Sukses

EPA Diharapkan Memacu Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia dan Jepang menandatangani kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi. Namun, ekonom Aviliani menilai kerja sama kedua negara hanya akan berhenti di atas kerja bila instrumen pendukung tidak diperbaiki.

Liputan6.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Jakarta, Senin (20/8), menandatangani kesepakatan ekonomi yang disebut Economic Partnership Agreement atau EPA. Diharapkan MoU (memorandum of understanding) ini menjadi salah satu instrumen pertumbuhan ekonomi 6,8 persen pada 2008 [baca: Indonesia-Jepang Meningkatkan Hubungan Ekonomi] http://liputan6.com/news/?id=146339&c_id=4.

Bagi Indonesia, MoU ini bisa meningkatkan akses pasar barang ke Jepang lebih 20 persen dari total ekspor saat ini, yakni US$ 21 miliar. Selain itu, perjanjian ini juga akan meningkatkan investasi yang berarti terbukanya lapangan kerja baru.

Sedangkan bagi Jepang, Indonesia adalah negara terbesar tujuan ekspor di ASEAN. MoU ini juga akan memberi kepastian hukum dalam berinvestasi. Bahkan, kepastian pasokan energi mentah untuk Jepang, seperti gas alam cair (LNG). Sebab, selama ini pabrikan di Jepang sangat tergantung dengan pasokan LNG dari Indonesia.

Namun, menurut Aviliani, ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), kerja sama ini hanya menjadi bahan di atas kertas bila instrumen pendukungnya tidak diperbaiki. Seperti masalah ketenagakerjaan hingga administrasi yang menyulitkan.

 Selama kurun waktu 2006 produk pertanian, perikanan, dan perkebunan Indonesia di Jepang menjadi pangsa pasar terbesar, yakni mencapai US$ 919 juta. Yang lain di antaranya alas kaki sebesar US$ 118 juta, kayu dan produk olahan US$ 1,17 juta miliar, karet US$ 971 juta, plastik US$ 380 juta, nikel US$ 1,38 miliar, alumunium US$ 449 juta, serta furniture US$ 204 juta.

Sementara investasi utama Jepang di Indonesia meliputi mesin listrik dan elektronik yang mencapai US$ 2,83 miliar. Sedangkan kendaraan dan peralatan transportasi US$ 1,64 miliar, industri mineral dan nonmetalik US$ 862 juta, kimia dan obat-obatan US$ 780 juta, serta perdagangan dan reparasi US$ 661 juta.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)