Liputan6.com, Jakarta: Jaksa Agung Hendarman Supandji mengingatkan kasus pidana mantan Presiden Soeharto sudah ditutup demi hukum. Ini dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) pada Mei 2006 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keputusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 1 Agustus 2006 [baca: Pro-Kontra Status Hukum Soeharto Kembali Mengemuka].
"Istilahnya SKPP berdasarkan pasal 140 ayat 2 KUHAP. Artinya ditutup demi hukum. Suatu perkara pidana ditutup demi hukum itu karena alasan meninggal dunia, kedaluwarsa. Ini (Kasus Soeharto) karena sakit permanen yang dianggap sama dengan itu, lalu disahkan oleh Pengadilan," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji menjawab pertanyaan di Kantor Presiden Jakarta, Senin (7/1), usai mengikuti Sidang Paripurna Kabinet Indonesia Bersatu.
Menurut Jaksa Agung, SKPP tersebut diajukan dalam sidang praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Persatuan Pengacara, yang kemudian dikabulkan oleh PN Jaksel pada Mei 2006. Atas kekalahan itu, kejaksaan mengajukan banding dan di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 1 Agustus 2006 menguatkan SKPP itu.
Advertisement
"Jadi sudah selesai kasus Pak Harto itu. Yang sekarang berjalan itu adalah gugatan perdata yang melibatkan tujuh yayasan milik Soeharto, di mana negara diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara sedangkan Pak Harto diwakili oleh pengacaranya. Jadi sekarang ini gugatan tujuh yayasan itu masih jalan terus, antara pengacara dengan pengacara," kata Hendarman [baca: Negara Bisa Menggugat Soeharto].
Menjawab pertanyaan kemungkinan adanya pengampunan terhadap mantan orang nomor satu Indonesia itu, Jaksa Agung mengatakan pengampunan yang diatur dalam ketentuan perundangan itu hanyalah grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. "Keempat alasan itu tidak bisa digunakan untuk kasus Soeharto," ucap Hendarman.
Demikian pula dengan menyampingkan perkara (deponering) kasus hukum pidana Soeharto seperti yang diusulkan Partai Golongan Karya. Menurut Jaksa Agung, kasus pidana Soeharto itu tidak bisa dilakukan deponering karena deponering itu wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan satu perkara demi kepentingan umum. "Ini tidak bisa, kasus itu berhenti karena SKPP dengan alasan sakit permanen yang dikeluarkan Mei 2006. Bagaimana mau dilanjutkan, karena perkaranya itu kan sudah ditutup demi hukum," imbuh Hendarman.
Ia menambahkan, alasan sakit permanen yang diderita Soeharto itu menurut tim dokter sulit untuk disembuhkan, apalagi untuk bisa mengikuti proses persidangan. Sedangkan untuk perkara perdata tujuh yayasan milik Soeharto, menurut Jaksa Agung, saat ini prosesnya masih terus berjalan di pengadilan. "Sekarang ini kan masih terjadi jawab-menjawab di pengadilan," ujar Hendarman, seraya menambahkan bahwa kerugian negara dalam kasus tersebut sekitar Rp 10 triliun yang terdiri atas kerugian material sekitar Rp 4 triliun dan immaterial sekitar Rp 6 triliun.
Lebih jauh Hendarman menjelaskan, dari perkara perdata tujuh yayasan itu tidak tertutup kemungkinan akan terjadi out of court settlement atau penyelesaian di luar pengadilan karena dalam persidangannya bisa saja terjadi perdamaian. Namun, imbuh Hendarman, dalam perkara perdata itu bisa saja kerugian negara itu nantinya dialihkan atau ditanggung kepada ahli warisnya. "Kalau Pak Harto tidak ada, maka tagihan itu menjadi tanggungan ahli warisnya," ucap Jaksa Agung Hendarman.(ANS/Antara)