Waktu berlalu. 2008 menjadi sejarah, sesuatu yang berada di belakang. Penting untuk dikenang. Tapi energi mestinya jauh lebih banyak dialokasikan untuk menatap ke depan, ke hamparan masa yang kita sebut "2009,” tahun penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden. Inilah tahun politik, tahun ketika kita terkepung hiruk-pikuk lontaran janji para politisi.
Janji memang identik dengan kaum politisi. Itu sebabnya, di situs jejaring sosial Facebook, pengamat politik Eep Saefullah Fatah membangun komunitas “Para Penagih Janji.” Ia menulis di note-nya, komunitas ini hendak menggalang diri dan lingkungan terdekat untuk memilih atau tak memilih secara bertanggung jawab serta menjadi penagih janji yang aktif hingga pemilu berikutnya.
Menurut Eep, penggalangan ini perlu lantaran tugas dan kewajiban warga negara tak berakhir setelah pemilu usai, justru baru dimulai. Baik buruknya pemerintahan, kebijakan, dan masa depan bukan hanya tergantung pada mereka yang berkuasa, tetapi juga pada tiap orang.
Para politisi memang mesti berjanji. Sebab, kata ungkapan tua, jangan pernah menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Keliru jika kita tak meminta janji, dan melulu bukti. Janji adalah penawaran. Dari sana kita akan menilai: adakah ia layak “dibeli” atau diabaikan. Janji mencerminkan sedikit-banyak kualitas sang pelontar. Kebanyakan janji akan sangat bernuansa populis—membela kepentingan rakyat banyak. Sebut saja, janji untuk menumpas pengangguran, meringkus para penjarah uang negara, atau menggelontorkan subsidi kaum papa.
Para politisi bakal semakin “didesak” untuk mengajukan sederet rencana populis lantaran krisis ekonomi menghadang. Jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan, jumlah kaum miskin potensial bertambah banyak. Tapi, dengan akal sehat, kita bisa meraba: mungkinkah janji itu gombal belaka sebab mustahil diwujudkan atau memang sesuatu yang realistis. Selain itu, nyaris semua menjanjikan perubahan. Cuma, periksa juga pilihan jalan yang disodorkan. Karena, jangan-jangan, mereka hanya bisa menyebut "tujuan", tanpa pernah sanggup merinci metode pencapaian. Sebab, menurut pepatah, the devil is in the details.
Jadi, menjelang fajar 2009 ini, mari persiapkan diri untuk mulai “mencatat” janji-janji para politisi. Pasang mata dan telinga. Bila ternyata mereka menang, itu semua tinggal ditagih. Lalu, hukum mereka jika ingkar dengan aneka cara—paling gampang dan lazim, lupakan mereka pada pemilu 2014.
Selamat tahun baru 2009. Semoga semakin terang nyala cahaya di ujung terowongan gulita ini. Semoga harapan tak pernah sirna sedetik pun dari bumi Nusantara.
Yus Ariyanto
Koordinator Liputan6.com
Janji memang identik dengan kaum politisi. Itu sebabnya, di situs jejaring sosial Facebook, pengamat politik Eep Saefullah Fatah membangun komunitas “Para Penagih Janji.” Ia menulis di note-nya, komunitas ini hendak menggalang diri dan lingkungan terdekat untuk memilih atau tak memilih secara bertanggung jawab serta menjadi penagih janji yang aktif hingga pemilu berikutnya.
Menurut Eep, penggalangan ini perlu lantaran tugas dan kewajiban warga negara tak berakhir setelah pemilu usai, justru baru dimulai. Baik buruknya pemerintahan, kebijakan, dan masa depan bukan hanya tergantung pada mereka yang berkuasa, tetapi juga pada tiap orang.
Para politisi memang mesti berjanji. Sebab, kata ungkapan tua, jangan pernah menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Keliru jika kita tak meminta janji, dan melulu bukti. Janji adalah penawaran. Dari sana kita akan menilai: adakah ia layak “dibeli” atau diabaikan. Janji mencerminkan sedikit-banyak kualitas sang pelontar. Kebanyakan janji akan sangat bernuansa populis—membela kepentingan rakyat banyak. Sebut saja, janji untuk menumpas pengangguran, meringkus para penjarah uang negara, atau menggelontorkan subsidi kaum papa.
Para politisi bakal semakin “didesak” untuk mengajukan sederet rencana populis lantaran krisis ekonomi menghadang. Jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan, jumlah kaum miskin potensial bertambah banyak. Tapi, dengan akal sehat, kita bisa meraba: mungkinkah janji itu gombal belaka sebab mustahil diwujudkan atau memang sesuatu yang realistis. Selain itu, nyaris semua menjanjikan perubahan. Cuma, periksa juga pilihan jalan yang disodorkan. Karena, jangan-jangan, mereka hanya bisa menyebut "tujuan", tanpa pernah sanggup merinci metode pencapaian. Sebab, menurut pepatah, the devil is in the details.
Jadi, menjelang fajar 2009 ini, mari persiapkan diri untuk mulai “mencatat” janji-janji para politisi. Pasang mata dan telinga. Bila ternyata mereka menang, itu semua tinggal ditagih. Lalu, hukum mereka jika ingkar dengan aneka cara—paling gampang dan lazim, lupakan mereka pada pemilu 2014.
Selamat tahun baru 2009. Semoga semakin terang nyala cahaya di ujung terowongan gulita ini. Semoga harapan tak pernah sirna sedetik pun dari bumi Nusantara.
Yus Ariyanto
Koordinator Liputan6.com