Liputan6.com, Banda Aceh: Tepat tiga tahun silam, sempa dan tsunami melanda Bumi Serambi Mekah, Nangroe Aceh Darussalam. Dibalik musibah tersebut, keberadaan early warning system atau sirene peringatan dini tsunami ternyata mampu menyadarkan warga Banda Aceh dan Aceh Besar akan datangnya bahaya.
Namun, alarm tsunami yang dipasang di berbagai sudut Kota Banda Aceh dan Aceh Besar kini kondisinya nyaris tak terawat. Dari pantauan SCTV, belum lama ini, meski dari luar nampak bagus, belum bisa dipastikan alat itu diperiksa setiap saat.
Sekarang warga mengaku paham jika sirene berbunyi. Itu artinya mereka harus segera menyelamatkan diri karena tsunami bisa sewaktu-waktu terjadi. Namun, mereka tidak bisa membedakan cara penyelamatan diri secara khusus. Mereka hanya mengikuti arah lari warga lain tanpa mempertimbangkan daerah itu aman atau tidak.
Advertisement
Tahun silam, alarm ini pernah berbunyi akibat kerusakan teknis yang menyebabkan kepanikan. Setelah diperbaiki, tidak diketahui persis apakah alarm itu masih berfungsi dengan baik atau tidak.
Sementara itu, kisah kehidupan anak-anak Aceh yang bertahan setelah wilayahnya porak poranda diterjang tsunami tak sedikit jumlahnya. Hingga kini mereka masih harus berjuang mengembalikan sisa-sisa semangatnya untuk menapak hari depan yang lebih baik.
Walaupun operasi pembersihan berlangsung cepat, bekas-bekas tsunami masih tersisa. Anak-anak seperti Remon mencari puing-puing kapal yang tidak dapat dipindahkan dan menjadikannya tempat bermain baru. Tapi bagi yang lainnya, kapal-kapal itu adalah simbol kesedihan mereka.
Tanker ini, misalnya. Kapal itu terbawa air sejauh enam kilometer masuk ke daratan dan menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. Kapal ini berhenti tepat di atas rumah Karim sehingga ia dan keluarganya kehilangan tempat tinggal.
Cerobong asap hitam khas tanker mendominasi langit daerah itu sejak terdampar. Kapal itu terlalu besar untuk dipindahkan dan menjadi monumen peringatan bencana yang telah mereka alami. Bagi Karim, kedatangan tanker tersebut merupakan berkah, juga cobaan.
Karim kemudian menuturkan peristiwa yang menimpa keluarganya. Menurut dia, melihat banyak orang berlari, dia pun ikut berlari. Mereka sempat terperangkap di dalam rumah karena tidak tahu harus pergi kemana. "Kami terkunci di dalam. Air menjadi sangat tinggi sampai kepala kami menyentuh plafon rumah," kata Karim.
Untungnya, kata Karim, air tidak bertambah tinggi, jika tidak mereka pasti sudah mati. Tak berapa lama, air surut dan seseorang mendobrak pintu dan menyelamatkan mereka. Kini perjuangan keluarganya dalam mendapatkan kompensasi atas rumah mereka yang hancur direkam Karim dalam sebuah video diary [baca: TIGA TAHUN TSUNAMI].
Proyek video diary UNICEF memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengekpresikan cita-cita mereka dan membantu memfokuskan diri pada masa depan. Kamera mereka memberi kesempatan menangkap momen berharga dan mengalihkannya dari kenangan buruk yang ingin dilupakan. Bagaiman kisah Karim selengkapnya, ikuti kisahnya di video ini.(IAN/Tim Liputan 6 SCTV)