Liputan6.com, Kalimantan Kalangan internasional lebih mengenal Kalimantan dengan sebutan Borneo. Pulau terbesar ketiga di dunia ini merupakan kawasan eksotis yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang tak ternilai. Bahkan, para ahli biologi menemukan kurang lebih 11 ribu spesies tumbuhan dan satwa di daerah ini. Wajar saja, jika Kalimantan menjadi universitas alam yang mengundang banyak ahli dari penjuru jagat untuk mengamati beragam tumbuhan dan satwa di sana.
Kalimantan memang unik. Karena terletak di garis katulistiwa, daerah ini menjadi prototipe kawasan hujan tropik yang paling ekstrem. Perpaduan curah hujan yang tinggi dan sengatan matahari yang dalam waktu tertentu mencapai titik 0 derajat di atas kepala, mengakibatkan wilayah ini ditumbuhi belantara hutan primer dan ratusan sungai besar dan kecil yang hampir tak pernah kering airnya.
Di tengah alam yang belum semua tersentuh itu, hidup sekelompok masyarakat yang telah mendiami tanah itu sejak ratusan tahun lampau. Selama itu, mereka mengembangkan sistem budaya yang diadopsi dari kedekatan kelompok pada hutan, sungai, dan gejala-gejala alam. Komunitas etnis tertua di wilayah itu disebut suku Dayak.
Hingga kini, belum ada catatan sejarah yang mencatat asal-usul etnis tersebut. Secara fisik, Dayak masuk dalam ras Mongoloid dengan perpaduan ciri antara orang Cina dan Melayu. Meski begitu, masyarakat setempat meyakini etnis Dayak sebagai kelompok tertua yang sering diidentifikasi sebagai penduduk asli Kalimantan.
Walau sepintas memiliki khas budaya yang sama, etnis Dayak tergolong dalam beberapa kelompok suku. Masing-masing suku mempunyai bahasa yang berbeda. Dayak Kenyah, Dayak Ot Danum, Dayak Punan, Dayak Iban, Klemantan, Ngaju, dan Kayan adalah rumpun terbesar dari kelompok etnis ini. Nama suku tersebut diambil berdasarkan nama daerah atau sungai yang mereka tempati.
Suku Dayak hidup dalam klan-klan kecil keluarga luas dan tinggal dalam sebuah rumah panjang. Suku Dayak Kenyah menyebut rumah panjang itu Uma Dadog. Sedangkan suku Dayak lain umumnya menamai pemukiman itu Lamin. Sebuah Lamin didirikan secara bergotong royong sebagai tempat tinggal bersama yang bisa dihuni hingga ratusan jiwa. Namun, seiring peradaban, beberapa keluarga mulai memilih untuk tinggal dalam satu kelompok keluarga inti. Kendati begitu, Lamin tetap dibangun dan berfungsi sebagai pusat kegiatan adat.
Sebagian besar dari masyarakat asli Kalimantan masih hidup dengan cara-cara tradisional, mulai dari berburu, meramu, hingga berladang. Semua kegiatan dilakukan dengan menggunakan mandau, alat utama untuk bekerja. Dahulu, benda tajam itu dijadikan senjata untuk membabat musuh pada waktu perang. Hampir di setiap kampung, setidaknya selalu ada satu atau dua pembuat mandau. Parang ini menjadi identitas etnis yang paling menonjol. Sebab, setiap lelaki Dayak wajib memiliki mandau untuk menjaga keyakinan diri mereka.
Sejauh ini, orang Dayak masih menganut animisme dan dinamisme. Beberapa suku menyebutnya Kaharingan. Kepercayaan turun temurun ini meyakini bahwa alam sekitar dipenuhi makhluk-makhluk halus dan roh-roh yang tinggal di setiap benda, seperti pohon, sungai, dan batu. Orang Dayak percaya, roh nenek moyang akan menjaga mereka dari gangguan makhluk-makhluk halus yang jahat.
Kepercayaan itu membuat mereka mengeramatkan beberapa binatang seperti burung Enggang. Penghormatan itu ditunjukkan dalam tari Enggang yang dilenggokkan kaum perempuan suku Dayak. Bagi suku Dayak, burung Enggang membawa pesan-pesan alam yang berhubungan dengan roh nenek moyang. Burung Enggang diyakini menjadi wahana bagi roh yang telah meninggal untuk mencapai surga.(TNA/Tim Potret SCTV)
Kalimantan memang unik. Karena terletak di garis katulistiwa, daerah ini menjadi prototipe kawasan hujan tropik yang paling ekstrem. Perpaduan curah hujan yang tinggi dan sengatan matahari yang dalam waktu tertentu mencapai titik 0 derajat di atas kepala, mengakibatkan wilayah ini ditumbuhi belantara hutan primer dan ratusan sungai besar dan kecil yang hampir tak pernah kering airnya.
Di tengah alam yang belum semua tersentuh itu, hidup sekelompok masyarakat yang telah mendiami tanah itu sejak ratusan tahun lampau. Selama itu, mereka mengembangkan sistem budaya yang diadopsi dari kedekatan kelompok pada hutan, sungai, dan gejala-gejala alam. Komunitas etnis tertua di wilayah itu disebut suku Dayak.
Hingga kini, belum ada catatan sejarah yang mencatat asal-usul etnis tersebut. Secara fisik, Dayak masuk dalam ras Mongoloid dengan perpaduan ciri antara orang Cina dan Melayu. Meski begitu, masyarakat setempat meyakini etnis Dayak sebagai kelompok tertua yang sering diidentifikasi sebagai penduduk asli Kalimantan.
Walau sepintas memiliki khas budaya yang sama, etnis Dayak tergolong dalam beberapa kelompok suku. Masing-masing suku mempunyai bahasa yang berbeda. Dayak Kenyah, Dayak Ot Danum, Dayak Punan, Dayak Iban, Klemantan, Ngaju, dan Kayan adalah rumpun terbesar dari kelompok etnis ini. Nama suku tersebut diambil berdasarkan nama daerah atau sungai yang mereka tempati.
Suku Dayak hidup dalam klan-klan kecil keluarga luas dan tinggal dalam sebuah rumah panjang. Suku Dayak Kenyah menyebut rumah panjang itu Uma Dadog. Sedangkan suku Dayak lain umumnya menamai pemukiman itu Lamin. Sebuah Lamin didirikan secara bergotong royong sebagai tempat tinggal bersama yang bisa dihuni hingga ratusan jiwa. Namun, seiring peradaban, beberapa keluarga mulai memilih untuk tinggal dalam satu kelompok keluarga inti. Kendati begitu, Lamin tetap dibangun dan berfungsi sebagai pusat kegiatan adat.
Sebagian besar dari masyarakat asli Kalimantan masih hidup dengan cara-cara tradisional, mulai dari berburu, meramu, hingga berladang. Semua kegiatan dilakukan dengan menggunakan mandau, alat utama untuk bekerja. Dahulu, benda tajam itu dijadikan senjata untuk membabat musuh pada waktu perang. Hampir di setiap kampung, setidaknya selalu ada satu atau dua pembuat mandau. Parang ini menjadi identitas etnis yang paling menonjol. Sebab, setiap lelaki Dayak wajib memiliki mandau untuk menjaga keyakinan diri mereka.
Sejauh ini, orang Dayak masih menganut animisme dan dinamisme. Beberapa suku menyebutnya Kaharingan. Kepercayaan turun temurun ini meyakini bahwa alam sekitar dipenuhi makhluk-makhluk halus dan roh-roh yang tinggal di setiap benda, seperti pohon, sungai, dan batu. Orang Dayak percaya, roh nenek moyang akan menjaga mereka dari gangguan makhluk-makhluk halus yang jahat.
Kepercayaan itu membuat mereka mengeramatkan beberapa binatang seperti burung Enggang. Penghormatan itu ditunjukkan dalam tari Enggang yang dilenggokkan kaum perempuan suku Dayak. Bagi suku Dayak, burung Enggang membawa pesan-pesan alam yang berhubungan dengan roh nenek moyang. Burung Enggang diyakini menjadi wahana bagi roh yang telah meninggal untuk mencapai surga.(TNA/Tim Potret SCTV)