Sukses

Perburuan Lopa Demi Wahid

Kejaksaan dinilai tak bergigi selama dipimpin Marzuki Darusman. Presiden Wahid sengaja mengangkat Baharuddin Lopa untuk menangkap sejumlah konglemarat bermasalah. Sanggupkah Lopa?

Liputan6.com, Jakarta: Syahdan, suatu hari di Oktober silam, Abdurrahman Wahid yang baru terpilih menjadi Presiden bingung mencari sosok Jaksa Agung yang bersih dan berintegritas tinggi. Ia bertanya ke sana-sini perihal orang yang tepat untuk posisi tersebut. Setelah mendengar sejumlah saran dan menimbang-nimbang, akhirnya keluar satu nama yang tak asing dalam dunia hukum; Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H.

Pria kelahiran Desa Pambusung, Kabupaten Polewali Mamasa, Sulawesi Selatan, 27 Agustus, 66 tahun silam itu, dinilai tepat untuk menjadi bos di Kejaksaan Agung. Alasannya, Lopa adalah jaksa karir sejak 1962. Ia telah menjadi jaksa di Kejaksaan Negeri Ujung Pandang sejak 1959 dan Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Kalimantan Barat pada periode 1970-1980. Singkatnya, Lopa adalah orang yang tepat. Wahid pun tak keberatan dengan nama tersebut. Apalagi, ia telah berbincang-bincang dengan Lopa mengenai reformasi di bidang hukum. Nama ayah tujuh anak ini pun kontan mewarnai media massa yang memuat prediksi susunan kabinet.

Tak lama berselang, menjelang penyusunan kabinet, Lopa pun dikontak. Ia disuruh kembali ke Tanah Air untuk membantu Gus Dur. Namun, Lopa yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi tak langsung setuju. Ia menawarkan sejumlah persyaratan kepada Gus Dur. Satu alasan yang naik ke permukaan adalah Lopa meminta kebebasan penuh untuk memberantas korupsi. Artinya, ia akan menangkap siapa saja yang menurut hukum merugikan negara.

Ia juga meminta Wahid tak menghalangi langkah anak buahnya menjebloskan konglomerat bermasalah ke dalam penjara. Konon, usulan Lopa membuat Wahid terdiam. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu berpikir panjang tentang rencana Lopa. Pengumuman susunan kabinet pun akhirnya keluar tanpa nama Lopa. Menurut sejumlah kalangan, Wahid keberatan dengan usulan yang diajukan Lopa. Kendati begitu, Gus Dur tetap berharap Lopa mau membantu dirinya.

Niat Wahid terwujud juga. Februari silam, Lopa benar-benar menjadi pembantu Mr. Wahid. Namun, bukan sebagai Jaksa Agung, melainkan menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menggantikan Yusril Ihza Mahendra. Loba dibebani merapikan hakim-hakim nakal. Maklumlah, saat itu banyak putusan hakim yang tak masuk akal. Misalnya, korupsi Rp 100 juta di Makassar atau Medan hukumannya sampai lima tahun. Sedangkan korupsi di Jakarta yang berlipat-lipat atau dalam jumlah triliunan, hukumannya cuma dua tahun. "Ini kan merusak akal sehat," kata Lopa, gemas. Janji Lopa membenahi hukum sedikit mulai terbukti. Dia mengeluarkan Maklumat 12 Februari 2001. Dan, Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mohammad "Bob" Hasan yang tersandung kasus pemetaan hutan, ia lempar ke Nusa Kambangan. Banyak yang tercengang dengan tindakan Lopa, namun tak sedikit yang memuji langkah sarjana hukum jebolan Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1962 itu.

Tetapi, belum setengah tahun menjabat Menkeh dan HAM, Lopa dipindahkan Gus Dur ke Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan --Kantor Kejagung. Ia disuruh menggantikan Marzuki Darusman, yang dinilai tak becus mengusut konglomerat hitam. "Gus Dur resah karena Marzuki tak mampu membungkam Ginandjar Kartasasmita dan menangkap Arifin Panigoro," kata sumber www.liputan6.com di Kejagung. Selain itu, Wahid juga mulai jengkel dengan ulah sejumlah konglomerat yang dulu dilindunginya, tetapi kini mulai tak mempedulikannya. Di tangan Marzuki, konglomerat Sjamsul Nursalim, Prajogo Pangestu, dan Marimutu Sinivasan dibiarkan berkeliaran. Penanganan kasus hukum mereka terkesan main-main. Selain itu, Marzuki juga tak serius menuntaskan kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditias Bank Indonesia.

Penunjukan Lopa sebagai Jaksa Agung jelas membawa asa baru bagi masyarakat. Seperti halnya Gus Dur, masyarakat juga berharap agar Lopa menahan, Sjamsul, Prajogo, dan konglomerat lainnya. Desakan ini jelas membuat takut Sjamsul dan Prajogo. Sudah sepekan, keduanya menghilang dan tak terlihat di Tanah Air. Tersiar kabar, Lopa juga ditugaskan Wahid untuk memata-matai sepak terjang Taufiq Kiemas --suami Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Sebab, bukan rahasia lagi, selama Mega menjadi Wapres, Taufiq banyak melakukan berbagai praktik kotor. Dari sekadar makelar kasus, calo pejabat, hingga terlibat dalam bisnis "abu-abu". Taufiq disebut-sebut membela Sjamsul dalam kasus Dipasena.

Dia juga pernah berupaya membebaskan tersangka Baligate, Djoko S. Tjandra sewaktu masih ditahan. Yang paling mencolok, pembelaannya terhadap Marimutu Sinivasan dalam kasus Texmaco. Bahkan, kabarnya, tak sedikit orang yang berhasil menduduki jabatan eselon I dan II di lingkungan pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara berkat memo Taufiq. Sejatinya, di tengah mental dan kinerja pegawai kejaksaan yang payah, tugas Lopa kali ini benar-benar sangat berat. Apalagi, Indonesian Corruption Watch baru saja membeberkan 20 kasus korupsi kelas kakap yang belum dituntaskan Kejagung selama dipimpim Marzuki. Pada umumnya, kasus tersebut melibatkan pejabat Orde Baru, mantan Presiden Soeharto dan Siti Hardiyanti Rukmana.

Lopa tak tinggal diam. Beberapa hari setelah pelantikan, dia berjanji akan menghadapi sejumlah warisan itu. Dia juga berjanji akan melimpahkan sejumlah kasus korupsi dalam waktu dekat ini. "Prinsipnya dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, serta penuntutan, kejaksaan tak mengenal diskriminasi. Saya tak akan membeda-bedakan (kasus)," kata Lopa, serius.

Adalah Sjamsul Nursalim yang terkesan menjadi target pertama. Kamis pekan silam, Lopa telah meminta bantuan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Tokyo, Jepang, untuk mengecek keberadaan Sjamsul. Sebelumnya, Sjamsul yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana BLBI oleh Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sekitar Rp 7,28 triliun itu, sempat mendekam semalam di Rumah Tahanan Kejagung.

Namun, tanggal 17 April silam, dengan alasan sakit jantung, Sjamsul dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Dan, atas jaminan keluarga serta permohonan kuasa hukumnya, 29 Mei 2001, Kejagung mengizinkan mantan Direktur Utama PT Gajah Tunggal itu berobat ke Kokuro Memorial Hospital di Tokyo. "Kejaksaan memang mengizinkan Pak Sjamsul menjalani operasi jantung di Jepang," ujar Maqdir Ismail, kuasa hukum Sjamsul. Kendati begitu, Lopa tetap saja gusar. Ia mempertanyakan alasan pemilihan Jepang sebagai tempat berobat. Sebab, menurut Lopa, Sjamsul bisa berobat di Indonesia. "Pokoknya, bila dia (Sjamsul) tak ditemukan lagi, bisa diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan melarikan diri. Orang di penjara saja bisa lari, apalagi di rumah sakit," kata Lopa.

Seperti halnya Sjamsul, Prajogo yang diduga me-mark-up dana tanaman industri juga mulai hilang dari peredaran. Tak ada yang mengetahui keberadaannya hingga kini. Informasinya simpang siur. Ada yang menyatakan, ia masih di dalam negeri dan ada juga yang menyatakan ia sudah bertolak ke luar negeri. Untuk itu, Lopa memerintahkan Jaksa Agung Muda Intelijen Chalid Karim Leo mengecek keberadaan Prajogo. Menurut tim kuasa hukum Prajogo, kliennya masih berada di Jakarta. Namun, berdasarkan pengecekan langsung Chalid, Prajogo ternyata sudah bertolak ke Singapura, Rabu pekan silam. "Saya telah meminta KBRI di Singapura untuk mengecek kebenaran informasi tersebut," kata Lopa.

Berdasarkan bukti yang disodorkan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Soeripto, selama tahun 1990-1998, Prajogo telah merugikan negara Rp 330 miliar. Selain itu, Prajogo juga diduga menyelewengkan pencairan pinjaman dana reboisasi senilai Rp 66,9 miliar. Bukan jumlah yang sedikit, tentunya.

Membenahi penegakan hukum Indonesia yang carut-marut jelas bukan perkara gampang bagi Lopa. Walau, ia mempunyai track record bagus selama menjadi jaksa di daerah, Koordinator Badan Pekerja ICW Teten Masduki tetap pesimistis dengan penunjukan Lopa. Menurut Teten, bila Lopa ingin berhasil ia harus membersihkan kejaksaan dari jaksa-jaksa kotor dan sekaligus menarik batas yang tegas dengan kekuasaan. Dengan begitu, kejaksaan benar-benar independen dalam melakukan penegakan hukum. Persoalannya, sanggupkah Lopa melakukan itu semua? Kita lihat saja nanti.(ULF)