Sukses

Jagoan dari Kampus IPDN

Kekerasan ternyata belum hilang di benak para praja IPDN. Buktinya, kekerasan kembali dipertontonkan sebagai jalan penyelesaian masalah. Kekerasan demi kekerasan menunjukkan betapa IPDN gagal mendidik para prajanya.

Liputan6.com, Sumedang: Tragedi kematian Cliff Muntu sepertinya belum lekang dari ingatan banyak orang. Namun pada pekan ini tragedi itu terjadi lagi. Aksi kekerasan terulang. Tangan kekar dan tubuh kuat praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) kembali menelan korban. Kekerasan kali ini pun berakhir sama: kematian seorang anak manusia. Kali ini korbannya bernama Wendi Budiman, warga Dusun Ciawi yang masuk Kelurahan Cikeruh, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Wendi tewas setelah dihajar sejumlah mahasiswa atau praja IPDN sehari sebelumnya atau 21 Juli silam. Kepergian Wendi dilepas dengan isak tangis dan doa dari keluarga dan sanak saudara. Juga seluruh warga bangsa yang tegas menolak segala bentuk budaya kekerasan di sekolah pencetak pamong praja tersebut. Dan benarkah Wendi tewas karena pukulan para jagoan IPDN? Untuk sementara, arah penyidikan polisi menguatkan dugaan itu. "Lima orang statusnya kita tingkatkan sebagai tersangka. Terhadap tiga lainnya kita memerlukan pendalaman-pendalaman terhadap saksi lainnya," ucap Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Soenarko [baca: Lima Praja Menjadi Tersangka].

Kelima praja yang disangka menganiaya hingga tewasnya Wendi itu adalah Charles Sirait, Dedi Ariesta Parampasi, Wan Hendry, Nova Eka Putra, dan Fiter Rahmawan. Menurut polisi, kelima praja ini telah mengakui memukuli Wendi pada malam peristiwa itu. Kini mereka ditahan di Markas Kepolisian Resor Sumedang. Mereka pun terus menjalani proses penyidikan.

Syahdan, segala cerita kepedihan mendalam itu bermula di Jatinangor Town Square atau Jatos. Sabtu malam pekan silam, Wendi datang berlima untuk tujuan sama, yakni main biliar di lantai dua mal terbesar di Jatinangor. Tanpa diduga, sebuah keributan terjadi di lift. Wendi bersitegang dengan Gondo Widodo, purna praja yang bersama tiga alumnus IPDN lainnya, Megawati, Andi Irmayanti dan Bambang Probo, lebih dulu berada di dalam lift.

"Saya lihat pelakunya jatuhin rokok si korban, langsung dimatiin. Korban langsung marah," ungkap Yayan Setiawan, saksi sekaligus kawan Endi. Cekcok mulut itu berlanjut di luar lift, bahkan berubah menjadi perkelahian hebat. Ini setelah teman-teman wanita Gondo berlari meminta bantuan para praja yang tengah bermain biliar. Wendi pun dipukuli beramai-ramai. "Kurang lebih 15 orang," kata Yayan, saksi lainnya.

Dan beberapa hari setelah kasus ini terekspos media massa secara luas, Rektor IPDN Johanis Kaloh mengizinkan Gondo dan kawan-kawan untuk menuturkan cerita versi praja di depan para wartawan. Belakangan, bahkan ada versi baru. Sebelum perkelahian terjadi, Wendi cs dikatakan mencoba melakukan pelecehan seksual terhadap Megawati, teman serombongan Gondo. "Karena mereka dalam keadaan mabuk, mereka sempoyongan. Jadi gerakannya mengarah, mendekati kepada kami dengan mengoceh yang tidak jelas," kata Megawati [baca: Tiga Purna Praja Melaporkan Kasus Pelecehan Seksual].

Rektor IPDN pun menyatakan pihaknya tidak akan menutup mata atas kematian Wendi. "Kami akan menegakkan peraturan kehidupan praja itu. Kami juga tidak akan membela," ujar Johanis. Akan tetapi, Johanis menekankan, bila para praja itu terbukti hanya membela diri dan tidak ada rencana berbuat seperti itu, berbagai kalangan harus memahaminya. "Masyarakat harus memahami kondisi ini sehingga tidak merusak masa depan mereka (para tersangka)," ujar Johanis, berharap.

Namun, sudut pandang Adrianus Meliala berbeda. Menurut Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, para praja itu tetap tak bisa menghindar dari jerat hukum meski juga mengalami kekerasan. "Masa cuma hanya temannya dijahili, mereka kemudian membunuh," ucap Adrianus. Kriminolog ini pun menilai para praja itu memang terbiasa dalam kekerasan kolektif. Mereka juga tak bisa meletakkan kekerasan secara proporsional.

Kini, proses hukum terus berjalan. Dan pihak pengadilan-lah yang nantinya akan memutuskan nasib para jagoan dari Kampus IPDN itu. Walau demikian boleh dibilang, belum hilang jelaga lama, kini sudah ditambah jelaga baru pula. Dengan kata lain, citra hitam sekolah calon pamong atau pengayom masyarakat itu kian menebal.

Adapun bayang kesedihan menyelimuti keluarga Ibo Rohman. Doa dan tahlil dipanjatkan sanak dan kerabat dekat keluarga tersebut sepanjang pekan ini. Seminggu sudah, Wendi pergi untuk selamanya dari keluarga ini. Kepada tim Sigi, Ibo menyatakan tak mampu menyembunyikan rasa sesalnya manakala mengingat saat-saat menjelang kepergian Wendi.

Wendi Budiman adalah anak kedua dari enam bersaudara pasangan Ibo Rahman dan Eti. Dibanding kakak dan adiknya, Wendi memiliki sifat sedikit pemarah. Tapi di mata keluarganya, Wendi tetaplah anak yang pendiam dan penurut. Dan keluhuran sikap Wendi adalah pengertian dan rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap adik-adiknya. Lelaki ini bahkan rela keluar dari bangku sekolah teknik menengah dan memilih menjadi tukang ojek agar adik-adiknya bisa bersekolah.

Di kalangan sesama tukang ojek, Wendi memang dikenal memiliki sifat keras. Hanya sejauh ini belum pernah ada masalah, terlebih sampai muncul perkelahian. Menurut sejumlah rekan, sesekali muncul sikap iseng Wendi menggoda penumpang perempuannya. Namun itu sebatas bertanya, tak pernah berani berlebihan, apalagi sampai melecehkan. Wendi pun sabar menunggu penumpang dengan sepeda motor kreditannya dari pagi hingga malam tiba.

Wendi memiliki empat adik. Dua adik masih duduk di bangku sekolah dasar, satu di sekolah menengah atas, dan seorang lagi sedang menunggu pengumuman hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru atau SPMB. Mereka sekarang kehilangan sang kakak tempat bergantung banyak hal. "Seorang pekerja keras, dan tulang punggung bagi keluarga," ucap ayah Wendi dengan wajah masih terbalut duka mendalam.

Selain keluarga, kepergian Wendi juga sangat dirasakan sang tunangan, Mimin Carminah. Betapa tidak, Agustus nanti pasangan itu akan melangsungkan pernikahan. Kini segala tentang Wendi tinggal kenangan setelah maut menjemputnya. Dan di sebuah pekuburan desa di Jatinangor, saat ini jasad Wendi beristirahat tenang. Diiringi doa dan ziarah keluarga dan orang-orang tercintanya.

Wendi bukanlah korban kekerasan yang pertama. Dan sejarah Kampus IPDN adalah sejarah hitam pendidikan kedinasan di negeri ini. Kesan inilah yang begitu melekat di benak masyarakat. Apalagi banyak fakta sulit terbantahkan. Sejumlah mahasiswa cacat fisik, trauma, bahkan meninggal dunia akibat tindak kekerasan oleh senior mereka di kampus bentukan Orde Baru tersebut.

Tembok kekerasan mungkin masih bercokol sangat kuat di kampus ini. Sekadar mengutip buku IPDN Undercover tulisan dosen IPDN sendiri, Inu Kencana Syafei, sejumlah praja memang telah menjadi korban kekerasan di kampus ini. Mulai dari praja Gatot yang meninggal pada tahun 1994. Ery Rahman tahun 2000, praja Aliyan yang dimakamkan tak jauh dari kampus. Praja Wahyu Hidayat yang tewas setelah dianiaya 10 seniornya. Dan terakhir, tewasnya praja Cliff Muntu, April silam [baca: STPDN=IPDN, Mendidik atau Menyiksa?].

Ironisnya pada setiap kasus kekerasan yang berujung kematian, seluruh penghuni kampus ini seolah satu suara: bungkam. Dan belum usai proses hukum kasus Cliff, kini muncul korban baru, yakni Wendi Budiman. Sepertinya IPDN belum sedikit pun berubah. Padahal, mereka telah berjanji sendiri untuk menghilangkan budaya main pukul dan kekerasan fisik. Perubahan itu pula yang direkomendasikan tim evaluasi IPDN pimpinan Ryaas Rasyid [baca: Ryaas Rasyid: Perlu Pemimpin dan Manajemen Baru].

Melihat sejumlah kasus kekerasan yang menonjol, banyak pihak mendesak IPDN sepatutnya dibubarkan saja. Alasannya, kampus ini dibiayai uang rakyat atau anggaran negara senilai Rp 150 miliar per tahun. Ternyata, tak hanya kekerasan di kampus. Berbagai perilaku miring praja IPDN di luar kampus kerap terdengar dan menjadi bahan pemberitaan. Sebut saja tindak asusila, seks bebas, mabuk-mabukan dan mengonsumsi narkotika sering diperbuat sejumlah praja tingkat akhir yang memang diizinkan tinggal di luar kampus.

Ibarat kuda lepas dari kandang. Memang, tak sedikit dari praja lantas lepas kontrol. Kesaksian warga di sekitar kamar kos sejumlah praja, misalnya. Sebagai bukti, sejumlah warga pun menunjukkan botol-botol minuman berkadar alkohol tinggi. Bahkan, para praja yang suka mabuk itu membeli minuman keras yang tergolong mahal bagi kocek preman setempat.

Berkaca pada sejumlah fakta, maka tak cukuplah kiranya jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menyetop penerimaan mahasiswa baru selama setahun ke depan. Juga tidak cukup hanya dengan tak menghadiri upacara wisuda IPDN beberapa hari mendatang. Dan cukup sudah rakyat bersabar menunggu keputusan.(ANS/Tim Sigi)

    EnamPlus