Liputan6.com, Kuningan: Panen tiba..petani desa..memetik harapan. Penggalan tembang Iwan Fals itu mungkin bisa menggambarkan perasaan masyarakat pedesaan manakala tiba musim menuai hasil. Kelar petak yang satu, para petani saling membahu menuai petak lainnya. Begitulah dari tahun ke tahun. Khusus bagi petani di Tanah Pasundan, Jawa Barat, seusai panen mereka selalu memanjatkan syukur pada Yang Maha Kuasa.
Kabut musim penghujan masih lekat menyelimuti kaki Gunung Ciremai. Namun, dinginya udara tak membuat petani bermalas. Khususnya, bagi warga Desa Cigugur, Kuningan, Jabar. Bahkan, beberapa hari belakangan, aktivitas mereka terlihat lebih padat daripada hari-hari sebelumnya. Sesuatu perhelatan tengah mereka persiapkan. Upacara Seren Taun. Upacara tersebut dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Untuk perhelatan tersebut, kaum perempuan di desa itu rela bersusah-payah menyediakan berbagai jenis makanan dan sesaji untuk Upacara Seren Taun. Suasana kesibukan paling terasa di pusat desa atau yang biasa disebut Paseban. Puluhan lesung telah disiapkan di tempat itu. Selain itu, berbagai hiasan pun disiapkan untuk upacara tahunan itu.
Menurut Djatikusuma, sesepuh desa, berdasarkan tanggalan Sunda Wiwitan, upacara itu jatuh pada hari ke-20, bulan Rayagung. Ia menjelaskan, makna filosofis dari pergelaran tersebut adalah perayaan bulan agung dimana setiap insan merayakan kenikmatan yang telah diberikan Sang Jabaning Langit.
Djatikusuma menerangkan, upacara dimulai dengan tarian yang dimainkan anak-anak desa. Kemudian dilanjutkan dengan iring-iringan pembawa padi sampai di Paseban. Selanjutnya padi diserahkan kepada pamong desa untuk disimpan di lumbung desa. Setelah prosesi itu, acara dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang dipimpin sesepuh desa. Menurut Djatikusuma, puluhan makna tersirat dalam aktifitas ini, di antaranya makna gotong royong, bersyukur, dan yang paling penting makna saling mengasihi sesama.
Masih di Tanah Pasundan, selagi warga Desa Cigugur diliputi rasa syukur, sebaliknya warga Baduy tengah berjuang mengembangkan diri dari kungkungan adat. Sebab, bagi sebagian masyarakat daerah peninggalan kerajaan Mataram itu, peraturan adat telah membuat mereka terbelakang. Lantaran itu, kini daerah yang memiliki luas sekitar 5.100 hektare itu terbagi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Menurut Samerdi, tokoh masyarakat Baduy, sebenarnya peraturan adat itu baik, tapi menjadi tak baik bagi sebagian masyarakat Baduy yang ingin mengembangkan diri. Bagi yang menilai tak baik, Samerdi menambahkan, mereka lebih memilih lokasi tempat tinggal di pinggiran daerah Baduy. Di tempat itu, mereka bisa menerima dan berbaur dengan masyarakat luar lainnya, termasuk mendirikan tempat belajar dengan kurikulum nasional.
Samerdi menjelaskan, penghasilan terbesar masyarakat Baduy dalam adalah membuat gula merah yang bahan bakunya didapat dari pohon Mirah. Sedangkan masyarakat Baduy Luar lebih memilih bertani dan bercocok tanam. Untuk menambah penghasilan, kaum perempuan di Baduy Luar membuat kain yang ditenun sendiri. Sedangkan kaum laki-laki membuat Badok atau senjata.
Selain di kedua daerah itu, sebagian masyarakat Tanah Pasundan gemar mempelajari seni bela diri pencak silat aliran Cimande. Sebab, bagi masyarakat Tanah Pasundan, kesenian yang memiliki 33 jenis jurus yang didasari atas gerakan menyerang dan bertahan itu dapat membentuk kekuatan fisik dan mental. Konon, jurus yang dibuat Abah Kahar -hidup di abad 16- itu disadur dari gerakan harimau dan monyet. Menurut Ace Sutisna, keturunan Abah Kahar, filosofi dari setiap jurus Cimande adalah untuk menghindari rasa sombong karena di atas langit masih ada langit. Ace menerangkan, kini, perkembangan aliran Cimande sudah sangat menggembirakan. Bahkan, hampir seluruh anak yang tinggal di Tanah Pasundan pernah dan masih terus mempelajari jurus tersebut.(ICH)
Kabut musim penghujan masih lekat menyelimuti kaki Gunung Ciremai. Namun, dinginya udara tak membuat petani bermalas. Khususnya, bagi warga Desa Cigugur, Kuningan, Jabar. Bahkan, beberapa hari belakangan, aktivitas mereka terlihat lebih padat daripada hari-hari sebelumnya. Sesuatu perhelatan tengah mereka persiapkan. Upacara Seren Taun. Upacara tersebut dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Untuk perhelatan tersebut, kaum perempuan di desa itu rela bersusah-payah menyediakan berbagai jenis makanan dan sesaji untuk Upacara Seren Taun. Suasana kesibukan paling terasa di pusat desa atau yang biasa disebut Paseban. Puluhan lesung telah disiapkan di tempat itu. Selain itu, berbagai hiasan pun disiapkan untuk upacara tahunan itu.
Menurut Djatikusuma, sesepuh desa, berdasarkan tanggalan Sunda Wiwitan, upacara itu jatuh pada hari ke-20, bulan Rayagung. Ia menjelaskan, makna filosofis dari pergelaran tersebut adalah perayaan bulan agung dimana setiap insan merayakan kenikmatan yang telah diberikan Sang Jabaning Langit.
Djatikusuma menerangkan, upacara dimulai dengan tarian yang dimainkan anak-anak desa. Kemudian dilanjutkan dengan iring-iringan pembawa padi sampai di Paseban. Selanjutnya padi diserahkan kepada pamong desa untuk disimpan di lumbung desa. Setelah prosesi itu, acara dilanjutkan dengan memanjatkan doa yang dipimpin sesepuh desa. Menurut Djatikusuma, puluhan makna tersirat dalam aktifitas ini, di antaranya makna gotong royong, bersyukur, dan yang paling penting makna saling mengasihi sesama.
Masih di Tanah Pasundan, selagi warga Desa Cigugur diliputi rasa syukur, sebaliknya warga Baduy tengah berjuang mengembangkan diri dari kungkungan adat. Sebab, bagi sebagian masyarakat daerah peninggalan kerajaan Mataram itu, peraturan adat telah membuat mereka terbelakang. Lantaran itu, kini daerah yang memiliki luas sekitar 5.100 hektare itu terbagi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Menurut Samerdi, tokoh masyarakat Baduy, sebenarnya peraturan adat itu baik, tapi menjadi tak baik bagi sebagian masyarakat Baduy yang ingin mengembangkan diri. Bagi yang menilai tak baik, Samerdi menambahkan, mereka lebih memilih lokasi tempat tinggal di pinggiran daerah Baduy. Di tempat itu, mereka bisa menerima dan berbaur dengan masyarakat luar lainnya, termasuk mendirikan tempat belajar dengan kurikulum nasional.
Samerdi menjelaskan, penghasilan terbesar masyarakat Baduy dalam adalah membuat gula merah yang bahan bakunya didapat dari pohon Mirah. Sedangkan masyarakat Baduy Luar lebih memilih bertani dan bercocok tanam. Untuk menambah penghasilan, kaum perempuan di Baduy Luar membuat kain yang ditenun sendiri. Sedangkan kaum laki-laki membuat Badok atau senjata.
Selain di kedua daerah itu, sebagian masyarakat Tanah Pasundan gemar mempelajari seni bela diri pencak silat aliran Cimande. Sebab, bagi masyarakat Tanah Pasundan, kesenian yang memiliki 33 jenis jurus yang didasari atas gerakan menyerang dan bertahan itu dapat membentuk kekuatan fisik dan mental. Konon, jurus yang dibuat Abah Kahar -hidup di abad 16- itu disadur dari gerakan harimau dan monyet. Menurut Ace Sutisna, keturunan Abah Kahar, filosofi dari setiap jurus Cimande adalah untuk menghindari rasa sombong karena di atas langit masih ada langit. Ace menerangkan, kini, perkembangan aliran Cimande sudah sangat menggembirakan. Bahkan, hampir seluruh anak yang tinggal di Tanah Pasundan pernah dan masih terus mempelajari jurus tersebut.(ICH)