Sukses

Inkuisisi?

Inilah babak baru kasus Al Qiyadah Al Islamiyah. Akhir pekan lalu, Ahmad Mushaddeq mengucap dua kalimat syahadat. Bedanya, kali ini Mushaddeq tak lagi mendapuk diri sebagai rasul.

Inilah babak baru kasus Al Qiyadah Al Islamiyah. Akhir pekan lalu, Ahmad Mushaddeq mengucap dua kalimat syahadat. Bedanya, kali ini Mushaddeq tak lagi mendapuk diri sebagai rasul.
 
Berturut-turut kemudian, ratusan pengikutnya di Semarang melakukan tobat massal dan mengaku kembali ke jalan yang benar. Sulit bagi kita untuk mengukur, apakah pertobatan ini murni karena kesadaran sendiri, atau tak tahan dengan tekanan yang begitu berat.
 
Setelah mengaku sebagai rasul baru, tekanan bertubi memang datang ke arah Mushaddeq dan pengikutnya. Vila mereka di Bogor dirusak massa, Mushaddeq juga terpaksa mengungsi pergi dari rumah sekaligus markasnya, bahkan belakangan menyerahkan diri kepada polisi. Lebih mencemaskan lagi peristiwa di Sleman, Yogyakarta, saat sekelompok orang yang mengatasnamakan kebenaran, menginterogasi dan menyiksa enam mahasiswa pengikut Al Qiyadah.

Kita tak sedang membela Mushaddeq atau Al Qiyadah. Tapi kita patut cemas, atas munculnya kekerasan atas nama agama, entah yang bersifat telanjang atau subtil. Belum hilang dari ingatan, saat ratusan pengikut Jamaah Ahmadiyah di beberapa daerah  mengaku bertobat.

Dalam kasus Ahmadiyah, polanya hampir sama. Pertama-tama muncul cap sesat, yang diikuti intimidasi bahkan penyerbuan massa di beberapa tempat. Setelah itu, barulah polisi bergerak. Bukannya menangkap pelaku kekerasan, polisi justru memenjarakan orang-orang yang dianggap sesat. Pada pengujung cerita, mereka membuat pernyataan tertulis di depan pemuka agama yang isinya tak akan lagi mengikuti aliran sesat dan kembali ke jalan yang benar.

Praktik seperti ini mengingatkan kita pada inkuisisi di Eropa abad pertengahan. Caranya kurang lebih sama, ada institusi (saat itu gereja Katolik) yang punya otoritas moral menentukan siapa benar dan siapa sesat. Ada pula kelompok milisi sipil yang di lapangan bergerak mengintimidasi. Saat itu, heretic atau pembangkangan terhadap doktrin gereja mainstream, dianggap sebagai kejahatan melawan negara, dan pelakunya dihukum lewat pengadilan sipil.
 
Di Spanyol pada 1478, inkuisisi dimulai dengan memaksa kelompok diaspora Yahudi berpindah agama. Dua puluh lima tahun kemudian, korban inkuisisi adalah para pemeluk Islam. Terakhir, giliran penganut Prostestan yang dianggap sesat dipaksa kembali ke ajaran Vatikan. Salah seorang inkuisitor yang dikenal paling bengis saat itu adalah TomÃs de Torquemada, yang menghukum mati ribuan orang karena punya keyakinan berbeda dengan gereja.
 
Film Goya`s Ghost (Milos Forman, 2006) menggambarkan ironi di balik praktik inkuisisi ala abad pertengahan. Pelukis terkenal Spanyol Fransisco Jose de Goya yang juga menjadi korban inkuisisi karena lukisannya yang dianggap sensual oleh gereja menjadi tokoh sentral. Film ini menceritakan sepak terjang Brother Lorenzo (diperankan dengan gemilang oleh Javier Bardem), seorang tokoh "The Holy Office of The Inquisition" di Madrid, yang punya kuasa bertindak atas nama Tuhan menghukum mereka yang dianggap bid`ah, termasuk memenjarakan dan menyiksa seorang perempuan Yahudi.

Ironi datang ketika kekuasan gereja runtuh oleh revolusi Prancis. Lorenzo, berbalik menjadi orang kepercayaan Napoleon Bonaparte dengan tugas baru: menghukum orang-orang yang dianggap tak beriman pada revolusi. Kali ini, korban inkuisisi adalah kawan-kawannya dulu sesama pastor atau pengikut setia gereja. Lewat film ini, kita diingatkan akan datangnya bahaya, jika kebenaran dimonopoli oleh mereka yang berkuasa (baca: mayoritas).
 
Indonesia abad-21 jelas berbeda dengan Spanyol abad pertengahan. Konstitusi kita memisahkan negara dari kekuasaan agama. Tapi masalah muncul karena dalam praktiknya negara sering tidak bersikap netral. Aparatus negara kerap berpihak pada kelompok mayoritas.
 
Kita boleh bangga sebagai satu-satunya negara muslim terbesar yang sukses dengan jalan demokrasi. Paling tidak jika diukur lewat pemilihan presiden dan kepala daerah yang berlangsung demokratis. Tapi, apakah demokrasi prosedural saja cukup? Bagaimana dengan hak-hak sipil temasuk kebebasan beragama? Kita tentu tak ingin disebut sebagai negara yang masih membiarkan terjadinya inkuisisi, praktik yang sudah berabad lamanya ditinggalkan negara-negara beradab di dunia.
 

Andy Budiman
Jurnalis SCTV
    Video Terkini