Sukses

Penti, Syukuran Panen Suku Manggarai

Suku Manggarai, Flores, NTT menggelar syukuran atas hasil panen dengan upacara Penti. Ritual terbesar ini sekaligus menjadi ajang musyawarah adat menyelesaikan konflik antarwarga.

Liputan6.com, Manggarai: Kehidupan suku Manggarai, Flores, Nusatenggara Timur, terkait erat dengan bercocok tanam. Karena itu upacara adat yang mereka gelar tak jauh dari kehidupan agraris. Ritual terbesar yang diselenggarakan suku yang mendiami wilayah Flores paling barat ini adalah Penti. Ritual tradisional terbesar suku Manggarai yang melibatkan hampir seluruh unsur masyarakat ini dilakukan untuk mengucap syukur atas hasil panen. Acara tersebut sekaligus sebagai ajang musyawarah adat dan wadah penyelesaian konflik antarwarga.

SCTV berkesempatan merekam Penti Manggarai --begitu masyarakat setempat menyebut upacara itu-- di pinggiran Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, awal Juli silam. Upacara dimulai dari sebuah kebun yang disebut lingko, areal yang diyakini tempat makhluk halus penunggu tanah Manggarai. Seorang pemimpin adat mengumandangkan kidung meminta izin para makhluk halus akan menggelar Penti. Ketua adat juga menyediakan sirih, pinang, kapur, dan tuak --minuman sejenis arak-- sebagai sesaji. Seekor babi pun disembelih sebagai pelengkap upacara. Kegiatan ini disebut Barong Ledok.

Seolah telah mendapat restu lewat Barong Ledok, masyarakat menuju rumah adat sambil menyanyikan lagu-lagu berbahasa Manggarai yang menggambarkan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi dan kopi yang memberi mereka banyak kesenangan. Dalam rumah adat yang disebut Rumah Gendang itu mereka mulai bermusyawarah. Upacara kumpul dan bicara bersama ini diiringi kidung-kidung. Persoalan yang dibahas adalah pembagian hasil panen dan tanah ulayat.

Musyawarah dipimpin Tua Teno alias pemimpin adat Keluarga Gendang dan Keluarga Tambor, yang dipercaya menjadi cikal bakal orang Manggarai. Secara simbolis, Tua Teno dari Keluarga Gendang mengumpulkan hasil panen dalam Rumah Gendang. Kemudian Tua Teno menghitung dan membagi hasil panen tersebut berdasarkan luas tanah garapan. Usai pembagian hasil panen, giliran Tua Teno dari Keluarga Tambor mengambil alih peran dan membagi tanah ulayat pada warga. Pembagian tanah dilakukan berdasarkan moso yang berbentuk garis-garis melingkar mengelilingi sebuah patok yang diibaratkan sebagai lingko atau pusat desa. Setiap keluarga mendapat lahan berdasarkan status sosial mereka.

Selanjutnya, dua keluarga adat itu bergerak ke sebuah sumber air untuk melakukan upacara Barong Wae. Mereka memanjatkan syukur pada Tuhan yang telah menciptakan mata air bagi penghidupan warga desa. Rasa syukur diungkapkan dengan mempersembahkan seekor ayam dan telur kepada roh leluhur yang dipercaya telah menjaga sumber air yang tak pernah kering itu. Keyakinan turun-temurun membawa ritual ini pada sebuah prosesi pemujaan terhadap roh penjaga desa yang disebut Naga Galo. Warga yang kebanyakan mengenakan kemeja putih dan kain songket itu bersujud syukur di pusat desa. Mereka berterima kasih pada Naga Galo yang telah melindungi dan menjaga desa dari segala bencana.

Seluruh rangkaian upacara diakhiri dalam sebuah musyawarah untuk membicarakan berbagai masalah desa. Semua ketua adat, pemimpin sub klen, dan masyarakat umum duduk di atas tikar yang digelar di rumah adat. Mereka berkumpul untuk membicarakan dan menyelesaikan semua masalah sosial yang berkecamuk di daerah berhawa dingin tersebut. Acara yang disebut Wisi Loce ini menyiratkan upaya rekonsiliasi antara warga yang bertikai, menata kehidupan sosial, dan merajut kembali hubungan keluarga yang kurang harmonis. Mereka percaya seluruh rangkaian prosesi ini mampu menciptakan ketenangan batin dan keharmonisan warga Manggarai.(TNA/Tim Potret SCTV)
    Video Terkini