Liputan6.com, Jombang: Di tangan bocah cilik, Mohammad Ponari, segenggam batu bisa mengobati segala macam penyakit. Maka jadilah Ponari berjuluk dukun cilik yang sepanjang pagi hingga malam diburu puluhan ribu orang yang berharap berkah kesembuhan. Kampung halaman Ponari di Desa Balongsari, Jombang, Jawa Timur, pun penuh sesak oleh lautan manusia.
Heboh praktik pengobatan batu ala Ponari ini sudah berlangsung sejak tiga pekan lalu. Pasien yang ditangani diperkirakan sudah mencapai lebih dari 50 ribu orang. Pasien yang datang beraneka ragam mulai dari sakit berat seperti stroke, asam urat, lumpuh, hingga penyakit ringan. Ada yang mengaku sukses tapi banyak juga yang mengaku tak mendapat khasiat yang diinginkan.
Karena jumlah pasien kian tak terbendung manajemen pengobatan ala dukun cilik inipun diambil panitia yang melibatkan hampir 300 orang. Merekalah yang menyiapkan tenda, membuat karcis, menata parkir, dan mengatur antrean. Kepolisian Sektor Megaluh dan Kepolisian Resor Jombang juga turun tangan menurunkan lebih dari 300 personel.
Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini pada Selasa 11 Februari. Bukan tanpa alasan polisi menghentikan praktik dukun cilik Ponari. Sejumlah pengunjung jatuh pingsan terinjak-injak pengunjung lain. Dua pengunjung bahkan tewas kelelahan saat antre menunggu giliran.
Karuan saja, langkah ini diprotes warga. Terlebih banyak dari mereka sudah antre lebih dari tiga hari dan belum mendapat kesempatan. Tetangga Ponari di Dusun Kedungsari pun mengeluh. Maklum, sejak pengobatan ini berlangsung, dusun setidaknya memperoleh pemasukan lebih dari Rp 500 juta dari retribusi yang ditarik dari para pasien. Keluarga Ponari juga terbantu. Kotak amal yang disediakan panitia dikabarkan menyumbang antara Rp 20 hingga 50 juta per hari bagi perekonomian keluarga Ponari yang sebelumnya sangat kekurangan.
Sosiolog Universitas Indonesia Robert MZ. Lawang melihat fenomena dukun seperti Ponari ini bukan kali ini saja terjadi. Cermin dari masyarakat kita yang sakit dan terbelah antara modern realistis dan tradisionil mistis. Bagi Komisi Nasional Perlindungan Anak, praktik dukun yang melibatkan anak ini juga tak layak diteruskan karena mengandung unsur eksploitasi dan terlanggarnya hak-hak anak.
Jika orang-orang disekelilingnya nekat meneruskan, Komnas ANak meminta pihak-pihak yang memanfaatkan Ponari dijerat secara hukum. Maklum, sejak berjuluk dukun, Ponari tak lagi bisa bersekolah. Bangkunya di kelas dibiarkan kosong hampir sebulan. Mohammad Ponari tak lagi menimba ilmu demi merajut masa depan.(TOZ/Tim Sigi SCTV)
Heboh praktik pengobatan batu ala Ponari ini sudah berlangsung sejak tiga pekan lalu. Pasien yang ditangani diperkirakan sudah mencapai lebih dari 50 ribu orang. Pasien yang datang beraneka ragam mulai dari sakit berat seperti stroke, asam urat, lumpuh, hingga penyakit ringan. Ada yang mengaku sukses tapi banyak juga yang mengaku tak mendapat khasiat yang diinginkan.
Karena jumlah pasien kian tak terbendung manajemen pengobatan ala dukun cilik inipun diambil panitia yang melibatkan hampir 300 orang. Merekalah yang menyiapkan tenda, membuat karcis, menata parkir, dan mengatur antrean. Kepolisian Sektor Megaluh dan Kepolisian Resor Jombang juga turun tangan menurunkan lebih dari 300 personel.
Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini pada Selasa 11 Februari. Bukan tanpa alasan polisi menghentikan praktik dukun cilik Ponari. Sejumlah pengunjung jatuh pingsan terinjak-injak pengunjung lain. Dua pengunjung bahkan tewas kelelahan saat antre menunggu giliran.
Karuan saja, langkah ini diprotes warga. Terlebih banyak dari mereka sudah antre lebih dari tiga hari dan belum mendapat kesempatan. Tetangga Ponari di Dusun Kedungsari pun mengeluh. Maklum, sejak pengobatan ini berlangsung, dusun setidaknya memperoleh pemasukan lebih dari Rp 500 juta dari retribusi yang ditarik dari para pasien. Keluarga Ponari juga terbantu. Kotak amal yang disediakan panitia dikabarkan menyumbang antara Rp 20 hingga 50 juta per hari bagi perekonomian keluarga Ponari yang sebelumnya sangat kekurangan.
Sosiolog Universitas Indonesia Robert MZ. Lawang melihat fenomena dukun seperti Ponari ini bukan kali ini saja terjadi. Cermin dari masyarakat kita yang sakit dan terbelah antara modern realistis dan tradisionil mistis. Bagi Komisi Nasional Perlindungan Anak, praktik dukun yang melibatkan anak ini juga tak layak diteruskan karena mengandung unsur eksploitasi dan terlanggarnya hak-hak anak.
Jika orang-orang disekelilingnya nekat meneruskan, Komnas ANak meminta pihak-pihak yang memanfaatkan Ponari dijerat secara hukum. Maklum, sejak berjuluk dukun, Ponari tak lagi bisa bersekolah. Bangkunya di kelas dibiarkan kosong hampir sebulan. Mohammad Ponari tak lagi menimba ilmu demi merajut masa depan.(TOZ/Tim Sigi SCTV)