Sukses

Yang Miskin, Silakan Minggir

Sebelas ribu lebih warga miskin di Ibu Kota yang mendiami kolong Tol Pluit harus hengkang dalam pekan ini. Yang melawan, pastilah bakal digusur paksa, seperti dialami para penghuni kolong tol di Sungai Bambu, Tanjungpriok, Jakut.

Liputan6.com, Jakarta: Bongkar paksa. Langkah keras ini akhirnya ditempuh Pemerintah Kota Jakarta Utara, Jumat pekan ini. Satu per satu bangunan semipermanen milik warga miskin di kolong tol di kawasan Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakut, ini dirobohkan paksa. Kali ini tanpa ampun dan kompromi lagi. Petugas menyatakan, sudah lebih dari sepekan warga penghuni kolong tol ini diberi kesempatan untuk membongkar sendiri rumah-rumah mereka. Peringatan yang dinilai tak mendapat tanggapan sepadan oleh warga [baca: Permukiman Warga Kolong Tol Sungai Bambu Digusur].

Pembongkaran paksa hunian di kolong tol tersebut diwarnai isak tangis para bocah dan ibu yang tak mengira secepat itu petugas datang dan membongkar paksa rumah mereka. Pembongkaran paksa ini dilaksanakan setelah sehari sebelumnya, warga di kolong tol Sungai Bambu menyatakan akan nekat bertahan. Mereka pun menolak pemindahan ke rumah susun yang disiapkan pemerintah. Termasuk mengabaikan pemberian uang pembongkaran senilai satu juta rupiah setiap rumah atau kepala keluarga. Bahkan, mereka sempat menyiapkan bambu runcing untuk menghadang petugas [baca: Uang Kerohiman Ditolak, Bambu Runcing Disiapkan].

Warga kolong tol Sungai Bambu adalah bagian dari sekitar 11 ribu warga miskin Ibu Kota yang bermukim di kolong Jalan Tol Pluit sepanjang 20 kilometer. Mereka mendiami kolong di sepanjang ruas Tol Tanjungpriok-Penjaringan di tiga kecamatan, yaitu Tanjungpriok, Pademangan, dan Penjaringan. Rata-rata dari mereka adalah para pedagang kaki lima, pemulung sampah, buruh kasar, dan para pengamen jalanan. Rumah-rumah warga kolong statusnya adalah ilegal karena dibangun di bawah jalan bebas hambatan yang tanahnya milik negara di bawah penguasaan Departemen Pekerjaan Umum.

Keberadaan mereka menjadi sorotan setelah ratusan rumah di kolong tol Jembatan Tiga terbakar pada Mei silam dan berulang di Agustus lalu. Akibat kebakaran, saat itu jalan tol lumpuh. Gardu tol Jembatan Tiga juga hangus oleh api. Pun demikian lalu lintas di tol itu, macet hingga beberapa hari kemudian. Praktis, perekonomian Jakarta terganggu. Adapun biaya perbaikan jalan tol yang terbakar diperkirakan mencapai Rp 40 miliar [baca: Ratusan Rumah Terbakar, Tol Bandara Ditutup].

Pascakebakaran hebat itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lalu diminta untuk membersihkan seluruh kolong tol dari rumah-rumah warga. Untuk itu Pemerintah Kota Jakarta Utara menganggarkan dana Rp 11 miliar lebih guna membayar ganti rugi rumah-rumah petak warga kolong tol. Dana itu sebagian ditalangi PT Citra Marga Nushapala Persada (CMNP) selaku pengelola Jalan Tol Pluit. Bagi warga yang memiliki kartu tanda penduduk disediakan rumah susun (rusun) sewaan di Marunda, Kapuk Muara, dan Parung Panjang.

Namun, mayoritas penghuni tol menolak dipindah ke rumah susun karena mengaku tak sanggup membayar sewa bulanan yang mencapai Rp 90 ribu hingga Rp 170 ribu per bulan. Apalagi, rusun yang disiapkan menjauhkan warga dari mata pencaharian mereka. Di satu sisi, warga melawan dengan cara mereka masing-masing. Di sisi berbeda, pemerintah menargetkan sebelum Ramadan tiba, kolong tol sudah bersih dari rumah-rumah petak liar yang membahayakan jalan bebas hambatan maupun para penghuninya sendiri [baca: Penghuni Kolong Jembatan Harus Digusur].

Pada pekan ini, belasan ribu warga miskin yang tinggal di kolong Tol Pluit harus hengkang. Yang melawan, pastilah bakal digusur paksa, seperti dialami warga Sungai Bambu. Mengapa penggusuran menjadi jalan akhir aparat negara? Dan seperti apa permainan bisnis gelap lahan kolong tol selama ini? Dan bagaimana solusi pemanfaatan kolong tol demi kepentingan pelayanan publik? Untuk lebih jelasnya, simak penelusuran tim Sigi dalam tayangan video kami.(ANS/Tim Sigi SCTV)

    Video Terkini