Liputan6.com, Takengon - Keindahan di Provinsi Aceh tidak akan pernah pudar. Salah satunya adalah di Kabupaten Takengon yang terletak di dataran tinggi Gayo. Sebelum mengetahui bagaimana wilayahnya, cobalah mencicipi kopi khas di wilayah itu.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Sabtu (15/3/2014), kopi dan etnis Gayo di Takengon ibarat 2 sisi mata uang logam. Sebagian besar dari mereka tidak akan membiarkan pekarangan rumah kosong tanpa tumbuhan kopi. Panen adalah momen paling menggembirakan, pada saat itu buah kopi terlihat ranum dimana-mana.
Daerah Atu Lintang adalah pusat kopi arabika. Ada banyak jenis dari turunan arabika dan yang banyak dikembangkan. Longberry adalah kopi yang bisa tumbuh hingga ke bawah. Meski banyak juga jenis lain yang menjadi favorit, namun Longberry merupakan salah satu yang menjadi favorit. 1 lagi yang menjadi favorit adalah kopi jenis tipika.
Didong merupakan kesenian khas masyarakat Gayo. Kesenian yang memadukan 3 unsur bersama-sama, yaitu tari, vokal, dan sastra.
Didong tidak bisa dipentaskan sendirian. Didong harus dilakukan beramai-ramai dan saling berbalas. Pada setiap lirik, tersisip syair-syair religius yang kental dengan kebersamaan hidup.
Kesuburan tanah alam yang eksotis juga keragaman budaya membuat Takengon kerap dijuluki serpihan tanah surga. Bersepeda mengelilingi danau laut tawar yang luasnya lebih dari 5.000 ha adalah cara sederhana dengan sensasi yang luar biasa.
Terletak di dataran tinggi Gayo, danau laut tawar seolah menjelma menjadi identitas alam Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah itu.
Sayang, pemanfaatan laut tawar sebagai obyek wisata belum maksimal. Masih banyak warga menebar jala dan keramba ikan ketimbang mengandalkan hidup dari sektor pariwisata sebagai mata pencaharian.
Karena terletak di ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut, batas aman menyelam di danau itu hanya sampai di kedalaman 40 m. Apabila lewat dari batas itu bisa berbahaya.
Kesuburan tanah Takengon ibarat harta karun di zaman penjajahan yang menjadi rebutan Belanda dan Jepang. Maka tidak heran, kerap ditemukan puing-puing persenjataan di dasar danau.
Menetap di ketinggian membuat etnis Gayo di Takengon memiliki kebiasaan berkuda. Di tanah itu kuda hidup seperti di surga, karena begitu mudah mencari makan pada luasnya rerumputan hijau.
Untuk bisa berkuda dengan baik, penunggang dan kuda harus memiliki hubungan emosional yang baik. Jika tidak, jangan berharap kuda akan dapat patuh dan berlari kencang. (Raden Trimutia Hatta)
Baca Juga
Baca Juga:
Advertisement
Kebakaran Lahan di Aceh Barat, Jarak Pandang 50 MeterÂ