Liputan6.com, Jakarta - Tingginya angka kekerasan dan eksploitasi terhadap anak menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Diduga kuat, maraknya kasus anak karena paradigma salah dalam mendidik anak yang jadi budaya.
"Saat ini banyak yang beranggapan jika ingin mendidik anak jadi disiplin dan baik harus dengan cara dipukul atau dimarahi. Padahal itu salah," kata pemerhati anak, Seto Mulyadi, saat ikut aksi Gerakan Sayang Anak di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (20/3/2014) malam.
Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, paradigma semacam itu masih sangat melekat dalam lingkungan keluarga Indonesia. Tak heran jika angka kekerasan pada anak terus bertambah.
"Kalau bisa di prosentasekan, masih ada 80 persen keluarga yang memilki paradigma semacam itu," lanjutnya.
Untuk menghentikan kekerasan anak, Kak Seto menyarankan di setiap RT dan RW harus ada Satgas Perlindungan Anak. Satgas ini yang melaporkan pada instansi terkait jika terjadi kekerasan di lingkungannya.
"Jangan sampai terjadi lagi ibu bunuh anak. Sang ibu saat itu sedang mengalami gangguan kejiwaan. Satgas ini dapat mengisi kekosongan dengan merawat anak yang ibunya mengalami gangguan jiwa seperti itu," ungkapnya.
Jika kekerasan ini tidak segera dihentikan, ucap Kak Seto, bukan tidak mungkin generasi muda ke depan akan melahirkan anak muda yang menonjolkan kekerasan dibanding intelektual.
"Kalau jadi pemimpin bukan pemimpin unggul tapi keterpurukan. Mari kita tegakkan juga bangsa yang besar, bangsa yang mencintai anak-anak karena mencintai masa depan, karakter, dan moralnya tanpa ada kekerasan dan kekejaman," tandas Kak Seto.
Baca juga:
Baca Juga
Penganiayaan Bocah Iqbal, Jokowi: Potret Kemiskinan Kita
Advertisement