Liputan6.com, Bandung: Kebudayaan tak harus mati oleh perkembangan zaman. Hal itu yang ditunjukkan Satria Yanuar Akbar, yang mengembangkan Saung Angklung Udjo di Bandung, Jawa Barat. Cerita berawal dari kecintaan almarhum Udjo Ngalagena terhadap seni dan budaya Sunda. Pak Udjo, seniman dan pendidik itu selalu membagi keahlian bermain angklungnya kepada anak-anak sekitar, termasuk 10 orang anaknya.
Saung Angklung Udjo pun terus berkembang dengan bisnis utamanya pertunjukan dan produksi angklung. Setiap pekan, saung ini mendatangkan 300 wisatawan mancanegara.
Tahun 2006 adalah babak baru bagi Saung Angklung Udjo, yaitu dengan diangkatnya Satria Yanuar Akbar sebagai direktur operasional. Strategi baru diterapkan, menggabungkan komersialisme dan idealisme sang pendiri.
Untuk memproduksi 19 ribu angklung per bulannya, saung ini menerapkan pola kemitraan dengan penduduk sekitar. Atas kiprahnya memberdayakan masyarakat Bandung dalam bidang seni budaya dan mengembangkan industri kecil, saung ini memperoleh Danamon Award.
Kalau para turis mancanegara saja menyukai angklung sebagai tradisi asli Indonesia, sudah seharusnya bangsa Indonesia juga memelihara dan melestarikannya. Jangan sampai nada-nada indah dari angklung diakui bangsa lain. Cukup sudah pengalaman buruk dengan Reog Ponorogo yang sempat diakui Malaysia sebagai tradisi aslinya.(ADO/Riko Anggara dan Suhanda)