Liputan6.com, Jakarta: Rencana pelaksanaan Sidang Istimewa MPR, 1 Agustus mendatang, mempunyai nilai politis yang amat kental. Sebab skenario yang hangat beredar, di ajang itulah posisi Presiden Abdurrahman Wahid bakal bergeser ke tangan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Lantas, kursi wapres akan dibiarkan melompong? Tentu tidak. Lantaran itulah muncul sejumlah kandidat, bak jamur di musim hujan. Sejumlah parpol dan kalangan masyarakat berlomba mengelus jago. Mereka berharap, pilihannya bisa terpilih menjadi orang nomor dua di negeri ini.
Di mata pengamat politik Indria Samego, kemunculan wacana sejumlah calon Wapres adalah wujud tumbuh suburnya iklim demokrasi. Kendati begitu, sosok yang pantas dan layak masih harus mempunyai kriteria dasar: memahami dunia politik, tanpa dipersoalkan ihwal latar belakangnya. Jadi, semua kalangan bebas mengakomodir keinginan yang kebetulan berjalan seiring dengan prinsip demokratisasi.
Maka tersebutlah nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan yang belum lama ini dicopot Presiden Wahid. Menurut berita yang diterima lelaki kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 itu dari mulut Presiden, dia diminta mundur, lantaran desakan kuat dari rakyat dan kalangan luar negeri.
Pria yang memulai karirnya dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Darat di Magelang pada 1970, dan lulus tiga tahun kemudian ini, diberi opsi menjadi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah atau menempati posisi Agum Gumelar, sebagai Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi. Entah mengapa, pada saat itu juga, bekas Panglima Daerah Militer termuda -dalam sejarah Pangdam di negeri ini- menolak secara lisan.
Mungkin, lulusan terbaik Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada 1989 dan langsung melanjutkan pendidikan militernya di Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS dan rampung pada 1991 ini punya alasan. Namun, lelaki yang menjalani SD hingga SMA di kota kelahirannya itu menyatakan, telah mengirimkan surat penolakan resmi tersebut kepada Presiden dengan tembusan ke Wapres Megawati.
SBY adalah potret profil perwira tinggi ABRI modern generasi muda. Tentara yang disebut-sebut reformis ini pernah bertugas di pasukan tempur, di lingkungan staf, pendidikan, dan teritorial. Buktinya, di tingkat IV AKABRI, dia terpilih sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, yang membawahkan 3.000 taruna dari semua resimen (darat, laut, udara, dan kepolisian). Perwira yang dikenal memiliki kemampuan bernegosiasi strategis itu juga memperoleh enam bintang penghargaan, antara lain di bidang intelijensia, kepribadian, dan mental.
Suami Kristiani Herawati, putri ketiga almarhum Jenderal (Purn.) TNI Sarwo Edhi Wibowo, yang dikaruniai dua anak itu juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Namun, posisi itu tak bertahan lama, lantaran setelah berlangsungnya Sidang Tahunan 2000, Presiden Wahid mengangkat dia sebagai Menko Polsoskam.
Hingga tahun 1996, pria berambut kelimis, berpakaian necis, dan berperangai tenang ini tak memiliki rumah pribadi. SBY menetap di rumah dinasnya di Kompleks Pertahanan dan Keamanan, Cibubur, Jakarta Timur. Bekas dosen Seskoad selama tiga tahun dan berakhir tahun 1992 itu juga diganjar penghargaan Bintang Adi Makayasa, simbol lulusan terbaik Akabri. Selama 23 tahun berada di jajaran militer, peraih gelar MA dari Management Webster University, Missouri, AS itu pernah bergonti-ganti 18 posisi.
Bakal calon berikutnya adalah Yusril Ihza Mahendra. Nama bekas Menteri Hukum dan Perundang-undangan dalam Kabinet Persatuan Nasional itu pun masuk keranjang kandidat pengganti Megawati. Untuk urusan politik, lelaki kelahiran Belitung, 5 Februari 1956 itu juga bukan orang baru. Yang paling bersentuhan langsung dengan posisi orang nomor satu, Pengurus Himpunan Mahasiswa Indonesia Cabang Jakarta itu pernah menjabat sebagai konseptor teks pidato Presiden Soeharto.
Sosok yang menghabiskan pendidikan dasar di Manggar, Belitung ini, juga mafhum betul soal hukum ketatanegaraan. Kebolehan tersebut diraihnya dalam tempaan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jurusan Hukum Tata Negara (1976-1983), Fakultas Sastra UI, Jurusan Falsafat (1979-1982), dan Fakultas Pasca Sarjana UI, Bidang Hukum dan Ilmu Pengetahuan Islam (1984). Masih belum cukup, Yusril melanjutkan pendidikannya di Grauate School of Humanities and Social Science, University of The Punjab (1985) dan Institute of Post Graduate Studies, Universiti Sains Malaysia (1990-1993). Lantaran itulah, dia direkrut menjadi staf pengajar Fakultas Hukum UI (1984-sekarang).
Ilmu dan agama, tampaknya memang menjadi kawan seiring yang tak boleh terpisahkan buat seorang Yusril. Filosofi itu menggiring dia sibuk menjadi anggota di berbagai kegiatan pendidikan. Mulai dari anggota staf Peneliti Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (1990-1992), staf pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta (1983-1989), staf pengajar Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman RI, staf pengajar Program Pasca-Sarjana UI, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas Jayabaya. Belakangan, Yusril juga dinobatkan menjadi Guru Besar Madya Hukum Tata Negara FHUI.
Kesuksesan menjadi guru, membuka jalan mulus ke bangku politik negara. Dia didaulat menjadi Ketua Tim Ahli Bidang Hukum, Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi DPR-RI (1993-1994), dan staf Sekretariat Negara RI. Terhitung sejak 1997, Yusril diangkat menjadi anggota MPR RI Utusan Golongan Cendekiawan. Pada tahun yang sama juga, dia dipilih menjadi anggota Tim Dampak Globalisasi, Dewan Riset nasional.
Dunia politik tentu penuh sikut kanan dan kiri. Demi menjaga visi dan misi, Yusril bersama sejumlah pemikir mendirikan Partai Bulan Bintang. Di sini, dia dikukuhkan menjadi ketua umum partai, hingga sekarang. Pada 1999, lelaki yang acap tampil rapi itu diangkat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Sayang, tiga tahun kemudian, dia dipecat.
Sosok arif penuh pengertian direbut bakal calon selanjutnya, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Pranoto Gomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X Ing Ngayogyokarto Hadiningrat, alias Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggantikan Sri Paku Alam VIII itu juga masuk kandidat wapres. Kebetulan, pribadi anak lelaki tertua Hamengku Buwono IX yang dikenang dengan kredo kekuasaan: "Tahta untuk Rakyat" itu, memang dekat dengan rakyat. Meski menjadi "atasan", lelaki kelahiran Yogyakarta, 2 Maret 1946 itu tetap bisa berangkulan dengan wong cilik.
Raja Yogya yang semasa kecil bernama Herjuno Derpito ini adalah seorang lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kini, dalam karir politik, ayah lima anak yang semuanya perempuan itu tengah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya DIY. Namun dalam kiprahnya, suami Kanjeng Gusti Ratu Hemas yang dikenal sebagai muslim yang taat tersebut, seakan lebih memposisikan diri sebagai penengah. Status itu dipegang teguh, terutama bila melihat sesuatu melenceng, dan mesti diperbaiki.
HB X bisa dibilang juga menyandang predikat konglomerat. Maklum saja, dia mewarisi 20 perusahaan di lingkungan Grup Hamengku Buwono, peninggalan ayahnya. Aset Grup Hamengku Buwono mencapai Rp 1,5 triliun pada 1993. Termasuk di dalamnya, dua perusahaan pribadi HB IX: PT Punakawan dan PT Herda Carter Indonesia.
Dari kelompok Iramasuka (Irianjaya, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan), sejumlah nama kandidat mengalir deras. Yang paling santer adalah lelaki kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, Hamzah Has. ketua umum hasil keputusan Muktamar IV Partai Persatuan Pembangunan ini juga bukan muka baru. Yang menarik, lelaki taat beribadah, tawadu (rendah hati), dan murah senyum dalam berpolitik itu adalah bekas orang Nahdlatul Ulama.
Pria berusia 61 tahun pada 15 Februari silam itu juga sosok yang paling gemar berorganisasi, bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama. Aktivitas itu berlanjut setingkat kemudian, tatkala menjabat posisi Ketua Ikatan Pelajar SMEA Ketapang. Selang beberapa waktu, Hamzah bergerak naik, menjadi pendiri cabang GP (Gerakan Pemuda) Ansor Ketapang. Padahal ayahnya, Abdul Achmad, adalah mantan Ketua Masyumi Ketapang yang bergabung dalam Partai Muslimin Indonesia.
Sebenarnya, di benak Hamzah muda, tak pernah terbersit buat menjadi politikus. Bahkan sejak jauh hari, bekas Menteri Penggerak Dana Investasi/Kepala BKKPM (1998) di era Presiden B.J. Habibie ini bercita-cita menjadi pengusaha. Tak heran bila kemudian bekas wartawan harian Bebas Pontianak (1960-1962) ini masuk ke Akademi Koperasi Negara Yogyakarta (1962) usai SMEA. Di kurun waktu yang sama, Hamzah merangkap menjadi SMA Ketapang. Niat pada dunia ekonomi masih dilanjutkan lewat Universitas Tanjungpura pada Fakultas Ekonomi. Di kampus ini juga, suami dua perempuan itu pernah menjadi asisten dosen (1965-1970).
Namun selangkah demi selangkah, Hamzah mulai terbawa ke panggung politik. Dia ikut bergabung dengan PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) dan menjadi ketua komisariat koperasi, dan menduduki posisi Ketua Wilayah PMII Kalbar, hingga 1970. Di tengah waktu, ayah selusin anak itu ikut barisan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di masa pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Di era itu juga, Hamzah didaulat menjadi anggota DPRD Kalbar. Itu terjadi saat penikmat masakan ikan ini menjabat wakil ketua DPW NU Kalbar, dan pada Pemilu 1971, NU mendapat jatah satu kursi di DPR.
Berkat dasar ilmu ekonomi, penerima gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas di Singapura itu kerap kali mengaku mesti duduk di komisi urusan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Anggota Fraksi Partai Pembangunan ini juga pernah menduduki posisi sebagai anggota Badan Pemeriksa Induk Koperasi Kopra Indonesia, hingga beberapa tahun kemudian menjadi menteri di bidang ekonomi.
Masih dari Iramasuka, meluncur juga sosok Ahmad Arnold Baramuli. Lelaki kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 20 Juli 1930 itu juga muka lama, terutama di era Orde Baru. Berbagai organisasi kerap dimasuki Baramuli. Mulai dari zaman Presiden Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, hingga di saat Gus Dur memimpin.
Juara kedua lulusan sekolah pamongpraja, Middelbare Bestuurschool, seperti Middelbare Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) itu melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Di dunia kampus, lantaran menonjol, Baramuli diangkat menjadi Ketua Mahasiswa Jakarta. Berbagai kegiatan pun mulai semakin digeluti, di antaranya menjadi pendiri majalah mahasiswa Forum.
Ilmu hukumlah yang kemudian menggiring Naldi -panggilan akrab Baramuli- menjadi ketua II Persatuan Jaksa-Jaksa (1957-1960). Tak lama dia diangkat menjadi kepala Kejaksaan Makasar. Kiprahnya langsung melejit ketika mulai masuk ke kalangan pejabat negara, ketika menjadi sekretaris Jaksa Agung Soeprapto dalam era Kabinet Burhanuddin. Bahkan dia juga sempat mewakili jaksa agung menjadi anggota tim pemberantasan korupsi semasa Presiden Sukarno, meski usianya belum 30 tahun.
Lelaki yang senantiasa berpenampilan necis cenderung pesolek itu juga diangkat menjadi pengawas jaksa tinggi wilayah Sulawesi dan tentara untuk Indonesia Timur. Di posisi ini, Naldi dianugerahi pangkat tituler (kehormatan) Letnan Kolonel, karena menjadi jaksa penuntut umum di mahkamah militer.
Naldi memproklamirkan diri sebagai seorang nasionalis republiken, anti-Pemberontakan Semesta, yang notabene setia pada Presiden Sukarno. Atas pengabdiannya, penggemar musik klasik dan gesekan biola Idris Sardi ini dilantik menjadi gubernur Sulawesi Utara (1960-1962) ketika berumur 29 tahun. Naldi muda bertugas membentuk provinsi di wilayah itu.
Kiprah ayah empat anak dari istrinya Albertina Kaunang (dosen UI, Pancasila, Atma Jaya, dan Universitas Kristen Indonesia) pun berjalan mulus, terutama setelah dipercaya menjadi anggota Dewan Nasional (sekarang Dewan Pertimbangan Agung) yang bertugas memberikan nasihat kepada presiden. Namun penggemar olah raga tenis, yang pernah juga ikut karate, suka yoga, mendaki gunung, dan sesekali main golf itu melaju menjadi penasihat Menteri Dalam Negeri (1970-1973). Jabatan koordinator Badan Pusat Koordinasi Perusahaan Negara dan staf ahli di era Amir Machmud pun pernah didudukinya bapak 10 orang anak angkat ini.
Anggota F-KP di DPR RI sejak 1972 ini juga dikenal sebagai pengusaha sukses dengan rumah mewah di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Namun presiden komisaris kelompok perusahaan keluarga: Grup Poleko, itu kini mengaku hanya sebagai pemegang saham. Perusahaannya sendiri bergerak di bidang perdagangan umum, penggilingan padi, karung goni, bahan baku tekstil, tepung kelapa, dan bahan kimia. Anak perusahaan grup tadi berkembang tak kurang dari 17 buah. Satu produknya adalah sampo merek Kao dan sabun cuci Attack.
Urutan Iramasuka berikutnya adalah Ryaas Rasyid. Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara yang mengundurkan diri dari kabinet Presiden Wahid ini, juga orang lama di kabinet pemerintahan RI. Pria kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1949 yang satu ini merilis karir sebagai Lurah Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Ujungpandang dan mantri polisi merangkap Wakil Camat Mariso di usianya 23 tahun pada 1972.
Guru besar dan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) (1995) itu pernah menjadi Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Departemen Dalam Negeri (1998). Saat mengaplikasikan ilmunya, kader Golkar bernomor urut 011901 itu dikenal kemudian sebagai konseptor Otonomi Daerah dan arsitek Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otda.
Struktur pemerintahan memang menjadi permainan sehari-hari buat anak kedua dari 18 bersaudara ini. Buktinya, lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) itu diakui sebagai pencetus usul agar lembaga inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilebur menjadi sebuah badan audit independen yang lebih bertenaga. Sayang, ide tadi kandas di tengah jalan, lantaran tak disetujui pimpinan.
Peraih doktor ilmu politik dari Universitas Hawaii, AS (1994) dan peraih gelar MA dari Northern Illinois University, AS ini sempat menduduki posisi konsultan bidang politik dan pemerintahan di Balitbang Depdagri (1982). Saat itu pencinta buku dengan 14 ribu judul buku di perpustakaan pribadinya merangkap tugas sebagai ketua tim penulisan pidato Mendagri (1984).
Penggemar olahraga renang yang amat menggemari masakan khas Makassar ini menikahi Andi Farida pada tahun 1972 dan memiliki seorang putri tunggal. Bagi dosen luar biasa di STIA-LAN Ujungpandang ini, dia tak mau terlibat dalam wacana calon wapres. Alasannya jelas, pengarang lima buku tentang pemerintahan dan politik itu berseberangan pandang dengan Gus Dur, yang masih menduduki kursi kepresidenan.
Bekas Wakil Kepala Sub-Dinas Pajak Kota Madya Ujungpandang (1978) itu hanya berpesan. Ada syarat yang mesti dipenuhi cawapres bila terjadi pergantian kepemimpinan pasca-SI MPR. Pertama mesti didukung partai Islam, lantas mampu mengatur pemerintahan, dan yang terpenting, harus memiliki emosi orang di luar Jawa. Alasannya, selama ini, daerah di luar Jawa sangat terkebelakang di segala bidang dan menjadi sumber separatis. Terakhir, tambah dia, cawapres harus mampu mengakomodasikan keinginan seluruh rakyat Indonesia.(BMI)
Di mata pengamat politik Indria Samego, kemunculan wacana sejumlah calon Wapres adalah wujud tumbuh suburnya iklim demokrasi. Kendati begitu, sosok yang pantas dan layak masih harus mempunyai kriteria dasar: memahami dunia politik, tanpa dipersoalkan ihwal latar belakangnya. Jadi, semua kalangan bebas mengakomodir keinginan yang kebetulan berjalan seiring dengan prinsip demokratisasi.
Maka tersebutlah nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan yang belum lama ini dicopot Presiden Wahid. Menurut berita yang diterima lelaki kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 itu dari mulut Presiden, dia diminta mundur, lantaran desakan kuat dari rakyat dan kalangan luar negeri.
Pria yang memulai karirnya dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Darat di Magelang pada 1970, dan lulus tiga tahun kemudian ini, diberi opsi menjadi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah atau menempati posisi Agum Gumelar, sebagai Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi. Entah mengapa, pada saat itu juga, bekas Panglima Daerah Militer termuda -dalam sejarah Pangdam di negeri ini- menolak secara lisan.
Mungkin, lulusan terbaik Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada 1989 dan langsung melanjutkan pendidikan militernya di Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS dan rampung pada 1991 ini punya alasan. Namun, lelaki yang menjalani SD hingga SMA di kota kelahirannya itu menyatakan, telah mengirimkan surat penolakan resmi tersebut kepada Presiden dengan tembusan ke Wapres Megawati.
SBY adalah potret profil perwira tinggi ABRI modern generasi muda. Tentara yang disebut-sebut reformis ini pernah bertugas di pasukan tempur, di lingkungan staf, pendidikan, dan teritorial. Buktinya, di tingkat IV AKABRI, dia terpilih sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, yang membawahkan 3.000 taruna dari semua resimen (darat, laut, udara, dan kepolisian). Perwira yang dikenal memiliki kemampuan bernegosiasi strategis itu juga memperoleh enam bintang penghargaan, antara lain di bidang intelijensia, kepribadian, dan mental.
Suami Kristiani Herawati, putri ketiga almarhum Jenderal (Purn.) TNI Sarwo Edhi Wibowo, yang dikaruniai dua anak itu juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Namun, posisi itu tak bertahan lama, lantaran setelah berlangsungnya Sidang Tahunan 2000, Presiden Wahid mengangkat dia sebagai Menko Polsoskam.
Hingga tahun 1996, pria berambut kelimis, berpakaian necis, dan berperangai tenang ini tak memiliki rumah pribadi. SBY menetap di rumah dinasnya di Kompleks Pertahanan dan Keamanan, Cibubur, Jakarta Timur. Bekas dosen Seskoad selama tiga tahun dan berakhir tahun 1992 itu juga diganjar penghargaan Bintang Adi Makayasa, simbol lulusan terbaik Akabri. Selama 23 tahun berada di jajaran militer, peraih gelar MA dari Management Webster University, Missouri, AS itu pernah bergonti-ganti 18 posisi.
Bakal calon berikutnya adalah Yusril Ihza Mahendra. Nama bekas Menteri Hukum dan Perundang-undangan dalam Kabinet Persatuan Nasional itu pun masuk keranjang kandidat pengganti Megawati. Untuk urusan politik, lelaki kelahiran Belitung, 5 Februari 1956 itu juga bukan orang baru. Yang paling bersentuhan langsung dengan posisi orang nomor satu, Pengurus Himpunan Mahasiswa Indonesia Cabang Jakarta itu pernah menjabat sebagai konseptor teks pidato Presiden Soeharto.
Sosok yang menghabiskan pendidikan dasar di Manggar, Belitung ini, juga mafhum betul soal hukum ketatanegaraan. Kebolehan tersebut diraihnya dalam tempaan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jurusan Hukum Tata Negara (1976-1983), Fakultas Sastra UI, Jurusan Falsafat (1979-1982), dan Fakultas Pasca Sarjana UI, Bidang Hukum dan Ilmu Pengetahuan Islam (1984). Masih belum cukup, Yusril melanjutkan pendidikannya di Grauate School of Humanities and Social Science, University of The Punjab (1985) dan Institute of Post Graduate Studies, Universiti Sains Malaysia (1990-1993). Lantaran itulah, dia direkrut menjadi staf pengajar Fakultas Hukum UI (1984-sekarang).
Ilmu dan agama, tampaknya memang menjadi kawan seiring yang tak boleh terpisahkan buat seorang Yusril. Filosofi itu menggiring dia sibuk menjadi anggota di berbagai kegiatan pendidikan. Mulai dari anggota staf Peneliti Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (1990-1992), staf pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta (1983-1989), staf pengajar Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman RI, staf pengajar Program Pasca-Sarjana UI, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas Jayabaya. Belakangan, Yusril juga dinobatkan menjadi Guru Besar Madya Hukum Tata Negara FHUI.
Kesuksesan menjadi guru, membuka jalan mulus ke bangku politik negara. Dia didaulat menjadi Ketua Tim Ahli Bidang Hukum, Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi DPR-RI (1993-1994), dan staf Sekretariat Negara RI. Terhitung sejak 1997, Yusril diangkat menjadi anggota MPR RI Utusan Golongan Cendekiawan. Pada tahun yang sama juga, dia dipilih menjadi anggota Tim Dampak Globalisasi, Dewan Riset nasional.
Dunia politik tentu penuh sikut kanan dan kiri. Demi menjaga visi dan misi, Yusril bersama sejumlah pemikir mendirikan Partai Bulan Bintang. Di sini, dia dikukuhkan menjadi ketua umum partai, hingga sekarang. Pada 1999, lelaki yang acap tampil rapi itu diangkat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Sayang, tiga tahun kemudian, dia dipecat.
Sosok arif penuh pengertian direbut bakal calon selanjutnya, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Pranoto Gomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X Ing Ngayogyokarto Hadiningrat, alias Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggantikan Sri Paku Alam VIII itu juga masuk kandidat wapres. Kebetulan, pribadi anak lelaki tertua Hamengku Buwono IX yang dikenang dengan kredo kekuasaan: "Tahta untuk Rakyat" itu, memang dekat dengan rakyat. Meski menjadi "atasan", lelaki kelahiran Yogyakarta, 2 Maret 1946 itu tetap bisa berangkulan dengan wong cilik.
Raja Yogya yang semasa kecil bernama Herjuno Derpito ini adalah seorang lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kini, dalam karir politik, ayah lima anak yang semuanya perempuan itu tengah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya DIY. Namun dalam kiprahnya, suami Kanjeng Gusti Ratu Hemas yang dikenal sebagai muslim yang taat tersebut, seakan lebih memposisikan diri sebagai penengah. Status itu dipegang teguh, terutama bila melihat sesuatu melenceng, dan mesti diperbaiki.
HB X bisa dibilang juga menyandang predikat konglomerat. Maklum saja, dia mewarisi 20 perusahaan di lingkungan Grup Hamengku Buwono, peninggalan ayahnya. Aset Grup Hamengku Buwono mencapai Rp 1,5 triliun pada 1993. Termasuk di dalamnya, dua perusahaan pribadi HB IX: PT Punakawan dan PT Herda Carter Indonesia.
Dari kelompok Iramasuka (Irianjaya, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan), sejumlah nama kandidat mengalir deras. Yang paling santer adalah lelaki kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, Hamzah Has. ketua umum hasil keputusan Muktamar IV Partai Persatuan Pembangunan ini juga bukan muka baru. Yang menarik, lelaki taat beribadah, tawadu (rendah hati), dan murah senyum dalam berpolitik itu adalah bekas orang Nahdlatul Ulama.
Pria berusia 61 tahun pada 15 Februari silam itu juga sosok yang paling gemar berorganisasi, bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama. Aktivitas itu berlanjut setingkat kemudian, tatkala menjabat posisi Ketua Ikatan Pelajar SMEA Ketapang. Selang beberapa waktu, Hamzah bergerak naik, menjadi pendiri cabang GP (Gerakan Pemuda) Ansor Ketapang. Padahal ayahnya, Abdul Achmad, adalah mantan Ketua Masyumi Ketapang yang bergabung dalam Partai Muslimin Indonesia.
Sebenarnya, di benak Hamzah muda, tak pernah terbersit buat menjadi politikus. Bahkan sejak jauh hari, bekas Menteri Penggerak Dana Investasi/Kepala BKKPM (1998) di era Presiden B.J. Habibie ini bercita-cita menjadi pengusaha. Tak heran bila kemudian bekas wartawan harian Bebas Pontianak (1960-1962) ini masuk ke Akademi Koperasi Negara Yogyakarta (1962) usai SMEA. Di kurun waktu yang sama, Hamzah merangkap menjadi SMA Ketapang. Niat pada dunia ekonomi masih dilanjutkan lewat Universitas Tanjungpura pada Fakultas Ekonomi. Di kampus ini juga, suami dua perempuan itu pernah menjadi asisten dosen (1965-1970).
Namun selangkah demi selangkah, Hamzah mulai terbawa ke panggung politik. Dia ikut bergabung dengan PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) dan menjadi ketua komisariat koperasi, dan menduduki posisi Ketua Wilayah PMII Kalbar, hingga 1970. Di tengah waktu, ayah selusin anak itu ikut barisan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di masa pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Di era itu juga, Hamzah didaulat menjadi anggota DPRD Kalbar. Itu terjadi saat penikmat masakan ikan ini menjabat wakil ketua DPW NU Kalbar, dan pada Pemilu 1971, NU mendapat jatah satu kursi di DPR.
Berkat dasar ilmu ekonomi, penerima gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas di Singapura itu kerap kali mengaku mesti duduk di komisi urusan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Anggota Fraksi Partai Pembangunan ini juga pernah menduduki posisi sebagai anggota Badan Pemeriksa Induk Koperasi Kopra Indonesia, hingga beberapa tahun kemudian menjadi menteri di bidang ekonomi.
Masih dari Iramasuka, meluncur juga sosok Ahmad Arnold Baramuli. Lelaki kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 20 Juli 1930 itu juga muka lama, terutama di era Orde Baru. Berbagai organisasi kerap dimasuki Baramuli. Mulai dari zaman Presiden Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, hingga di saat Gus Dur memimpin.
Juara kedua lulusan sekolah pamongpraja, Middelbare Bestuurschool, seperti Middelbare Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) itu melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Di dunia kampus, lantaran menonjol, Baramuli diangkat menjadi Ketua Mahasiswa Jakarta. Berbagai kegiatan pun mulai semakin digeluti, di antaranya menjadi pendiri majalah mahasiswa Forum.
Ilmu hukumlah yang kemudian menggiring Naldi -panggilan akrab Baramuli- menjadi ketua II Persatuan Jaksa-Jaksa (1957-1960). Tak lama dia diangkat menjadi kepala Kejaksaan Makasar. Kiprahnya langsung melejit ketika mulai masuk ke kalangan pejabat negara, ketika menjadi sekretaris Jaksa Agung Soeprapto dalam era Kabinet Burhanuddin. Bahkan dia juga sempat mewakili jaksa agung menjadi anggota tim pemberantasan korupsi semasa Presiden Sukarno, meski usianya belum 30 tahun.
Lelaki yang senantiasa berpenampilan necis cenderung pesolek itu juga diangkat menjadi pengawas jaksa tinggi wilayah Sulawesi dan tentara untuk Indonesia Timur. Di posisi ini, Naldi dianugerahi pangkat tituler (kehormatan) Letnan Kolonel, karena menjadi jaksa penuntut umum di mahkamah militer.
Naldi memproklamirkan diri sebagai seorang nasionalis republiken, anti-Pemberontakan Semesta, yang notabene setia pada Presiden Sukarno. Atas pengabdiannya, penggemar musik klasik dan gesekan biola Idris Sardi ini dilantik menjadi gubernur Sulawesi Utara (1960-1962) ketika berumur 29 tahun. Naldi muda bertugas membentuk provinsi di wilayah itu.
Kiprah ayah empat anak dari istrinya Albertina Kaunang (dosen UI, Pancasila, Atma Jaya, dan Universitas Kristen Indonesia) pun berjalan mulus, terutama setelah dipercaya menjadi anggota Dewan Nasional (sekarang Dewan Pertimbangan Agung) yang bertugas memberikan nasihat kepada presiden. Namun penggemar olah raga tenis, yang pernah juga ikut karate, suka yoga, mendaki gunung, dan sesekali main golf itu melaju menjadi penasihat Menteri Dalam Negeri (1970-1973). Jabatan koordinator Badan Pusat Koordinasi Perusahaan Negara dan staf ahli di era Amir Machmud pun pernah didudukinya bapak 10 orang anak angkat ini.
Anggota F-KP di DPR RI sejak 1972 ini juga dikenal sebagai pengusaha sukses dengan rumah mewah di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Namun presiden komisaris kelompok perusahaan keluarga: Grup Poleko, itu kini mengaku hanya sebagai pemegang saham. Perusahaannya sendiri bergerak di bidang perdagangan umum, penggilingan padi, karung goni, bahan baku tekstil, tepung kelapa, dan bahan kimia. Anak perusahaan grup tadi berkembang tak kurang dari 17 buah. Satu produknya adalah sampo merek Kao dan sabun cuci Attack.
Urutan Iramasuka berikutnya adalah Ryaas Rasyid. Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara yang mengundurkan diri dari kabinet Presiden Wahid ini, juga orang lama di kabinet pemerintahan RI. Pria kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1949 yang satu ini merilis karir sebagai Lurah Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Ujungpandang dan mantri polisi merangkap Wakil Camat Mariso di usianya 23 tahun pada 1972.
Guru besar dan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) (1995) itu pernah menjadi Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Departemen Dalam Negeri (1998). Saat mengaplikasikan ilmunya, kader Golkar bernomor urut 011901 itu dikenal kemudian sebagai konseptor Otonomi Daerah dan arsitek Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otda.
Struktur pemerintahan memang menjadi permainan sehari-hari buat anak kedua dari 18 bersaudara ini. Buktinya, lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) itu diakui sebagai pencetus usul agar lembaga inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilebur menjadi sebuah badan audit independen yang lebih bertenaga. Sayang, ide tadi kandas di tengah jalan, lantaran tak disetujui pimpinan.
Peraih doktor ilmu politik dari Universitas Hawaii, AS (1994) dan peraih gelar MA dari Northern Illinois University, AS ini sempat menduduki posisi konsultan bidang politik dan pemerintahan di Balitbang Depdagri (1982). Saat itu pencinta buku dengan 14 ribu judul buku di perpustakaan pribadinya merangkap tugas sebagai ketua tim penulisan pidato Mendagri (1984).
Penggemar olahraga renang yang amat menggemari masakan khas Makassar ini menikahi Andi Farida pada tahun 1972 dan memiliki seorang putri tunggal. Bagi dosen luar biasa di STIA-LAN Ujungpandang ini, dia tak mau terlibat dalam wacana calon wapres. Alasannya jelas, pengarang lima buku tentang pemerintahan dan politik itu berseberangan pandang dengan Gus Dur, yang masih menduduki kursi kepresidenan.
Bekas Wakil Kepala Sub-Dinas Pajak Kota Madya Ujungpandang (1978) itu hanya berpesan. Ada syarat yang mesti dipenuhi cawapres bila terjadi pergantian kepemimpinan pasca-SI MPR. Pertama mesti didukung partai Islam, lantas mampu mengatur pemerintahan, dan yang terpenting, harus memiliki emosi orang di luar Jawa. Alasannya, selama ini, daerah di luar Jawa sangat terkebelakang di segala bidang dan menjadi sumber separatis. Terakhir, tambah dia, cawapres harus mampu mengakomodasikan keinginan seluruh rakyat Indonesia.(BMI)