya dilakukan melalui laut dengan tiga tujuan utama. Pertama, pasir timah langsung dibawa ke Singapura atau Malaysia menggunakan kapal nelayan.
Kedua, diselundupkan dari Pelabuhan Muntok menyeberang ke Palembang lalu dibawa ke Jakarta dengan truk melalui jalur darat. Ketiga, barang selundupan dibawa keluar dari Pelabuhan Pangkal Balam di Bangka dengan truk menumpang kapal roro menuju Jakarta.
Dari pengamatan tim Sigi, truk pembawa timah atau biji timah lebih leluasa melalui jalur ini karena pemeriksaan terlihat sangat longgar. Menurut Letnan Kolonel Laut M. Zainuddin, Danlanal Bangka Belitung, pasir selundupan biasanya disamarkan dengan berbagai barang bekas, tong ikan, besi rongsokan, dan suku cadang kendaraan. "Modus terbaru dimasukkan ke dalam drum yang sudah dicampur dengan residu, sehingga petugas sulit mengendusnya," kata Zainuddin.
Tim Sigi juga berhasil menemui seorang penyelundup yang masih aktif menyelundupkan pasir ke Singapura dan Malaysia. Menurut dia, meski risikonya besar penyelundupan tetap akan terjadi sepanjang harga timah di luar negeri mencapai dua kali lipat harga dalam negeri.
Setiap kali pengiriman, minimal dia bisa membawa 50 ton pasir timah senilai enam miliar rupiah. Saat menjalankan aksi, dia mengaku selalu berkongsi dengan aparat nakal termasuk mengatur kapal yang harus dikorbankan untuk ditangkap petugas.
Apabila pengakuannya benar, keuntungan yang diterima aparat nakal berlipat-lipat. Soalnya, selain menerima upeti dari penyelundup, mereka juga memperoleh uang jasa dari PT Timah kalau berhasil menggagalkan penyelundupan. Komandan Lantamal Bangka Belitung tak membantah kemungkinan adanya aparat yang bermain mata dengan penyelundup. Namun, bukan dari jajarannya.
Industri tambah timah di Bangka memang menjadikan perekonomian warga menggeliat. Namun, sepanjang mata memandang bumi Bangka nyaris tinggal sisanya saja. Di sana-sini dijumpai lubang menganga bekas penambang.
Seperti, gundukan pasir bekas tambang PT Timah. Jaraknya hanya 200 meter dari pinggir Jalan Raya Parai Sungai Liat. Di lokasi lain, tim Sigi juga mendapati kerusakan yang tak jauh berbeda. Lokasinya tidak jauh dari kota Pangkalpinang.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Bangka Belitung, luas lahan yang rusak akibat pertambangan timah mencapai 400 ribu hektare, 100 ribu hektare di antaranya rusak parah.
Untuk mereklamasi lahan bekas tambang dibutuhkan dana hingga delapan triliun rupiah. Sementara PT Timah hanya mengalokasikan tak lebih dari separuhnya saja. Karenanya, seperti yang dikatakan Tunggul Pakpahan, Kepala Bapedalda Provinsi Bangka Belitung, dana yang dimiliki pihaknya sangat minim.
Melihat kerusakan lingkungan yang demikian parah, banyak pihak menilai sangat tidak sebanding dengan pendapatan atau royalti yang diterima pemerintah setempat. Tahun kemarin, warga Bangka Belitung hanya menerima royalti sekitar Rp 18 miliar atau 16 persen dari pendapatan pemerintah pusat yang mencapai Rp 1,1 triliun lebih. "Paling parah terjadi di Bangka Tengah. Di situ ada bekas penambangan PT Kobatin," kata Hendra Apollo, aktivis lingkungan hidup.
Melihat tren yang ada, tak ada tanda-tanda eksploitasi timah akan berhenti. Maklum, komoditi timah sedang naik daun seiring dengan harga di pasar dunia yang terus naik. Bahkan, pemerintah berusaha menggenjot pendapatan lebih dari komoditi strategis ini.
Salah satu buktinya adalah akan dicabutnya larangan memperdagangkan pasir timah antarpulau. Tim Sigi mendapati sebuah draf keputusan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2007 yang akan memperbolehkan kembali perdagangan pasir timah. Keputusan ini sempat menimbulkan kekhawatiran anggota DPRD Bangka Belitung dan para pengusaha karena akan melapangkan jalan penyelundupan biji timah.(IAN/Tim Sigi)